Keduanya saling mengunci tatapan tajam, mencoba mengantisipasi gerakan dari lawan di hadapan mereka.
Dean memulai serangan terlebih dahulu. Ia segera berlari dan melontarkan sebuah pukulan cepat menggunakan kepalan tangan kanannya. Namun hal tersebut sangat mudah dihindari oleh Haiden dengan memiringkan tubuhnya.
Lantas, Dean langsung melancarkan serangan lanjutan dengan kepalan tangan kirinya, lalu diikuti sapuan kaki kanan. Sayangnya hal itu juga sia-sia karena Haiden lagi-lagi menghindarinya dengan sangat mudah, menunjukkan perbedaan pengalaman diantara mereka.
"Akan aku tunjukkan padamu cara bertarung yang benar." ejek Haiden sambil menyeringai kecil.
Haiden segera menyerang balik dengan melayangkan beberapa tinjuan, memaksa Dean untuk menangkis setiap pukulan tersebut. Dan saat ia lengah, sebuah tendangan mengenai perutnya hingga membuat dirinya jatuh terpental ke belakang. Sambil memegangi perutnya yang nyeri, Dean perlahan mencoba bangkit.
"Hanya itu saja? Dan kau sudah berlagak seperti pahlawan."
Dean yang mendengarnya langsung merasa kesal. Ia berlari kencang lagi dan melayangkan beberapa pukulan. Dengan mudah, Haiden pun menghindari semua serangan tersebut seolah mempermainkan Dean. Sebelum kemudian balik menyerang dengan mendaratkan sebuah pukulan cepat ke wajah Dean hingga membuatnya ambruk ke tanah.
"Sialan!"
Ia mengumpat karena sadar seberapa lemah dirinya. Tapi disaat yang sama, dirinya tahu kalau ia harus memberi sebanyak mungkin waktu kepada kedua temannya. Hatinya memanas, ia tidak terima kalau dikalahkan semudah ini.
"Ini bukan saatnya untuk menyerah."
Tanpa Dean sadari, ia telah mengaktifkan Bakat-nya. Ia perlahan bangkit kembali dengan aura merah keemasan tipis menyelimuti tubuhnya.
"(Aura apa itu?)" batin Haiden bingung.
Tak kenal lelah, Dean lagi-lagi berlari kencang dan melontarkan tendangan lurus. Haiden terkejut dengan kecepatan Dean yang meningkat drastis sehingga tidak sempat menghindar. Reflek, ia langsung menyilangkan kedua tangannya guna menahan serangan tersebut. Meskipun berhasil, tubuhnya masih terseret sedikit ke belakang.
Masih belum berhenti, Dean segera memutar badan dan mengayunkan kaki kanannya ke badan Haiden. Haiden mencoba menahan lagi tapi gerakannya tidak cukup cepat sehingga ia pun terkena serangan tersebut dan terpental.
Haiden segera membenarkan posisi kacamatanya. Lalu keduanya langsung menutup jarak dan bertukar tinju ke wajah satu sama lain. Tapi gerakan Dean yang lebih cepat langsung diikuti dengan sebuah uppercut yang mengenai dagu Haiden sampai membuatnya mundur beberapa langkah.
"(Aura itu... jadi dia juga memiliki Bakat.)" batin Haiden.
Ketika melihat aura tersebut, Haiden sadar bahwa lawan di hadapannya bukanlah anak biasa. Ia lemparkan kacamatanya jauh-jauh lalu memprovokasi Dean.
"Ayo, majulah!"
Dean yang dilahap emosi segera melayangkan sebuah pukulan. Namun tangannya dengan sigap langsung ditangkis oleh Haiden, lalu dibatinglah tubuh Dean ke tanah. Masih belum cukup, Haiden melancarkan pukulan bertubi-tubi ke perut musuhnya dan diakhiri dengan tendangan yang segera dihentikan Dean tepat sebelum mengenai kepalanya. Tidak ingin dihajar begitu saja, ia cengkram kaki Haiden kuat lalu menariknya sampai seluruh tubuh Haiden terjatuh dan membalikkan posisi.
Dean dengan cepat meninju wajah Haiden beberapa kali, sebelum kemudian mencekik lehernya. Haiden mencoba melepasnya tapi tidak bisa. Belum kehabisan akal, Haiden langsung menendang tepat di perut Dean dan berhasil menggulingkannya.
Haiden segera berdiri dan menjaga jarak beberapa meter sambil mengatur nafas. Ia menyeka darah yang keluar di pinggir bibir dengan lengannya sambil menyeringai kecil.
"Kau boleh juga. Ayo kita lihat sejauh apa kau bisa bertahan."
Haiden mulai serius, diserangan selanjutnya ia berencana untuk menggunakan Bakat-nya. Tiba-tiba Haiden melakukan hal yang sama sekali tak terduga yaitu meninju angin. Iya benar, ia tiba-tiba meninju acak di udara, namun hal tersebut memang apa yang Haiden inginkan. Di sisi lain, Dean yang melihatnya merasa kebingungan sampai tidak sadar bahwa ia menurunkan perlindungan.
Dalam sekejap mata, Haiden langsung menutup jarak diantara mereka. Ia langsung lancarkan sebuah pukulan tepat mengenai perut Dean yang terbuka.
Terkena serangan telak, Dean langsung bertekuk lutut sambil menahan rasa sakit di perutnya. Tanpa ampun Haiden langsung memegang kepala Dean lalu mendengkulnya berkali-kali sebelum kemudian diakhiri ayunan tendangan keras yang juga menarget kepala Dean. Segera setelahnya, Haiden mundur lagi beberapa meter untuk menjaga jarak.
Dean yang tergeletak di tanah mencoba sekuat tenaga untuk bangkit sebelum dihajar lagi. Posisinya sekarang tidak menguntungkan akibat rentetan serangan barusan. Agak sempoyongan, ia coba untuk memastikan posisi Haiden meskipun penglihatannya agak kabur. Darah segar mengalir dari hidung dan luka lebam di pelipis kepalanya sampai menetes membasahi tanah. Telinga kirinya juga masih berdenging kencang karena tendangan terakhir Haiden.
"(Apa-apaan itu tadi?)" batin Dean sedikit bingung.
"Ini sebuah peringatan. Jika kau masih menghalangi jalanku, sesuatu yang buruk akan terjadi." ucap Haiden dengan nada mengancam.
Namun Dean hanya diam, mengacuhkan perkataan Haiden barusan karena tidak memperdulikannya. Menanggapi hal tersebut, Haiden lagi-lagi meninju angin dan langsung melancarkan sebuah pukulan cepat ke perut dan kepala Dean sampai membuat pemuda itu terjatuh lagi ke tanah untuk sekian kalinya.
"Aku sudah memperingatkanmu."
Haiden membalikkan badannya dan berjalan menjauh hendak menyusul rekannya, berniat untuk meninggalkan Dean yang terkapar lemas. Baru melangkahkan kaki, sebuah lemparan batu mengenai punggungnya sampai menarik perhatiannya. Ia pun menoleh dan didapati Dean yang sudah berdiri.
Pemuda yang tak kenal menyerah itu pun berteriak Haiden.
"Woi! Urusan kita belum kelar!"
Haiden terkejut karena Dean masih bisa bangun lagi. Ia pun bertanya.
"Apa yang mendorongmu sejauh ini?"
"Kau... tidak akan paham."
Mendapati seberapa keras kepala lawannya, Haiden segera meninju angin lagi untuk bersiap menyerang dan mengakhiri pertarungan ini. Tapi sepertinya itu tidak akan terjadi begitu saja. Karena sungguh tak terduga, dengan kondisi Dean yang sudah babak belur, ia dapat menghindari tinjuan dan tendangan dari Haiden seolah dapat membaca setiap gerakannya.
"Apa yang... tidak mungkin!"
Haiden yang terkejut segera mundur untuk menjaga jarak, dan setelah memperhatikan lebih detail, aura merah keemasan yang membalut Dean kini terlihat semakin tebal dan besar.
"(Sebenarnya aura apa itu?)" batin Haiden.
Di titik ini, Dean mulai sedikit memahami gaya bertarung dan Bakat yang dimiliki Haiden. Dua hal krusial yang ia ketahui adalah tinjuan angin sebelum Haiden menyerang dan fakta bahwa Haiden harus mundur setelah melancarkan serangan. Dengan berbekal informasi seadanya, ia mulai mengatur sisa staminanya untuk serangan terakhir.
"Kalo begitu..."
Dean sedikit membusungkan tubuhnya ke kiri, begitu juga kaki kirinya yang agak dipanjangkan dan ditekuk, tangan kanannya ia genggam kuat sementara telapak tangan kirinya ia lebarkan.
Haiden yang melihat kuda-kuda Dean langsung menyadari bahwa kali ini musuhnya mencoba untuk menahan serangan selanjutnya. Tapi Haiden tidak langsung menyerang, ia berjalan di sekitar Dean dengan tetap menjaga jarak guna mencari celah. Dean juga tidak tinggal diam, dengan kaki kiri sebagai tumpuan, ia terus memposisikan tubuhnya untuk mengikuti gerakan Haiden.
Lagi-lagi Haiden meninju angin dan dalam sepersekian detik, sebuah tinju sudah tepat berada di depan Dean. Di mata Dean, waktu seolah melambat, ia dapat dengan jelas melihat tinjuan tersebut. Kepalanya segera dimiringkan ke kanan, tangan kirinya dengan sigap langsung mencengkram kuat lengan Haiden dan menariknya, memaksa seluruh tubuh Haiden mendekat ke arah Dean yang siap untuk melancarkan serangan balik. Ia langkahkan kaki kanannya maju untuk menambah dorongan, sembari melayangkan sebuah pukulan kuat yang mengenai batang hidung Haiden.
"MASIH BELUM!"
Tangan kiri Dean yang masih memegang lengan Haiden segera menariknya lagi, tidak memberinya kesempatan untuk mundur menjaga jarak. Dengan kepalan tangan kanannya, ia kali ini meninju rusuk dan leher Haiden sebelum akhirnya melepas cengkraman tangan kirinya karena kehabisan tenaga.
Haiden menggeram marah karena tidak menyangka akan dihajar sejauh ini. Hidungnya terasa sakit, terbukti dari darah yang menetes tak karuan sampai harus menutupinya dengan telapak tangan kirinya. Nafasnya juga tidak terkontrol akibat tenggorokan dan dadanya yang terkena tinjuan kuat dari Dean. Dengan tatapan penuh amarah, ia melihat Dean yang nampak kesulitan untuk menjaga keseimbangan.
Serangan yang barusan Dean lakukan setengahnya telah menguras sisa-sisa stamina yang ada. Kepalanya terasa pening dibarengi perutnya yang seolah ingin muntah, satu serangan saja dan bisa dipastikan dia akan tumbang. Karena itulah ia harus mengakhiri pertarungan ini sekarang juga.
Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Dean mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat lalu memasang kuda-kuda yang sama seperti sebelumnya. Aura yang menyelimutinya perlahan bergerak menuju kedua kepalan tangannya.
"Ayo kita akhiri ini sekarang." tantang Dean.
Mendengar hal tersebut, Haiden segera mengusap darah di hidungnya dan mengambil nafas panjang. Ia pun menjawab.
"Kau benar. Akan lebih baik kalau ini diselesaikan sekarang."
Pertarungan sudah mencapai puncaknya. Bagi Dean yang sudah berada di ujung tanduk, ia harus mengalahkan Haiden di serangan selanjutnya, kalau tidak maka ia akan kalah. Sementara Haiden meskipun nafasnya agak tersengkal, secara keseluruhan kondisinya lebih baik dari Dean.
Haiden langsung meninju angin lagi, tapi tidak seperti sebelumnya, ia melakukannya lebih lama dan... sebuah tinjuan langsung melesat mengenai perut Dean, gerakannya juga jauh lebih cepat.
Dean tidak sempat menghindar maupun menangkis pukulan tersebut karena gerakan Haiden lebih cepat dari sebelumnya. Namun ia tidak ingin kalah, ia geretakkan giginya dan menahan pukulan tersebut. Sebelum kemudian langsung membalas dengan tinjuan kuat mengenai wajah Haiden.
Sama seperti Dean, Haiden juga menahan pukulan itu dan langsung balik membalas dengan melayangkan pukulan lainnya mengenai kepala Dean. Keduanya seketika terlarut dalam sengitnya pertarungan, tidak memberi masing-masing pihak untuk mundur sedikit pun. Tinju dibalas tinju adalah kalimat yang tepat untuk menjelaskannya.
Terlihat bahwa Haiden mengungguli Dean karena gerakannya yang lebih cepat sehingga memaksa Dean untuk melangkah mundur sedikit demi sedikit. Dean sudah hampir kehabisan tenaga. Serangan pertama yang ia terima seharusnya sudah cukup untuk menumbangkannya saat itu juga. Lagipula, bukankah ia sudah bertarung cukup lama?
Tidak, semangatnya masih belum padam, dan karenanya Dean akan terus bertarung sampai titik darah penghabisan. Kepalanya terasa sakit, ia acuhkan. Dadanya terasa sesak, ia hiraukan. Perutnya terasa mual, ia tak pedulikan. Tiba-tiba aura di tangannya semakin membara layaknya api, mengikuti semangat hati Dean.
Haiden yang tidak menyangka bahwa Dean akan bertahan selama ini langsung sadar bahwa ia telah membuat kesalahan fatal. Gerakannya semakin melambat karena durasi Bakat-nya yang hampir habis. Ia harus segera mundur, namun Dean tidak memberikannya kesempatan sama sekali.
Sebaliknya, gerakan Dean justru semakin cepat dan kuat. Dengan kedua tangannya, tidak, tiga? Bukan, empat? Gerakan Dean tiba-tiba menjadi sangat cepat, terlampau cepat sampai-sampai membentuk ilusi seolah jumlah tangannya bertambah dan terus bertambah.
Haiden kuwalahan, ia tidak bisa mengimbangi Dean. Sayang, semuanya sudah terlambat. Pukulan membabi buta langsung menghujani seluruh tubuhnya layaknya berondongan peluru tiada akhir. Ia tidak bisa mengelak atau bahkan menangkis karena tubuhnya tidak bisa bereaksi sama sekali.
"MODAAAAAAARRRRR!!!!!""
Dean meluapkan semua tenaga yang tersisa pada pukulan terakhir ini. Sebuah pukulan yang sangat kuat hingga melesatkan musuhnya jauh sampai menghantam tembok beton, menyebabkan retakan besar diikuti suara dentuman keras yang menggema di sekitar.
Saat itu juga, Haiden sudah tidak bergerak. Badannya menempel di dinding beton beberapa detik, sebelum kemudian jatuh. Bola matanya terbalik hingga memperlihatkan bagian putihnya saja. Darah merembes di balik jas yang ia pakai sampai membuat genangan merah di tanah.
Melihat hal tersebut, Dean menyadari bahwa dirinya sudah menang. Ia pada akhirnya bisa bernafas lega setelah melalui pertarungan sengit. Sekujur tubuhnya yang dipenuhi darah bergetar hebat, jantungnya berdetak kencang, kepalanya pusing, seluruh badannya sangat sakit dengan banyak sekali luka memar disana-sini. Setiap kali ia menarik nafas, seolah ada jarum yang selalu menusuk paru-parunya.
Senyum puas adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk menandai kemenangannya. Ia tidak memiliki tenaga sedikitpun untuk berselebrasi atau bahkan mengucapkan sepatah kata apapun. Karena setelahnya ia juga ikut tumbang.
"(Sisanya... kalian...)"
Sedikit demi sedikit, kesadarannya mulai menghilang sebelum akhirnya ia pun menutup matanya.