webnovel

3. Tidak Sama Persis

"Mengenai pesta perayaan ulang tahunmu nanti, serahkan saja semua pada Aldo. Biarkan dia yang mengurus segalanya," pungkas Tuan Seno.

Tuan Seno dan Purie telah menyelesaikan santapan pagi mereka di meja makan. Kini keduanya tengah berjalan perlahan menuju teras rumah untuk kemudian pergi ke tempat tujuan mereka masing-masing. Tuan Seno berangkat ke kantor perusahaan miliknnya, bersama Pak Aldo, sopir pribadi sekaligus kaki tangan Tuan Seno yang telah mengabdi padanya selama belasan tahun. Sementara Purie hendak berangkat ke sekolah dengan Pak Didi, sopir pribadi yang amat tunduk patuh padanya. Pak Aldo maupun Pak Didi tengah menunggu majikan mereka tersebut di dalam mobil mewah yang berbeda.

"Baiklah, Pi. Tetapi apakah hal itu tidak akan mengganggu kepentingan pribadi Papi?" timpal Purie seraya terus menggandeng lengan kanan Tuan Seno dengan kedua tangannya.

Sepanjang perjalanan menuju teras rumahnya, Purie tetap menggelayut manja pada ayah kandung kesayangannya tersebut. Seolah Purie tidak ingin kehilangan sosok sang Papi, sebagaimana ia telah kehilangan Maminya.

"Sama sekali tidak, sayangku. Bahkan, jika memang memungkinkan, aku yang akan mengurusnya sendiri. Demi kebahagiaan putriku tercinta, yang cantik jelita, Purie Winona Perkasa." Tuan Seno mencoba menggoda bayi besarnya tersebut.

Purie mencubit gemas lengan Papinya. Hingga sang Papi sedikit meringis.

"Aww, ini cukup kuat untuk gadis selembut putriku!" protes Tuan Seno.

Purie hanya tertawa kecil.

"Memang aku adalah gadis yang lembut hatinya namun kuat fisiknya. Persis seperti Mami! Iya, kan?" sahut Purie.

Tuan Seno menghela napas panjang.

"Sepertinya, dalam situasi apapun kau tidak pernah bisa lepas dari sosok Mamimu. Ya, kalian berdua memang sama persis. Sosok yang sama-sama cantik jelita, anggun, lembut, cerewet dan manja!" jawab Tuan Seno sembari mengingat-ingat sosok mendiang sang istri semasa hidupnya.

"Satu lagi, kami berdua sama-sama saaangat mencintai Tuan Seno Perkasa!" sergah Purie dengan sumringah.

Keduanya pun tertawa bahagia, kebersamaan mereka selalu berhasil menghangatkan suasana pagi yang dingin dan sejuk. Seolah tidak ada lagi kesedihan yang mereka simpan.

"Kalau soal itu benar-benar fakta!" imbuh Tuan Seno dengan gembira sembari mengelus kepala putri semata wayangnya itu.

Tuan Seno dan Purie menghentikan langkah kakinya ketika tiba di hadapan sebuah mobil mewah berwarna hitam.

"Papi harus berangkat ke kantor sekarang. Di sekolah, kamu harus belajar dengan giat dan fokus! Bukankah kau selalu bilang bahwa kau ingin menjadi wanita hebat seperti mendiang Mamimu. Ketahuilah, bahwa mendiang Mamimu pun mengawali semuanya dengan belajar yang tekun di sekolah!" papar Tuan Seno dengan raut serius.

Purie menganggukkan kepalanya sembari menatap lembut wajah Tuan Seno yang mulai dihiasi garis-garis kerut. Lalu membuat sikap hormat pertanda menyanggupi segala nasehat sang Papi.

"Siap, Tuanku!" goda Purie.

"Baiklah, aku berangkat sekarang. Kau harus selalu hati-hati di manapun berada bila tanpa diriku! Aku mencintaimu, putriku." Tuan Seno mendaratkan kecupan lembut di kening Purie.

Entah mengapa Tuan Seno selalu merasa cemas dan was-was apabila membiarkan Purie seorang diri tanpa kehadirannya. Meski Purie sudah sedewasa ini dan meski sebatas ia pergi ke sekolahnya sendiri. Sejatinya naluri seorang ayah yang ingin selalu melindungi putra maupun putrinya, Tuan Seno tetap saja diliputi kekhawatiran yang besar dan selalu merasa bahwa Purie adalah seorang bayi yang mestinya selalu ada dalam timangan serta pengawasannya.

"Baik, Papi. Aku juga mencintaimu. Sangat mencintaimu, dan selaaalu mencintaimu!" balas Purie seraya menggoda sang Papi.

Bik Arum yang sejak tadi mengiringi langkah kedua majikan besarnya itu, seraya membawakan tas mereka masing-masing perlahan menghampiri Tuan Seno yang hendak memasuki mobil pribadinya dan pergi lebih dulu.

"Ini tas anda, Tuan." Bik Arum menyerahkan sebuah tas kerja berwarna hitam pada Tuan Seno.

"Baik, terimakasih, Bik." Tuan Seno meraihnya kemudian bergegas memasuki mobilnya.

Tuan Seno tersenyum sembari melempar senyuman manis pada putri semata wayang kesayangannya yang cantik jelita itu. Sebelum akhirnya wajah penuh kharisma milik pengusaha sukses dan kaya raya bernama Seno Perkasa itu tenggelam di balik kaca mobilnya. Purie pun terus melambaikan tangannya sembari tersenyum untuk melepas keberangkatan sang Papi, hingga mobil mewah berwarna hitam itu menghilang dari pandangannya.

Sepeninggal Tuan Seno, kini Bik Arum menyerahkan sebuah tas punggung berwarna putih milik Purie.

"Ini, tas sekolah Non," cetus Bik Arum.

Bersamaan dengan menghilangnya mobil Tuan Seno dari pandangannya, menghilang juga raut sumringah dari wajah Purie. Seolah ia hanya akan bersikap ramah dan ceria hanya di hadapan Papinya saja atau orang-orang tertentu saja. Kini Purie berubah drastis seperti sedia kala bila di hadapan seorang pelayan seperti Bik Arum, cuek dan dingin.

"Apa kau sudah benar-benar yakin bahwa tidak ada satupun barangku yang tertinggal?" sergah Purie cukup sinis sekaligus pesimis.

Bik Arum menganggukkan kepalanya yang tertunduk itu dengan lamban.

"Sudah, Non. Kalau sekiranya Non meragukannya, Non bisa memeriksanya saat ini," anjur Bik Arum cukup gugup.

Purie membuang napasnya berat-berat, kini ia tampak semakin ketus.

"Apa? Aku? Kalau aku yang memeriksanya sendiri, lantas apa fungsi keberadaanmu di rumah ini? Kau dipekerjakan untuk melayani segala keperluanku! Bukan untuk menyuruhku menjadi team QC atas tugas-tugasmu!" protes Purie kesal.

Wajah lusuh Bik Arum yang sudah dihiasi oleh garis-garis kerutan itu tampak mulai memerah. Kendati ini bukanlah hal baru baginya yang kerapkali dibentak oleh sang majikan mudanya itu, namun dimarahi oleh Purie adalah hal yang cukup menyedihkan baginya.

"Baik, Non. Maafkan saya. Saya sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Tenang saja, Non sudah bisa membawanya ke sekolah sekarang juga," sahut Bik Arum sembari menyodorkan tas sekolah milik Purie tersebut.

Untuk beberapa detik Purie menatap tegas wajah Bik Arum, sebelum akhirnya mengambil tas sekolahnya tersebut dengan cukup kasar.

"Meskipun Papiku bilang aku adalah orang yang sama persis seperti mendiang Mami. Sebenarnya aku sangatlah berbeda dengannya. Aku bukanlah tipe orang yang dapat mentolerir kesalahan yang berulang-ulang dari seorang pelayanku!" tegas Purie sedikit menyindir.

Purie pun beranjak pergi dari hadapan Bik Arum dan bergegas memasuki mobilnya untuk berangkat ke sekolah. Sementara Bik Arum masih berdiri mematung di tempatnya oleh sebab perkataan Purie yang cukup menusuk hatinya tadi. Bik Arum tak mampu lagi berucap sepatah kata pun. Kedua bola matanya itu mulai berkaca-kaca kembali oleh sebab sikap sang nyonya mudanya tersebut. Bik Arum masih memandangi kepergian Purie dengan raut sedih hingga mobilnya menghilang dari pandangan matanya yang berair. Meskipun Bik Arum merupakan sosok penyabar dan keibuan, namun ia juga adalah manusia biasa yang bisa terluka hatinya bila terus-menerus direndahkan.

"Ya, kau benar, Nona Purie. Nona memanglah sangat berbeda dengan mendiang Nyonya Winona. Mendiang ibumu itu adalah wanita yang cantik wajah dan juga hatinya. Sementara dirimu, cantik rupa namun tidak memiliki hati." Bik Arum berkeluh kesah di dalam hati.

***

Next chapter