webnovel

6 - Diki vs Boris

Diki, Joseph dan Nita masih terus berlari di area konstruksi karena dikejar oleh Boris dari arah belakang. Masing-masing nafas mulai tersengkal-sengkal karena lelah, keringat bercucuran deras hingga membasahi pakaian yang mereka kenakan.

Akhirnya gerbang keluar sudah terlihat, memberi mereka secercah harapan untuk bisa kabur dari sini. Boris yang menyadari hal tersebut segera mengaktifkan Bakat-nya. Ia ayunkan tangan kanannya ke kiri untuk membuat tembok panjang yang seketika menghadang akses keluar. Tak ada jalan lain selain memutar. Namun jika begitu, maka mereka akan tertangkap.

Diki yang memahami hal tersebut langsung menatap Joseph sesaat sebelum akhirnya maju menghadapi Boris. Di balik tatapan membisu tersebut, Joseph tahu bahwa Diki ingin ia untuk pergi menyelamatkan diri bersama Nita.

"Tidak, tidak, tidak! Tidak lagi!"

Joseph frustasi karena dirinya tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong kedua temannya, menyadari seberapa tidak berguna Bakat yang dimiliknya. Ia tidak ingin kabur begitu saja dan sebisa mungkin harus membantu Diki di pertarungan ini entah apapun caranya.

Dengan alasan tersebut, ia pun berinisiatif untuk segera memutar dan mencari tempat bersembunyi di balik sebuah tiang penyangga yang jaraknya berlawanan dengan tempat keluar supaya Boris tidak bisa menduganya. Tanpa ia sadari, ternyata Nita diam-diam mengikutinya dari belakang.

"Apa yang ka- Dengarkan aku! Kau harus segera lari dari tempat ini!" ucap Joseph lirih dengan nada tegas.

"Tidak! Aku tidak mau! Aku bisa membantu Kak Diki!" jawab Nita sepelan mungkin.

"Diki ingin kau untuk selamat, paham?!"

"Kalo begitu, siapa yang akan menyelamatkan Kak Diki?"

Joseph seketika bingung bagaimana merespon pertanyaan Nita satu ini. Setelah berpikir beberapa saat, ia pun memperbolehkan Nita untuk ikut dengannya.

"Baik, baik! Tapi kau harus nurut, oke?"

Di tempat lain, pertarungan antara Diki dan Boris mulai memanas. Dengan Bakat-nya untuk mengendalikan tanah, Boris menembakkan banyak batuan runcing ke arah Diki secara membabi buta. Diki dengan cekatan langsung menjabarkan telapak tangannya ke depan, membuat pelindung berbentuk setengah lingkaran dan berhasil menahan setiap serangan yang dilancarkan padanya.

Tidak terima, ditembakkannya lagi batuan runcing dengan ukuran lebih besar dan jumlah yang tak terhitung hingga mengepulkan debu ke sekitar, membuatnya tak bisa melihat Diki dengan jelas. Namun sama saja, pelindung yang Diki ciptakan terbukti tidak bisa ditembus dengan mudah.

Setelah diamati secara seksama, ia tahu serangan apa yang akan berhasil. Boris memutar otaknya dan menyusun rencana, lagi-lagi ia meluncurkan batu runcing dalam jumlah banyak sampai membuat kepulan debu yang cukup pekat untuk membutakan musuhnya. Lantas, ia segera menhentakkan kakinya, memunculkan duri-duri besar nan tajam dari bawah tanah yang mengarah ke Diki. Sama seperti sebelumnya, duri-duri itu tidak ada apa-apanya dibandingkan pelindung milik Diki.

Alangkah kaget ketika beberapa duri tiba-tiba keluar dari tempat Diki berpijak, area yang tak tertutupi sama sekali. Sayang ia agak terlambat menyadarinya sehingga menyebabkan lengan kirinya terkoyak oleh salah satu duri dan bahkan hampir mengenai kepala.

"Cih, sedikit lagi."

Diki memegangi lengannya yang mengalir darah segar. Wajahnya masih datar seolah dirinya tak merasakan sakit sedikitpun. Belajar dari kesalahannya, Diki menggenggam kuat tangan kanannya dan menciptakan sebuah medan pelindung berbentuk bola yang menutup seluruh tubuhnya.

Boris balik menyerang, tapi serangannya sama sekali tidak mempan. Setelah melihat bagaimana semua usahanya sia-sia, ia memutuskan untuk mengubah rencana dan berlari menuju pagar keluar mengejar Joseph dan Nita.

Diki jelas tidak bisa membiarkan hal tersebut dan segera mengejar Boris. Saat sudah dalam jangkauan, ia segera mengurung Boris dalam sebuah kubus menggunakan Bakat-nya. Tapi lagi-lagi, itu semua merupakan perkiraan Boris.

Tiba-tiba sebuah duri besar mencuat dari arah belakang tepat mengenai titik buta Diki. Menghancurkan pelindung miliknya dan berhasil menusuk tepat ke punggung hingga menembus dadanya.

Darah seketika menyembur tak karuan hingga membasahi tanah kering. Untaian daging bak kain merah berceceran kemana-mana. Nafasnya menjadi sangat berat karena kerongkongan pernafasan yang tertutup oleh gumpalan darah kental. Mulutnya tak henti-henti terus memuntahkan darah menunjukan seberapa fatal serangan barusan. Keseimbangan tubuhnya perlahan menghilang sebelum akhirnya goyah dan terjatuh, memperlihatkan sebuah lubang besar yang terlalu giris untuk bisa dibayangkan.

"Seperti yang kukira, kau hanya bisa membuat satu penghalang saja. Kalau tidak, kenapa kau masih bersusah payah." ejek Boris sambil terus berlari.

"DIKIIIIIII!!!!" "KAKAAKKKKK!!!!" Joseph dan Nita berteriak bersamaan saat melihat kengerian tersebut.

Nita sadar bahwa dirinya harus segera bertindak sebelum waktunya terlambat. Dengan pupil mata yang sudah menjadi jarum jam, ia keluar dari balik persembunyian dan berlari secepat mungkin ke arah Diki.

"Apa?!"

Boris terkejut ketika mendapati targetnya yang ternyata ada di sudut lain area konstruksi, memaksanya untuk segera membalikkan badan dan mengejar Nita. Tanpa disadari, Diki dengan sisa-sisa kesadarannya langsung mengurung Boris lagi ketika masuk ke dalam jangkauan Bakat-nya.

"Per... gi... lah..." ucap Diki dalam keadaan sekarat.

"Tidak masalah, bos tidak bilang kalau harus membawanya hidup-hidup."

Masih terkurung, Boris menghentakkan kakike tanah dan membuat batuan runcing. Tanpa pikir panjang, ia langsung menembakkannya ke arah Nita yang masih terus berlari mendekati Diki.

Saat ini, Nita sadar bahwa dirinya bisa saja mengaktifkan Bakat Chronokinesis guna menghentikan waktu supaya terhindar dari serangan tersebut. Tapi itu berarti, ia tidak bisa menyelamatkan Diki karena Bakat-nya memiliki waktu jeda. Karenanya ia lebih memilih untuk menerjang maju sembari menghindari satu per satu serangan batu yang ditujukan padanya, seolah dapat membaca arah laju setiap dari batu-batu tersebut.

"Bagaimana bisa?!"

Boris segera menciptakan sepasang gundukan tanah besar ke udara dan dilemparkan salah satunya ke arah Nita yang hampir tidak sempat menghindar kalau tidak diselamatkan oleh Joseph.

"Lepaskan! Aku harus menolong Kak Diki sebelum terlambat!"

Nita meronta-ronta untuk minta dilepaskan ketika tangannya ditarik paksa oleh Joseph guna menghindari jarak serangan Boris. Keduanya terus menjauh, semakin menjauh dari Diki yang tergeletak kritis.

"Kau hanya perlu menyentuhnya kan? Lihat!"

Joseph menunjukkan seutas benang ungu dari tangannya yang menyambung ke Diki. Nita yang menyadari fungsi dari benang tersebut segera mengambilnya dan mengaktifkan Bakat Chronokinesis. Suara dentuman terdengar, jam di pupil matanya berputar berlawanan arah jarum jam.

"Kembali!"

Tubuh Diki tiba-tiba bangkit. Darah yang telah dimuntahkan kembali masuk ke mulutnya. Daging yang tercerai berai kembali ke setiap inci luka Diki seolah dijahit menyatu. Begitu juga dengan setiap tetes darah yang membanjiri tanah terangkat dan masuk ke dalam tubuh Diki. Dalam hitungan detik, ia sudah kembali seperti sedia kala.

Ini adalah salah satu kemampuan dari Bakat Chronokinesis milik Nita yaitu mengembalikan waktu. Dengan presisi yang tepat, ia dapat mengembalikkan waktu seorang individu atau bahkan dunia sekalipun jika itulah yang dikehendaki olehnya. Dalam kasus ini, Nita membalikkan waktu milik Diki sampai di titik dimana ia belum terkena serangan.

"HAAAAAAAHHHHHHHHH!!!!"

Melihat semua usahanya sia-sia, Boris seketika naik pitam dan langsung melempar sebuah gundukan tanah besar ke arah Nita dan Joseph yang berlari menjauh. Namun Diki segera membuat pelindung untuk menahan bongkahan tanah tersebut. Sebagai ganti, kurungan yang ia buat sebelumnya melemah sehingga dapat dihancurkan dengan mudah.

Lagi-lagi ternyata ini adalah rencana Boris, ia sengaja menyerang Joseph dan Nita yang mengharuskannya untuk membuat pelindung bagi mereka. Dengan begini, maka Diki tidak bisa membuat pelindung lain untuk dirinya sendiri, kecuali ia lebih memilih untuk mengorbankan temannya demi keselamatan pribadi.

Boris menengadahkan tangan kirinya ke atas dan membentuk puluhan batuan runcing. Namun tepat sebelum ia sempat menembakkannya tiba-tiba tiga anak panah melesat dari kegelapan.

"AAAKKKHHH! SIAPA DISANA?!" teriak Boris penuh amarah sambil melihat area sekitar yang gelap gulita.

Ketiga anak panah tersebut menancap ke lengan kiri Boris, secara tidak langsung berhasil menggagalkan kedua serangannya.

Diki yang menyadari perhatian lawannya telah teralihkan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini dan secepat mungkin berlari mendekati Boris.

Tidak tinggal diam, Boris yang menyadarinya langsung mengacuhkan rasa sakit di lengan kirinya dan segera menembaki Diki menggunakan batuan runcing yang sama. Tapi hal itu sia-sia karena Diki langsung menciptakan pelindung saat itu juga. Sedikit panik, Boris pun segera membuat sebuah dinding memanjang dari tanah dan menahan Diki di tempat.

"Kau pikir aku akan membiarkanmu begitu saja?!"

Diki berhenti tepat di depan dinding buatan Boris kemudian berkata.

"Tidak, tapi..."

*JLEBBB

"... kau sudah dalam jangkauanku."

"A... a.... a..."

Boris benar-benar terkejut sampai-sampai tidak bisa mengucapkan satupun kata. Dinding tanah mulai runtuh, memperlihatkan benda runcing yang telah diwarnai merahnya darah menembus perut Boris. Benda tersebut tidak lain adalah pelindung yang selalu Diki ciptakan selama ini, hanya saja ia telah menemukan cara baru untuk menggunakannya.

Diki membentuk pelindungnya menyerupai batu runcing yang selalu digunakan Boris untuk menyerang. Dan dengan serangan yang sama pula, ia menciptakannya di belakang Boris, tempat dimana ia tidak bisa menyadarinya.

Tidak terima dikalahkan begitu saja, Boris berjalan terpincang-pincang mendekati Diki hendak menyerang untuk terakhir kalinya. Sayangnya, Diki tidaklah sebaik itu.

"Kau masih dalam jangkauanku."

Diki menciptakan benda runcing transparan di udara dan tanpa ragu menancapkannya tepat ke dada Boris. Darah mengucur deras mengotori tangan dan bajunya, namun ia tidak berhenti dan justru mendorongnya lebih dalam hingga menusuk jantung lawannya.

Di akhir hayat, apa yang Boris lihat adalah sebuah tatapan kosong yang sangat dalam bagai jurang gelap tak berujung. Di hadapannya bukanlah lagi seorang manusia, melainkan jelmaan malaikat maut. Tidak, bahkan sesuatu yang lebih mengerikan.

Diki tidak bisa merasakan sakit di lengan kirinya yang terluka, begitu pula rasa bersalah di hatinya meskipun sudah merenggut nyawa seseorang. Jiwanya sudah mati di malam 'itu' dan yang tersisa saat ini hanyalah raganya yang masih berjalan di muka bumi layaknya mayat hidup.

Tubuh Boris yang tak bernyawa akhirnya tumbang mencium tanah. Tatapan matanya kosong dengan kelopak mata masih terbelalak lebar. Luka di badannya tidaklah sebrutal milik Diki sebelumnya, namun tetap cukup lebar hingga membuat kolam darah.

Joseph yang menyaksikan kengerian tersebut hanya bisa menelan ludah sebelum akhirnya membuka mulut.

"K-Kau... membu-" kalimatnya terbata-bata karena tak percaya dengan apa yang sudah temannya perbuat.

"Tidak ada pilihan lain." jawab Diki dengan nada datar khas miliknya.

Joseph mengangguk paham, kemudian berjalan cepat mendekati Nita yang ternyata sudah bersama Agisa.

"Agisa? Bagaimana kau bisa tahu kalau kami ada disini?" tanya Joseph kebingungan.

"Aku sedikit menguping pembicaraan kalian saat di kelas tadi. Karena aku punya firasat buruk jadi kuputuskan untuk pergi mengecek. Daripada itu, apa yang sebenarnya terjadi disini?"

"Akan lebih bagus kalo jelasinnya nanti aja. Kita harus mengecek keadaan Dean." sahut Diki dari arah belakang Joseph.

"ASTAGA! DIKI! KAMU KENAPA?!" ucap Agisa histeris ketika melihat keadaan Diki yang berdarah-darah.

"Ini bukan apa-apa. Yang terpenting sekarang adalah keselamatan Dean. Ayo cepat!" ucap Diki enteng seolah luka menganga di lengannya adalah hal kecil.

Dibantu oleh Agisa, pada akhirnya mereka pergi menolong Dean yang tak sadarkan diri dan memutuskan untuk pergi ke rumah Joseph malam itu karena situasinya yang cukup rumit.

*

Pada waktu shubuh, di area konstruksi yang sama, sudah berkerumun para petugas polisi yang tengah melakukan penyelidikan. Di antara mereka, seorang pria paruh baya berjas mantel coklat gelap sedang bertanya-tanya pada pihak kepolisian. Raut wajahnya nampak lebih tua dibandingkan yang lain, terlebih kumis dan jenggotnya yang sedikit memutih. Karena gusar, ia nampak sesekali menggaruk kepalanya yang sudah botak setengah. Setelah dirasa cukup, ia pun berjalan mendekati jasad Boris yang sudah ditutupi oleh terpal hitam.

"Bagaimana laporan sementara?"

Dari arah belakang, seorang pria yang merasa terpanggil segera mendekat dan membuka buku catatan kecil dari saku kemeja biru gelap yang ia kenakan.

"Keduanya adalah anggota Unity. Yang satu masih kritis dan sedang dirawat intensif, sementara satunya lagi sudah meninggal saat ditemukan. Dilihat sekilas dari luka di tubuh mereka, sepertinya telah terjadi pertarungan disini."

"Buat berita untuk menutupi peristiwa ini, kita tidak mau kejadiannya tersebar ke masyarakat. Dan juga segera gunakan Bakat-mu untuk olah TKP, kita harus bergerak cepat."

"Saya sudah melakukan semuanya bahkan sebelum detektif meminta, dan..."

"Dan?"

"Pelakunya... adalah segerombolan anak remaja."

"Hoooo... ini pasti akan menjadi kasus yang menarik."