"Papiii!"
Purie menyeru dengan manja seraya berlari ke arah Tuan Seno yang tengah duduk tenang di meja makan. Tuan Seno tampak sudah rapi mengenakan jas hitam dan kemeja biru muda dengan dilengkapi dasi bermotif garis-garis. Seperti yang dikatakan Bik Arum pada Purie tadi, bahwa Tuan Seno sudah menunggunya untuk sarapan pagi sebelum akhirnya harus berangkat ke kantor. Purie melingkarkan kedua tangan dari balik punggung Tuan Seno. Memeluknya dari belakang lalu meletakkan dagunya di atas bahu Tuan Seno. Ia memang acapkali menggelayut manja di hadapan orangtua tunggal kesayangannya itu.
"Selamat pagi, ratu kecilku, sekaligus bayi besarku!" sahut Tuan Seno sembari mengusap punggung tangan putri semata wayangnya yang tengah memeluknya dari belakang tersebut.
Purie mengerucutkan bibir mungilnya, melepas pelukannya dan kemudian melangkahkan kaki mengitari meja makan untuk menuju kursi miliknya sendiri di depan Tuan Seno.
"Aku memang ratumu, tetapi bukan bayimu! Aku sudah tumbuh menjadi gadis dewasa secantik ini tetapi Papi masih saja memandangku seperti seorang bayi!" protes Purie.
Tuan Seno tersenyum simpul, memandangi gadis berseragam sekolah yang kini telah duduk di hadapannya itu dengan raut masam.
"Memangnya, apa yang salah dengan seorang bayi? Sedewasa apapun dirimu, di mataku, kau tetaplah seorang bayi yang menggemaskan!" timpal Tuan Seno.
Purie masih bermuka masam, ia menopang dagunya dengan telapak tangan kanan dan menatap lurus ke arah Tuan Seno.
"Tidak ada. Tetapi, sebentar lagi aku akan berulang tahun tepat di usia ke tujuh belas tahun. Aku tidak ingin image 'bayi besar' itu terus-menerus melekat padaku! Aku ingin orang-orang melihatku sebagai gadis dewasa yang cantik dan hebat, seperti mendiang Mami...," terang Purie dengan sorot kedua bola mata yang dalam, ia juga merendahkan suara pada kalimat terakhirnya.
Tuan Seno menelan saliva, entah begitu cepatnya gairah untuk sarapan pagi kali ini menghilang bersamaan dengan ucapan terakhir putrinya barusan. Seketika ia terbayang-bayang akan sosok Winona, mendiang istrinya yang telah lama tiada itu. Ia berhalusinasi bahwa Winona tengah duduk tepat di sebelah kursi putrinya saat ini. Menyiapkan beberapa potong roti untuk mereka bertiga sarapan pagi. Meski pada kenyataannya, saat ini ia hanyalah berdua dengan putri semata wayangnya, Purie Winona Perkasa.
"Papi!"
Decit suara lembut itu terdengar samar di telinga Tuan Seno. Hingga akhirnya ia menyadari lamunan yang telah menenggelamkannya dalam ruang dimensi lain.
"Ah, iya? Putriku," sahut Tuan Seno sedikit gugup.
"Papi barusan melamun lagi? Apa karna aku baru saja mengungkit soal Mami? Kalau iya, maafkan aku." Purie memasang raut wajah bersalah.
Tuan Seno dengan cepat menggelengkan kepalanya, ia tidak ingin menghadirkan kesedihan di benak putri kecintaannya itu. Meskipun dalam benak Tuan Seno sendiri telah tidak kuat lagi menampung kesedihannya seorang diri. Ia masih saja kerapkali menangisi kepergian sosok mendiang sang istri.
"Ah tidak, bukan begitu, putriku. Aku hanya sedang memikirkan kira-kira julukan apa yang cocok untuk menggantikan panggilan 'bayi besar' itu," elak Tuan Seno seraya memaksakan senyumnya.
"Benarkah?" tegas Purie memastikan.
"Tentu saja. Lagipula, kau membahas tentang Mamimu atau tidak, sudah pasti aku akan tetap memikirkannya. Bukankah, dia selalu ada dalam hati kita sampai kapanpun?" ujar Tuan Seno lembut.
Purie tersenyum kecil, kemudian menganggukkan kepala dengan lamban.
"Ya, Mami selalu ada dalam hatiku. Sampai kapanpun," gumam Purie lembut namun tegas.
"Ah, sudah, sudah! Aku sudah cukup lama menunggu putriku yang cantik ini turun agar kita segera sarapan! Bukan untuk meratap seperti ini," Tuan Seno melayangkan telapak tangan kanannya untuk mengaburkan kesedihan di wajahnya.
Purie pun merekahkan kembali senyumannya. Sebesar apapun kerinduannya terhadap mendiang sang Mami, ia tidak ingin menampakkan kesedihannya di depan Tuan Seno, Papinya. Purie ingin agar dirinya dan Tuan Seno melanjutkan kehidupan dengan bahagia, meski pada kenyataannya ada ruang hampa dalam hati mereka masing-masing. Entah kapan dan bagaimana kehampaan itu akan sirna. Yang jelas, Purie ingin selalu membahagiakan Tuan Seno, satu-satunya orang yang Purie miliki saat ini.
"Baiklah! Bagaimana kalau sekarang kita bahas tentang hal yang lain?" sergah Purie bersemangat sembari mengunyah roti isi selai kacang di mulutnya.
Tuan Seno baru saja menyuap satu sendok nasi goreng di mulutnya kemudian mengawasi wajah putri kesayangannya yang manja tersebut. Tuan Seno dapat dengan mudahnya menangkap maksud lain dari Purie. Nampaknya, bayi besarnya itu tengah menginginkan sesuatu darinya.
"Apa?" tanya Tuan Seno curiga.
Purie tersenyum menyeringai ke arah sang Papi. Senyuman yang begitu dikenali Papinya sebagai tanda permintaan istimewa. Biasanya, dengan senyuman itu, akan muncul sebuah permintaan tak terduga dari sang putri tunggalnya tersebut. Namun lagi-lagi Tuan Seno juga menyadari bahwa ia tidak pernah bisa menolak keinginan Purie, anak semata wayangnya yang telah menjadi piatu di usia belia tersebut. Ia tidak sampai hati membuat anak semata wayangnya itu bersedih dan kecewa, sebab ia telah mengalami kehilangan yang tiada gantinya.
"Kenapa cepat sekali wajah Papi berubah tegang seperti itu? Itu tidak lebih baik daripada wajah sedihmu tadi. Tenang saja, kali ini aku tidak akan meminta hal yang aneh-aneh lagi. Aku berjanji," tegas Purie.
"Cepat katakan saja apa permintaanmu saat ini. Tidak perlu berjanji. Bukankah hal-hal yang tidak aneh bagimu, selalu tidak masuk akal bagiku?"sahut Tuan Seno sedikit was-was.
Purie memamerkan seluruh giginya yang berbaris dengan rapi. Entah mengapa ia merasa bahwa Papinya itu sedang bertingkah humoris meskipun dalam kondisi tengah bersikap setegas ini.
"Mudah-mudahan saja kali ini kita memiliki pendapat yang sama," sahut Purie.
Tuan Seno mengunyah nasi goreng miliknya dengan lamban sembari menatap lurus ke arah putrinya. Tak lama kemudian ia menaruh sendok dan garpunya di atas meja.
"Katakan sekarang, waktuku tidak banyak. Aku sudah harus segera berangkat ke kantor," pekik Tuan Seno.
Purie menarik napas pendek.
"Mengenai ulang tahunku, apakah Papi berencena mengadakan pesta perayaan?" imbuh Purie.
"Kalau kau memang bersedia, itu bukanlah hal yang sulit. Lagipula, sejak pesta perayaan ulang tahunmu yang ke dua belas lalu, kau bilang tidak ingin lagi membuat pesta perayaan ulang tahun. Itu artinya, lima tahun belakangan ini, ulang tahun tanpa pesta perayaan adalah keputusanmu sendiri," beber Tuan Seno dengan raut sedikit kebingungan.
"Ya, Papi benar. Itu memang pilihanku sendiri. Sebab, kala itu pertama kalinya bagiku merayakan ulang tahun setelah kepergian Mami. Aku merasa, tidak ada gunanya merayakan hari ulang tahun tanpa kehadiran Mami. Aku sama sekali tidak merasakan kegembiraan. Justeru sebaliknya, aku menjadi orang paling kesepian di tengah keramaian!" papar Purie dengan suara sedikit bergetar dan kedua bola mata yang mulai berkaca-kaca.
Tuan Seno menelan salivanya, kemudian meraih segelas air putih miliknya dan meneguknya dengan cepat hingga tersisa setengahnya.
"Lantas, apa yang kini membuatmu ingin merayakannya lagi?"
Purie tersenyum kecil.
"Aku ingin merayakannya lagi karena..., karena kali ini aku akan berulang tahun tepat di usia tujuh belas tahun. Aku ingin ada hal yang istimewa pada saat moment sweet seventeenku nanti," papar Purie dengan wajah berbinar.
***