Bagaimana jadinya anak berumur 18 tahun telah bercinta dengan paman temannya yang berumur 30tahun? Alana Kanigara adalah pemilik Klub Mentari. Ia baru saja mendapatkan sponsor dari seorang pria yang katanya adalah paman Jessica, temannya sendiri. Dengan sangat yakin Jessica berkata pada Alana bahwa dengan bantuan sponsor pamannya, Klub Mentari akan bersinar semakin terang! Tapi siapa sangka, ternyata paman Jessica adalah pria sama yang telah memadu cinta dengan Alana saat Alana mabuk?! Bagaimana nasib Alana kedepannya? Apakah Angga akan menjadi pasangan serasi dan bertanggungjawab bagi Alana? Atau apakah dia tidak ada bedanya dengan om-om mesum dan pria hidung belang lainnya?
Ketika Alana dibangunkan oleh suara Jessica, langit sudah cerah. Gadis itu mengatakan bahwa dia mendapat sponsor untuk klub dan memintanya untuk segera bangun dan bersiap-siap.
Sepasang mata jingga Alana menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Kepalanya terasa pusing, dan perlahan dia ingat acara di Paradise Club tadi malam.
Sial, dia terlalu banyak minum kemarin! Alana sampai melakukan hal-hal yang tidak biasa dia lakukan tadi malam!
Alana menggerutu dalam hati sebelum bangun dari tempat tidur. Tetapi tubuhnya gemetar, dan dia terjatuh begitu dia kakinya menyentuh lantai.
"Auch. Sakit!"
Alana berdiri dengan lebam ungu di kepala dan menahan rasa sakit di kakinya. Dia menatap piyama pria asing itu dan membuka kerahnya. Yang menarik perhatiannya adalah lebam keunguan di lehernya.
Wajah kecilnya berkerut dalam sekejap, dia tidak tahu bagaimana Alana bisa seperti ini ketika dirinya mabuk?
————
Alana berencana kembali ke Jakarta pada siang hari, tetapi hatinya galau.
"Aku tidur sepanjang pagi. Kau masih merasa mabuk?" Jessica mengkhawatirkan Alana dan suasana hatinya menjadi gundah.
"Sial, Jessica, kamu tidak punya hati nurani! Teman macam apa kau ini?"
"Apa? Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Lana"
"Bagaimana kau bisa melempar tubuhku semalam? Apakah kau berencana membunuhku?"
"Kau sangat berlebihan!" Jessica tertawa dan wajahnya berubah cemberut.
"Aku sangat berlebihan katamu? Tubuhku sakit semua, tahu! Kau …!"
Jessica tidak membantahnya. Setelah Alana mabuk, tubuhnya terasa aneh. Aneh bahwa dia tidak merasakan sakit saat dia bergerak!
"Oke, oke, ayo kita bicara dulu!"
"Aku belum mengganti pakaianku!"
"Tidak apa-apa, bukan masalah besar! Ayo!"
Bukan masalah besar?
Jessica menarik Alana melewati dari gerbang rumah, memanggil taksi dan bergegas ke kota.
Dalam perjalanan, Jessica mengungkapkan informasi tentang sponsor.
"Pamanmu? Aku bahkan tidak kenal pamanmu! Kami tidak pernah bertemu sebelumnya, Kan? Apa tidak apa-apa?"
"Aku kan kenal pamanku! Kamu kenal aku. Berarti pamanku mengenalmu! Biarkan dia membantu, kita cukup bilang saja! Tidak perlu khawatir tentang itu" Kata Jessica dengan bangga!
"Tapi bukankah pamanmu selalu di luar negeri? Dia ada si sini?"
Alana belum pernah melihatnya pamannya Jessica. Rumah yang ia tempati tadi malam adalah rumah pria itu. Pamannya Jessica berada di luar negeri sepanjang tahun, dan terkadang Alana dan Jessica akan pergi ke sana untuk singgah hingga larut malam.
"Aku kembali ke Indonesia minggu lalu, apakah menurutmu itu kebetulan saja? Aku berbicara dengannya pagi ini, dan dia kebetulan berada di kota untuk membahas bisnis. Pamanku benar-benar baik hati! Hehe!"
Alana baru tahu betapa Jessica mengagumi pamannya.
"Oh, ya!" Jessica menyenggol Alana, "Mengapa kau tidur di kamar pamanku tadi malam?"
"Ah? Mungkin karena mabuk aku asal masuk kamar ... apa yang harus kulakukan dengan itu? Katamu dia sangat suka kebersihan, kan?"
Ketika Alana mabuk tadi malam, gadis itu tidak hanya tidur di tempat tidur pria itu, tetapi juga mengenakan piyamanya dengan lancang.
"Tidak apa-apa, pamanku belum pulang kerumahnya, kita akan menyelinap kesana sebelum tengah malam, selepas kita berbicara dengannya, dan kita akan baik-baik saja dan tidak akan ketahuan jika mengganti seprai dan semuanya!"
Jessica menepuk bahu Alana dengan percaya diri. Mencoba membuat Alana percaya dan tidak usah mengkhawatirkan semuanya.
Sepanjang jalan, Jessica terus-menerus memuji betapa tampan pamannya! Meskipun Alana mendengarkan, tapi dia tidak menganggapnya serius. Semua perkataan Jessica tidak dihiraukannya.
Jessica cerewet sekali seperti orang tua saja! batinnya.
Tetapi ketika Jessica membawa Alana ke kafe yang telah disepakati dan melihat pria "tua" dengan wajah kecil, bentuk wajah yang halus dan dalam, dan sikap elegan dalam tingkah lakunya…
"Halo." Sebuah suara seorang pria asing menyapa mereka.
Reaksi pertama Alana terhadap Angga adalah pria itu tidak tampan, tetapi tampak akrab di matanya!
Pria itu mengenakan Kemeja putih dan rompi rajutan warna krem dipadukan dengan trench coat hitam panjang yang simpel dan terlihat stylish.
Dia … tampak akrab? Apa dia pernah …?
Saat Alana melihatnya, matanya bersinggungan dengan mata Angga. Mata yang terlihat kosong itu membuatnya terkejut.
Dia … seperti pernah melihatnya sebelumnya? Apa mungkin dia mengenalnya sebelumnya?
Angga telah berkecimpung dalam bisnis selama bertahun-tahun, tampak tidak memiliki emosi, bahkan jika dia memiliki keraguan di dalam hatinya, Angga tidak tampak menunjukkannya. "Apakah kau Alana? Jessica sering bercerita tentangmu. Jangan sungkan, duduklah."
Saat dia berbicara seperti itu, Alana tiba-tiba merasakan hawa dingin di punggungnya.
Sebuah meja yang menjadi penghalang di antara mereka, tidak membuat Alana tidak menghiraukan Angga. Suaranya terdengar nyaring, ambigu, dan panas dari bibirnya membuatnya terpaku, hingga tubuhnya merasa lemas dan ada getaran aneh yang ia rasakan.
Bahkan suaranya ... anehnya terdengar akrab!
Ada apa dengan paman ini? Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya?
"Haha, Paman. Kau membuat Alana terpesona akan ketampananmu! Lihat! Telinganya sampai merah!" Jessica menunjuk ke telinga putih Alana,yang kini tampak memerah, dan berckau dengan itu.
Alana buru-buru menutup telinganya, "Ah. Tidak, kok! Jangan ngawur!"
Angga memandang Alana pelan dan menatap ke telinga merah itu. Dia ingat betapa lembut dan halus telinga yang memerah itu yang membuat dirinya menggigit bibir bawahnya.
"Apa yang ingin kalian minum?", tanya Angga.
Alana melihat menunya. Dia memesan secangkir teh, yang disebut "Long Island Tea". Jessica langsung berkata, "Sebotol Long Island Tea dengan dua balok gula saja, terima kasih."
"Oke, tunggu."
Jessica melirik Alana. "Apakah kau masih ingin minum di siang hari? Jangan dibiasakan, Alana. Bukankah kau mabuk berat tadi malam? Paman, Alana selalu bertingkah konyol dan aneh-aneh setiap dia mabuk!"
Bisa-bisanya Jessica berkata hal bodoh dan memalukan seperti itu, batin Alana menggerutu.
"Bukan begitu! Aku juga ingin minum teh, kok!" Alana segera membalas.
Jessica dan Angga tersenyum dan menatap satu sama lain yang membuat Alana tertawa canggung.
"Long Island Tea itu adalah nama sebuah koktail." ujar pria itu tiba-tiba.
"..." Alana merasa malu dan telinganya bahkan lebih memerah.
Sial, itu koktail?! Bukan Es Teh? batinnya terkejut.
"Itu karena nama koktail ini terdengar sama dengan minuman lainnya", ujar Angga ringan. Tangannya memegang sendok porselen dan dengan lembut menggosok tepi cangkir kopi yang membuat suara "gemerisik". Hati Alana bergetar dibuatnya. Dia merasa seperti pernah melihatnya dalam mimpinya. Perasaan aneh macam apa ini?
Paman Jessica berusia tiga puluhan, yang tiga belas tahun lebih tua dari dirinya. Bahkan, mendengar suaranya membuat wajahnya memerah dan jantungnya berdebar? Mengapa dia seperti ini?
"Bukankah kamu datang kepadaku untuk sponsorship? Ceritakan tentang masalah klub mu."
Angga duduk di depannya dengan tubuh agak miring, kaki kanan terlipat di kaki kirinya. Tubuh tegap dan postur tubuhnya yang tidak kaku membuatnya tampak elegan.
Dilihat dari usia, emosi, dan pengalaman pria itu... sangat berbeda dengannya, Alana.
Angga sangat dewasa dengan matanya yang tajam itu semakin membuatnya terlihat berbeda dengan Alana.
Alana sebenarnya adalah gadis yang riang dan tak kenal takut.
Entah bagaimana dirinya menghadapi pria ini nanti. Rasa gugupnya membuat Alana terganggu. Atau dia masih merasakan efek hangover tadi malam? Namun, Alana belum pernah merasakan perasaan asing seperti ini sebelumnya.
"Kenapa diam saja?"
Angga mengambil cangkir kopi di depan dan menyesapnya.