Sepekan setelah peristiwa di stasiun. Hafiz berjalan di lorong rumah sakit menuju pintu keluar. Keadaannya yang masih lunglai membuat langkah kakinya hanya mengambil separuh daripada berjalan normal. Kini semua perban di beberapa bagian tubuhnya yang terluka telah ditanggalkan, kecuali pada bagian kepala yang masih menyisakan sedikit lagi masa pemulihan.
Sepanjang berjalan dari ruang rawat sampai pintu keluar, dia ditemani oleh dua orang di samping kanan dan kirinya. Di sebelah kanannya adalah seorang Bapak tua berpeci hitam, sedangkan sebelah kirinya seorang pria berbadan tegap perkasa yang sekarang sedang membawakan ranselnya. Sebenarnya ini yang membuat Hafiz sedikit merasa tenang. Karena hikmah dari peristiwa sialnya itu, kini dia mempunyai dua teman baru. Bahkan dengan latar belakang yang cukup penting. Meskipun secara umur terpaut jauh antara mereka.
Yang satu adalah seorang pria tua bergelar profesor yang tentu saja merupakan seorang pemikir, sedangkan yang satunya lagi seorang pria bugar berbadan tegap dan gagah yang merupakan pemimpin regu penyergap dari kepolisian yang seringkali bekerja berdasar kekuatan fisik.
Sebuah mobil Taksi menunggunya di depan pintu keluar. Hafiz dan Profesor pun menyalami Jibril sebelum kemudian segera memasuki mobil tersebut. Sang supir taksi meraih tas ransel milik Hafiz yang dipegangi oleh Jibril, lalu kemudian memasukannya ke dalam bagasi.
"Jangan sungkan untuk hubungi saya jika kamu perlu sesuatu," ujar Jibril sembari tangan kanannya menyalami Hafiz dan tangan kiri menepuk bahunya.
"Terima kasih, Pak," ucap Hafiz.
"Jangan panggil Pak, Jibril saja," pinta Jibril. "Sekarang kamu adalah temanku."
Profesor dan Hafiz memasuki mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh sang supir. Kini mobil taksi pun berlalu, Jibril berdiri dan memandangi mobil tersebut sebelum kemudian hilang dari penglihatannya. Sekarang Jibril pun merasa senang bisa mengenal mereka lewat peristiwa yang sebenarnya sangat dia sesalkan. Dia tidak pernah menyangka bahwa peristiwa yang Hafiz alami adalah akibat dari kecerobohannya. Meski begitu, tak ada sedikitpun niatan dendam yang ada dalam diri Hafiz. Justru Hafiz sangat hangat memperlakukannya. Dia sangat senang, Hafiz lah seorang teman yang belum pernah dia dapatkan sebelumnya.
***
Mobil taksi tersebut berhenti di depan gerbang sebuah rumah dua tingkat. Rumah yang berukuran besar dan tergolong mewah. Hafiz dan profesor menuruni mobil dan langsung memasuki rumah tersebut. Hafiz bersikap selayaknya orang yang baru menginjakan kaki di suatu tempat, yaitu dengan menatap-natap ke langit-langit rumah memperlihatkan ekspresi wajah yang terkagum-kagum.
"Kamu tinggal disini saja, tidak perlu mencari kost atau rumah kontrakan, mahal," pinta profesor. Kemudian menduduki sofa di ruang tamunya.
"Apa saya tidak merepotkan Bapak?" tanya Hafiz sambil juga menduduki sofa yang ada di seberangnya.
"Sudahlah, tujuan kamu ke jakarta saja tidak jelas mau apa, lebih baik disini saja bantu saya merawat laboratorium pribadi saya," bujuk Profesor.
"Siap! Pak," jawab Hafiz mengiyakan. "Bapak tinggal sendirian?"
"Anak saya kuliah di luar kota, tetapi terkadang sebulan sekali pulang." jawab Profesor.
"Istri Bapak?" tanya Hafiz.
"Istri saya sudah meninggal 15 tahun yang lalu," jawab profesor.
"Kenapa bapak tidak mempekerjakan Asisten Rumah Tangga?" tanya Hafiz semakin penasaran.
"Selagi apa-apa masih bisa dikerjakan sendiri, untuk apa menyuruh orang lain?" jawab Profesor.
"Rumah sebesar ini? Jika Bapak tidak sedang di rumah apa tidak ada yang jaga?" tanya Hafiz semakin cerewet.
"Ada Satpam, tapi dia sedang pulang kampung," jawab profesor yang sudah mulai merasa sebal dengan kecerewetan Hafiz. "Pertanyaanmu itu apa tidak terlalu beruntun?, karena semakin kamu diberi tahu, kamu akan semakin ingin tahu."
"Hehe iya maaf, Pak," ujar Hafiz sambil merenges kecil dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu.
"Sekarang giliran saya yang bertanya, kamu tujuannya ke jakarta untuk apa?" tanya profesor.
"Saya juga tidak tahu, Saya hanya butuh ketenangan" jawab Hafiz.
"Orang-orang mencari ketenangan dengan pergi ke gunung, pantai, atau pedesaan. Kamu malah ke kota," Ujar profesor.
"Yang saya fikirkan hanya pergi sejauh jauhnya dari kota yang kenangannya telah membuat saya tidak bisa tidur," Terang Hafiz yang sekarang tertunduk lesu. "Saya perlu menjalani kehidupan yang baru."
"Maaf kalau boleh Bapak tahu, sebenarnya peristiwa apa yang membuat hidupmu gelisah seperti ini?" tanya profesor penasaran.
Hafiz pun terdiam sejenak, satu menit pun dilalui dengan keheningan di antara keduanya. Hingga pada akhirnya dia mau menceritakan peristiwa yang menyebabkan kegelisahan hidupnya itu muncul. Itupun dengan matanya yang mulai berkaca, tak kuasa menahan kesedihan karena ingatan kelamnya.
Profesor sangat mengerti dan memahami apa yang dirasakan oleh Hafiz, sehingga dia tidak berani bertanya lebih lanjut lagi karena takut Hafiz bertambah sedih dan kembali depresi.
"Sampai sekarang pun saya tidak mengerti maksud dari perkataan Sari kepada saya, maksud dari sikapnya kepada saya. Saya benar-benar dibuat bertanya-tanya akan hal itu," ujar Hafiz yang air matanya sudah cukup mengalir deras. "Bahkan saya sempat berfikir bahwa ada yang mempengaruhi fikirannya, ada yang membuatnya tertekan."
"Kamu tidak boleh menduga-duga seperti itu," ujar profesor menguatkan. "Sudah, jangan dilanjutkan lagi."
Hafiz pun semakin menangis sejadi-jadi. Masih tergambar di ingatan ketika jazad wanita yang dicintainya langsung tewas terbujur kaku dengan darah yang mengotori kebaya indahnya.
***
Hafiz bukanlah satu-satunya orang yang diselimuti kegelisahan dalam hidupnya. Ada orang lain yang juga merasakan kegelisahan yang sama meski penyebabnya berbeda. Orang yang telah mengalami peristiwa buruk yang jika orang lain menilai akan dianggap sangat sepele. Padahal kita tidak pernah tahu tingkatan besar kecilnya permasalahan. Hanya orang yang mengalaminya saja yang menanggung beratnya.
Kematian seorang kekasih adalah tragedi yang cukup tragis bagi yang mengalaminya. Namun jika disandingkan, juga tidak bisa mengurangi nilai traumatis dari seorang penggembala yang kehilangan puluhan binatang peliharaannya. Tentu saja orang akan menganggap tidak layak jika dua tragedi ini diperbandingkan, karena sangat berbeda nilai di antara keduanya. Namun, siapa yang berhak memberi nilai atas itu. Segala tragedi yang mengantarkan manusia dalam kepiluan akan sama nilainya, apapun bentuknya.
Abdul hanyalah satu dari sekian banyak manusia di dunia ini yang mempunyai pengalaman memilukan, tetapi tidak semua orang bisa memahaminya. Karena beberapa mungkin akan mentertawakan kegelisahannya yang di anggap tak berdasar itu. Bagi kebanyakan orang, kehilangan binatang peliharaan bukanlah sesuatu yang besar. Tetapi bagi yang mengalaminya, peristiwa ini cukup untuk membuat seseorang merasakan serangan jantung. Karena terkadang sesuatu yang bagi orang lain dinilai komedi, sebenarnya adalah tragedi bagi yang mengalaminya.
Kini Abdul membuka matanya yang sempat terpejam sekitar satu menit. Dengan wajah bingung, dia memandangi sekitarnya. Didapatinya dia sedang berada di dalam bus yang dia naiki. Dia pun tengak-tengok dengan heran menatap setiap sudut, kondisi bus terlihat normal. Seingatnya bus telah jatuh bahkan tenggelam ke danau. Tetapi bus masih berjalan dengan baik baik saja. Semua orang di dalam bus terlihat bugar dan bersih. Bahkan seseorang yang duduk di sebelahnya pun masih orang yang sama.
Dia ingin sekali menganggap peristiwa yang dialaminya itu hanya mimpi, tetapi kejadiannya begitu nyata. Bahkan hawa dingin di tubuhnya yang basah akibat tercebur ke danau masih dia rasakan, meskipun keadaan pakaiannya sekarang kering dan normal.
Apakah ini hanya sebuah mimpi? Ataukah ini sebuah Delusi? Siapakah orang yang berada di sebelahnya? Pengalaman macam apa ini?
***