When death is a blessing. Bagaimana jika lingkup sosial kita di isi oleh orang-orang menakjubkan? Diantaranya adalah orang yang mempunyai anugerah di luar nalar. Salah satunya seorang bernama Jayendra yang berumur lebih dari 700 tahun dan akan selalu bertambah ratusan bahkan ribuan tahun lagi. Dia memiliki sebuah bakat magis yang disebut Ajian Nityasa. Kemampuan untuk berumur abadi. Mempunyai tingkat kesembuhan kilat ketika kulitnya tergores, tubuh kebal terhadap senjata dan racun, fisik yang tidak dapat merasakan sakit, serta tubuh yang tidak menua. Namun dari balik anugerah umur panjangnya itu, gejolak dari dalam batinnya justru sangat berlawanan dengan kekuatan luarnya. Pengalaman hidup yang dia lewati telah banyak membuatnya menderita. Kehidupan panjang tak bisa menjaminnya untuk bisa menikmati waktunya yang melimpah. Kebahagiaan tak lagi bisa dia rasakan. Dari semua alasan itu, maka baginya kematian adalah hal yang sangat ia damba. Tetapi malaikat pencabut nyawa bahkan tak akan mau mendekatinya yang telah dianugerahi umur abadi. Pusaka yang menjadi kunci satu-satunya untuk menghilangkan Ajian Panjang Umur itu telah lenyap ratusan tahun lalu. Maka jalan tunggal yang harus ditempuh adalah kembali ke masa lalu. Tidak, dia tidak bisa kembali. Orang lain yang akan melakukan itu untuknya. Seorang utusan akan pergi ke masa lalu bukan untuk merubah, tetapi untuk menguji seberapa besar batasan kepuasan manusia. Masa lalu berlatar pada awal abad 13 di Kerajaan Galuh pada masa kepemimpinan Maharaja Prabu Dharmasiksa. Di zaman itulah misi yang semula hanya untuk mengambil sebuah pusaka seolah berubah menjadi misi bunuh diri. Kebutaan manusia akan sejarah membuatnya terjebak pada konflik era kolosal yang rumit. Mampukah mereka melakukannya? Atau akan terjebak selamanya?
"Allahu akbar... Allahu akbar..."
Kalimat pertama Adzan subuh berkumandang, membangunkan sebagian warga di desa yang berada di kaki perbukitan itu. Ayam mulai berkokok menjelang terbitnya sang fajar yang mengintip dari balik Gunung Slamet. Langit timur yang mulai menjingga menandakan awal dari aktifitas umat manusia di hari baru.
Desa Kali Gintung adalah desa yang bersuhu sejuk, pemukiman penduduk sebagian besarnya hanya rumah-rumah sederhana yang dikelilingi oleh persawahan dan perkebunan semakin menambah keasrian desa tersebut. Di sebelah timur desa terdapat hamparan bukit kecil, penduduk sekitar menamainya Bukit Geralang, sedangkan di bagian selatan dan barat terdapat perkebunan tebu milik pemerintah desa, di sebelah barat laut dan utara terdapat perkebunan jagung beserta separuhnya adalah ladang dan sawah yang dimiliki oleh beberapa penduduk.
Sebagian besar penduduk desa Kali Gintung bekerja sebagai petani, beberapa lainnya pedagang kecil yang biasa berjualan di pasar. Hanya ada satu pasar terdekat yang letaknya di desa Kubang Sari, desa yang posisinya sebelah barat dari Kali Gintung, untuk sampai ke desa itu harus berjalan sejauh 800 Meter melalui perkebunan tebu dengan kondisi jalan yang belum dilapisi aspal, hanya bongkahan batu yang dibuat pipih untuk menutupi kondisi jalan yang berlumpur saat musim penghujan, perbaikan jalan itu dilakukan swadaya oleh masyarakat.
Sekolah terdekat pun hanya terdapat di desa Kubang Sari, beberapa pelajar dari Kali Gintung lebih memilih sekolah di desa tetangga tersebut, sebagian warga yang perekonomian nya lebih baik memilih menyekolahkan anak-anaknya ke kota kecil terdekat yang jaraknya sekitar 10 Kilometer dari desa, tentunya dengan kendaraan pribadi. Sebab, angkutan umum menuju kota tersebut cukup mahal, apalagi jika digunakan setiap hari untuk bolak-balik ke sekolah.
Sebagian besar pemuda yang lulus sekolah memilih merantau ke kota besar seperti Semarang, Bandung, atau Jakarta. Sedangkan sebagian kecilnya memilih bekerja menjadi petani atau sekedar membantu pekerjaan orang tuanya. Salah satunya adalah seorang pemuda yang bernama Abdul, dia memilih membantu orang tuanya untuk berternak bebek, setiap pagi dia selalu menggiring bebek-bebek itu ke sawah untuk mencari pakan liar.
Di sela-sela waktu menunggu bebek-bebeknya terpuaskan, Abdul lebih suka beristirahat sejenak di sebuah gubuk kecil di tengah sawah, dengan beralaskan tikar yang tersedia di gubuk yang hanya dibangun dari 4 tiang bambu tanpa dinding serta beratapkan jerami ini adalah tempat ternyaman untuk tidur siang. Tentu saja dia tidak khawatir dengan peliharaannya karena bebeknya adalah hewan yang sangat teratur dan penurut, sehingga tidak akan pergi kemanapun.
***