Sepasang mata coklat Ralin terpancang ke tengah lantai dansa. Seorang lelaki dalam balutan jas hitam dan perempuan langsing bergaun putih dalam pelukannya, tengah meliuk anggun mengikuti lagu romantis yang mengalun merdu. Senyum mereka memancarkan kebahagiaan yang nyata, sorot mata yang hangat menunjukkan cinta mendalam diantara mereka. Orang-orang yang menyaksikan, sama seperti dirinya, berdiri di tepian lantai dansa sambil bertepuk tangan. Ralin bertepuk tangan sekilas, ingin kembali ke mejanya segera dan duduk membaur bersama tamu undangan yang tak seberapa jumlahnya. Kakinya yang terbungkus dalam sepatu bridesmaid berwarna ungu lavender kini mulai pegal dan basah oleh keringat.
'Cause there's somethin' in the way you look at me
It's as if my heart knows
You're the missing piece
You make me believe
That there's nothing in this world I can't be
I never know what you see
But there's somethin' in the way you look at me
Suara merdu Christian Bautista membuai semua yang hadir, kecuali Ralin, dan seorang remaja lelaki bertubuh jangkung dalam balutan jas yang berdiri tak jauh darinya. Mereka saling lirik beberapa detik, lalu sama-sama memalingkan wajah, pura-pura melihat ke arah lain. Rasa sakit di kelingking kaki kirinya membuat Ralin menyerah, dan ia berbalik untuk kembali ke mejanya. Ia meluruskan gaun ungunya yang sepanjang mata kaki, lalu duduk pelan-pelan agar bagian belakangnya tidak kusut. Dari sela-sela tubuh para tamu yang berdiri ia menatap lelaki yang masih berdansa sambil melekatkan dahinya pada wanita cantik di pelukannya. Ralin menghela napas.
Remaja lelaki tadi juga kembali ke mejanya, yang berada tepat di sebelah meja Ralin, masih bersikap cuek dan tak menggubris tatapan dari Ralin. Ia mulai asyik dengan ponselnya, sementara Ralin kini memandang buket bunga mawar putih yang telah diletakkannya di hadapannya. Buket bunga yang melayang ke arahnya saat pengantin wanita melemparkannya, mendarat begitu saja di tangannya. Huh, ia tak percaya mitos. Tapi ia suka buket ini, harum dan cantik sekali. Ia akan menaruhnya di dalam kamar dalam vas kristal cantik yang jadi kado ultahnya beberapa tahun silam.
“Ralin, hei! Sini!”
Pengantin pria, Papanya, melambai padanya. Lalu lelaki itu juga melambai pada remaja angkuh tadi, meminta mereka mendekat. Ralin memakai kembali sepatunya dan berjalan ke arah meja besar yang di atasnya terpajang kue pernikahan dalam nuansa putih-ungu-gold bertingkat 2. Sebentar lagi acara potong kue. Baguslah, pikir Ralin. Ia sudah lapar dan ingin sekali mencicipi kue itu dari tadi.
“Ayo, Sayang.”
Pengantin wanita, Mama tirinya, menariknya mendekat sambil tersenyum manis. Ia lalu menarik remaja tadi, putranya, kakak tiri Ralin, untuk ikut mendekat. Mereka berempat berdiri melingkar di depan meja bundar, bersiap mengikuti prosesi. Kue dipotong, diiringi tepuk tangan hadirin, dan kedua mempelai saling menyuapi lalu berciuman mesra. Ralin bersusah payah menyembunyikan rasa canggungnya, sementara remaja di sebelahnya, Yugara, menyembunyikan ekspresinya di balik telapak tangan, berpura-pura mengusap wajahnya.
Setelah ini, mereka akan menjadi satu keluarga untuk selamanya.