webnovel

1 - SMK 777

"KELAS X SASTRA MESIN"

Raya duduk di bangku kelas, pandangannya kosong, matanya lelah. Waktu terus berjalan, dan suasana kelas semakin hening. Ia merasa aneh bahwa pelajaran belum dimulai padahal waktu sudah menjelang habis. Di hadapannya, papan tulis masih bersih, dan guru mata pelajaran belum muncul.

Dengan nada agak kesal, Raya menggerutu sendiri, "Aneh banget, kok sampe jam pelajaran ini selesai gurunya masih belum juga dateng?"

Ia menoleh ke arah temannya yang duduk satu bangku dengannya, Tangguh, yang tengah asyik dengan permainan di ponselnya. Raya memanggilnya dengan suara keras, "Tangguh, elu kan ketua kelas, hubungi guru kita lah, atau minimal coba samperin ke ruang guru!"

Tangguh dengan santainya menjawab, "Ah, males lah... lagian udah tak coba chat juga, tapi belum dibales."

Raya menggelengkan kepala dengan sedikit kecewa, "Yaelahh jangan sampe nama lu gua ubah dari Tangguh jadi Goyah ya!"

Tangguh menghiraukan perkataannya Raya

Saat Raya berdiri untuk memanggil Tangguh secara langsung, Tangguh menoleh sebentar, lalu kembali ke permainannya. Raya semakin kesal dan memanggilnya dengan suara lebih keras, "Woi budek!"

Tangguh diam sejenak, lalu akhirnya terdengar backsound in-game dari ponselnya "DEFEAT"

Raya tidak bisa menahan tawa, "WHAHAHAHAH!"

Tangguh menggertakkan gigi, "Berisik anjir, ngoceh terus lu kayak TV."

Sementara itu, seorang murid yang jarang terlihat, melangkah keluar dari bangku belakang menuju pintu kelas. Raya memperhatikan dengan rasa penasaran, "Siapa tuh orang? Perasaan baru liat kali ini"

Tangguh menyela dengan nada acuh, "Langganan sakit izin alpha kek lu mana tau."

Tiba-tiba, Caca dan teman-temannya masuk ke dalam kelas dengan penuh semangat. Caca menyapa dengan riang, "Assalamualaikum!"

Raya menjawab salamnya, "Assalamualaikum juga"

Tangguh menyela perkataan Raya, "Woo ngepek, gaboleh gitu cuy. Jawabnya tuh waalaikumsalam ege!"

Raya tertawa kecil, "Buset, bisa gitu... habis kalah langsung dapet pencerahan yee"

"Assalamu'alaikum, semuanya," sapa Pak Jaesun, dengan suara yang tegas. Para siswa pun langsung diam dan memperhatikannya.

Tangguh secara spontan pindah ke bangkunya sendiri

Raya menjawab salamnya, "Waalaikumsalam"

Tangguh nyeletuk, "Wuihh langsung lancar salamnya, shittt browww"

Pak Jaesun mengetuk meja berkali-kali untuk meminta perhatian kelas. "Yoo perhatikan dulu bapak ingin berbicara, jangan pada berisik. KAYAK PASAR AJA!"

Sontak seketika kelas menjadi hening

Pak Jaesun mengamati beberapa bangku yang tampak kosong dan hanya terdapat tasnya. "Mana yang lain?"

Seisi kelas tetap hening, tak ada yang berani memberikan jawaban. "Hebat ya, tadi bisa sahut-sahutan, sana ngomong sini ngomong, sekarang ditanya pada diam, KENAPA DIAM!? ARRGHHH! bapak kecewa sekali dengan kelas ini, KELAS TERBURUK!"

Pak Jaesun mengeluarkan kertas yang berisi absen kelas X SM. "Akan bapak absen, kalau bapak panggil namanya gak nyaut, akan bapak alfa"

Pak Jaesun memandang ke sekeliling kelasnya dengan tatapan tajam, memastikan setiap nama yang dipanggilnya dijawab dengan kehadiran yang tepat. Suasana kelas begitu hening, hanya terdengar suara langkah kaki pak Jaesun di atas lantai kayu.

"Alisha Putri Kayana," panggilannya kedua kalinya lebih tegas, mencari respon dari siswa yang bersangkutan.

"Hadir, Pak!" jawab Caca dengan suara lantang, memastikan kehadirannya terdengar jelas di seluruh ruang.

"Angelyna Valencia Parvati," panggil Pak Jaesun dengan suara yang sama kerasnya, mengalihkan pandangannya ke arah siswa yang seharusnya merespons.

"Hadir, Pak!" sahut Enjel dengan percaya diri.

Tiba saatnya untuk memanggil nama berikutnya, "Asteria Naycita," panggil Pak Jaesun. Tapi sebelum ia melanjutkan, sebuah suara lembut memotong keheningan.

"Hadir, Pak!" jawab Naya dengan lantang, suaranya mengisi ruangan dengan keceriaan. Pandangan Pak Jaesun berpindah ke arah suara tersebut, melihat senyuman di wajah Naya yang menunjukkan kehadirannya dengan bangga.

Dengan senyum singkat, Pak Jaesun mencatat kehadiran Naya dengan garis tegas.

"Dyah Pitaloka Citraresmi," ucap Pak Jaesun dengan suara yang kembali serius. Sebelum ia bisa menyelesaikan panggilannya, suara lainnya segera menyela.

"Hadir, Pak!" seru Dyah dengan penuh semangat. Tatapan Pak Jaesun beralih ke arahnya, melihat ekspresi percaya diri di wajahnya. Dengan mengangguk, Pak Jaesun mencatat kehadiran Dyah dengan tanda yang sama dengan yang sebelumnya.

"Ezra Fauzian Pratama?" Pak Jaesun menatap disekelilingnya, "Hebat, ini sudah minggu kedua penuh Ezra tidak berangkat," gumamnya pelan. Dengan sigap, ia mencoret nama Ezra dari daftar kehadiran, menandai dengan tinta yang berkilauan di cahaya lampu kelas.

Mata Pak Jaesun melintas di sepanjang baris-bari siswa. Tiba-tiba, ia mengangkat suaranya, "Favian Ardena Alkahfi."

Pak Jaesun mengernyitkan dahi. "Favian Ardena Alkahfi?" panggilnya sekali lagi, sedikit lebih keras kali ini.

Dalam sekejap, hening tergantikan oleh serentaknya jawaban para siswa, "Masih di kantin, Pak!"

Pak Jaesun mengangguk, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi berbeda. "Hebat, Favian Alkahfi, keterangannya 'Alfa'."

"Heksa Falah Fitraya"

....

Tidak ada sahutan satupun

"HEKSA FALAH FITRAYA! MANA ORANGNYA!!?"

Ketika nama "Heksa Falah" dipanggil kedua kalinya untuk diabsen, suasana kelas hening sejenak. Dalam keheningan itu, terdengarlah suara terjeduk keras, hampir seperti dentuman, dari meja yang berada di bagian belakang ruangan.

Seketika dari belakang berlarilah seseorang ke bangku depan tepat disebelahnya Raya

"Ea ea EA, KAMU YANG DARI BELAKANG MAJU SINI!"

"Hadir pak, kulo Heksa" Heksa seketika berdiri dan maju kedepan dengan langkah yang sempoyongan

"Hebat, berangkat sekolah malah tidur, mau jadi apa kamu!? Cukup! Sampai jam terakhir, berdiri terus di sini, baik selanjutnya Ilham Tangguh Prakoso"

"Hadir pak!" ucap Tangguh dengan tegas

"Nathanael Travis Raya"

"Hadir pak!" ucap Raya dengan tegas

Melihat Raya yang mengenakan jaket di dalam kelas. Dengan suara tegas, pak Jaesun memanggil Raya, "Nathanael, tolong lepaskan jaketmu. Di dalam kelas tidak boleh menggunakan jaket."

"Siap pakk!" pertegas Raya

Pak Jaesun tampak keheranan sambil mengusap keringat di dahinya. "Raden Ki Ageng Maharaja Baginda Lord King Tirtayasa Sri Sultan Faisal Buryan Cahyono Widoyo Mangunkusumo Wiguna Adipati Diningrat Mangkubumi Sudrajat Noto Boto Sedoso Tibo Limo Mangku Rondo Limo Tanpo Busono Penguoso Sak Jagat Royo"

Dengan tatapan serius dan jengkel serta nada sedikit membentak, "Mana anaknya? Gak ada yang nyahut akan bapak alfa!"

Sontak seseorang berdiri dan mata Pak Jaesun beserta seluruh kelas tertuju padanya

"Saya ada pantun pak! Giring bola mondar-mandir"

Sontak sekelas menyahut, "Cakep!!"

"Hadirrr"

Pak Jaesun dan seisi kelas tertawa. "Oh pantess namanya panjang, ternyata biar kalau dipanggil bisa ngerangkai pantun dulu. Siapa nama panggilanmu?"

"Nama panggilan saya Doyok, pak." Jawab Doyok

"Selamat karena nama kamu bikin bapak jengkel, setelah ini bapak tunggu di BK ya."

Seisi kelas tertawa saat Doyok hanya tertunduk dan kembali duduk menahan malu

"Rangga Akbar", "Hadir pak!"

"Vico Ridho Pramudya", "Hadir pak!"

"Terakhir, Yuvya Rafaell", "Hadir pak!"

Pak Jaesun terdiam sejenak sebelum melanjutkan mengabsen. "Ini benarkan kelas X SM?"

....

Sontak sekelas menyahut, "Benar pak!"

Gelak tawa terdengar dari Pak Jaesun, "Jumlah murid kelas ini kok gak sampe 20, kelas kurang peminat haduhh"

.....

"Baik perhatiannya, bapak ingin menyampaikan sesuatu. Hari ini, bapak mendapat amanah dari rekan guru matematika untuk menagih PR Matematika dari kalian semua. Kelas X Sastra Mesin, yang sudah langsung dikumpulkan saja dan yang belum segera dikerjakan. Kelas bapak tinggal jadi selamat mengerjakan"

Pak Jaesun meninggalkan ruangan

Naya, siswi bangku terdepan berdiri lalu melangkah ke depan kelas, "Duduk lagi aja Heksa, jangan curi panggung gue mau ngomong."

"Iyoo otw lungguh banter." Heksa segera kembali ke bangkunya tepat di sebelah Raya.

"Baik teman-teman minta perhatiannya sebentar, mumpung jamkos gue mau diskusiin tentang event tahunan SMK kita yang ke-777, jadi katanya ada beberapa pertunjukkan yang bakal ditampilkan nanti saat event dan puncaknya yaitu di event yang namanya "Prom Night" jadi adakah dari kalian yang mendapatkan undangan atau tawaran dari pihak pengurusnya?" Ucap Naya sambil memegang buku catatannya dengan erat. ia memandang sekilas wajah-wajah di sekelilingnya, mencari tanda-tanda keinginan untuk berpartisipasi dalam diskusi tentang event tahunan sekolah.

Seisi kelas tampak hening "Perlu digaris bawahi, yang diundang untuk menjadi pesertanya adalah orang yang spesial, rumornya mereka dipilih lewat peringkat paralel"

Raya cengar-cengir mengetahui hal tersebut

"Gausah cenga-cengir lo Ray, gue tau lo peringkat 1 paralel, maksud gue ini khusus cewe ya." Naya menodong buku catatannya untuk hendak dilemparkan ke arah Raya sebagai ancaman, "Baiklah, silahkan yang merasa semester lalu masuk peringkat paralel maju kedepan isi nomor WA." Naya menaruh buku catatannya di atas meja di depan

Caca, dengan cepat dan tanpa ragu, mengisi nomor WhatsApp-nya di buku catatan Naya. Setelah selesai, dia menyodorkan buku itu kepada Enjel yang berdiri menunggu di belakangnya, memberikan senyum kecil sebagai tanda persahabatan. Enjel menerima buku itu dengan ramah, tapi sebelum dia kembali ke tempat duduknya, ada ekspresi kebingungan yang melintas di wajahnya.

"Naya," bisik Enjel setelah mendekati Naya, "Kenapa si Mak Lampir, maksudnya Caca, ikut serta?" bisik Enjel kepada Naya, matanya sedikit terbelalak.

Naya hanya tersenyum tipis, merasa agak heran dengan pertanyaan itu. "Hah apa?"

Enjel makin mendekat dan berbisik kepada Naya, "Itulohh... kenapa orang kayak Caca malah ikut tampil, heran gue."

Naya menatap Enjel dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan penasaran. "Apa maksudmu?" desaknya pelan.

"Kau tahu sendiri, Naya," lanjut Enjel, "Gue ngerasa, dia mencoba menjadi pusat perhatian dengan gaya anehnya. Seperti Mak Lampir yang selalu mencari sensasi," ucapnya, sedikit menaikkan suaranya agar hanya terdengar oleh Naya.

Naya mengangguk mengerti, meski masih terlihat ragu. "Kita tidak bisa menghakimi seseorang hanya dari penampilannya, Enjel," ujarnya.

Enjel menggelengkan kepala pelan. "Gue tahu, tapi gue hanya merasa... aneh melihatnya," bisiknya lirih.

Naya menatap Enjel dengan penuh pengertian. "Mungkin dia hanya ingin mencoba hal baru, siapa tahu," ucapnya, mencoba meyakinkan Enjel.

Enjel mengangguk setuju, tetap terlihat ragu. "Mungkin..." bisiknya pelan, sebelum kembali ke bangkunya dengan langkah ragu.

"Oh iya, karena nanti acara prom nightnya itu nanti malam... jadi nanti sore akan ada latihannya ya, njel," ucap Naya

"Iya." Enjel sempat menoleh dan akhirnya kembali ke bangkunya

"Eh njel, lo yakin mau dipasangin sama kutu kayak Caca, gue sih ogah! huek ahhaah." Risty langsung mengompor-ngompori Enjel

Risty terus memutarbalikkan situasi dengan candaannya yang khas. Dia memang tak pernah kehabisan akal untuk membuat suasana menjadi lebih hidup, meskipun terkadang itu membuat Enjel semakin ragu.

Enjel memicingkan mata, menahan senyum tipisnya. "Ah, jangan bercanda, Ris. Sudahlah, Caca itu baik kok."

Risty tertawa lepas, menyadari bahwa dia telah berhasil meraih perhatian teman-temannya. "Baik-baik saja, Njel. Tapi tetap saja, kutu itu kan... kutu. Awas nanti dikepang rambutnya!"

Risty tertawa keras, mencoba menarik perhatian teman-temannya yang lain. "Gimana, Njel? Pasti bakal gatal-gatal terus nih kepala lo! Hahaha!"

Enjel memiringkan kepalanya, mencoba mengabaikan ejekan Risty. "Apa-apaan sih, Ris? Gue enggak mau ikutan perang mulut kayak lo. Biarin aja dia, toh itu pilihannya," jawabnya dengan tenang, meskipun hatinya sedikit tersinggung.

Risty terus saja menggoda Enjel, tanpa henti. "Njel, lo nggak bosen-bosen ya jadi orang yang selalu di latar belakang? Caca itu kayak kanvas kosong, siap diwarnain dengan ejekan kita! Hahaha!"

"Astaga, Ris, kenapa sih lo gak bisa berhenti? Caca nggak pernah nyakitin kita, kenapa kita harus bikin hidupnya jadi neraka?" Enjel mencoba menahan diri, tetapi semakin sulit ketika Risty terus menyerang.

Risty hanya terkekeh rendah, melanjutkan godaannya, "Lo tuh lemah, Njel. Kapan lo belajar untuk berdiri tegak dan mempertahankan diri? Kita bisa menguasai sekolah ini, tapi lo terlalu takut untuk ambil peran!"

Tapi Risty tidak mengendur. "Ah, lagian nih ya, manekin kaku dan rapuh kek Caca nggak pantes tau sepanggung sama bidadari jatuh kayak lo, suer dah njel!"

"Seriusan lo Ris?" Enjel memastikannya

"Duarius sayang!" Risty mempertegasnya

"Iya deh iya terserah deh, nyenyenye" Enjel mulai terpengaruhi

Risty terus menggoda Enjel dengan senyumnya. "Come on, Njel, nggak seru kalau kamu cuma diam aja gitu. Kita kan harus menjaga tradisi persahabatan, hahaha!"

"Apaan sih, Ris"

"Andai aja lo yang jadi pusat perhatian, pasti seru tuh, apalagi bisa sampe dinotice sama crush lo kann... dan tanpa si Caca"

"Udah deh yaa, Ris... tapi perkataanmu barusan, ada benernya juga" Enjel mulai menanamkan dipikirannya bahwa orang rendahan seperti Caca memang layak diperlakukan seperti itu

Raya merenung sejenak di meja belajarnya, matanya memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. "Santai aja kali... eh, lu ngerti lawan kata kan?" ucapnya tiba-tiba

Tangguh menoleh, "Ngerti, lah."

Raya menatapnya dengan penasaran. "Yakin lu ngerti?" tanyanya lagi, ingin memastikan.

Tangguh mengangguk mantap. "Coba aja," ujarnya dengan penuh keyakinan.

Raya merasa tertantang. "Sekarang?" ucapnya bertanya, ingin menguji pengetahuan Tangguh.

Tangguh sontak menjawab, "Nanti."

Raya terheran, "Belum mulai."

Tangguh menjawab lagi, "Udah selesai."

Raya mengerutkan keningnya, "Serius gua, belum mulai."

Tangguh menjawab lagi, "Bercanda lu, udah selesai."

"Boruto," ucap Raya.

"Bagus," jawab Tangguh.

"Tipis-tipis, King," kata Raya.

"Tebal-tebal, Queen!" Tangguh menjawab tanpa ragu.

Raya terkejut dengan kecepatan Tangguh dalam menanggapi, namun ia tidak menyerah begitu saja. Ia terus melontarkan kata-kata baru, tapi Tangguh tetap dengan percaya diri menjawab.

"Udah ya," kata Raya.

"Belum nggak," balas Tangguh.

"Udah udah," Raya mencoba lagi.

"Belum belum," Tangguh menjawab dengan tenang.

"Itu tadi udah terakhir," kata Raya

"Ini sekarang belum pertama," balas Tangguh

Raya mengeluarkan ponselnya, "Lu ngutangin minum."

Tangguh dengan pedenya menjawab, "Gua bayarin makan."

Raya sontak bangkit dari bangkunya, "Gass."

"Udah gua rekam nih," Raya menyodorkan ponselnya kepada Tangguh. "Ada buktinya"

"...Gua bayarin makan"

Raya melangkah keluar, "Nah lu sendiri yang ngomong, ya!"

"Bercanda doang." kata Tangguh berharap Raya mengakui.

Raya tetap kukuh, "Nggak bisa."

"Bercanda doang." kata Tangguh berharap Raya mengakui.

Raya tetap kukuh, "Nggak bisa."

"Kan cuman main doang?" Tangguh bertanya keheranan

Raya tetap kukuh, "Lawan kata broww."

....

Tinggg... tinggg

BELL SEKOLAH

Selanjutnya di sisi Enjel

"Enjel pulang..." Enjel melangkah masuk ke dalam rumah.

"...ehh udah pulang, gimana sekolahnya nak?" Tanya ayah Enjel

"Untuk hari ini saja, aku ingin diapresiasi..." Gumam Enjel melepaskan sepatunya lalu menghampiri ayahnya

"Ada seleksi peserta untuk event spesialnnya dan itu berdasarkan peringkat paralel dan aku turut ikut serta" jawab Enjel dengan pede.

"Ohh bagus bagus." Ayahnya tersenyum pada Enjel

Enjel merasakan kehangatan menyelusup ke dalam dadanya ketika melihat senyum bahagia di wajah Ayahnya. Itu adalah momen yang sederhana tetapi penuh makna baginya.

"Ngomong-ngomong... kamu peringkat paralel keberapa." Sambung ayahnya dengan senyumannya

Enjel merasakan getaran di dalam dadanya ketika pertanyaan Ayahnya mencapai telinganya. Meskipun senyum Ayahnya tetap ada, tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Enjel merasa tidak nyaman.

"Oh, itu... aku berada di peringkat dua belas, Ayah," jawab Enjel dengan ragu, mencoba menyembunyikan kecemasannya di balik kata-kata dan kepala menunduk.

Namun, sebelum Enjel bisa melanjutkan lebih jauh, Ayahnya mengangkat alisnya dengan ekspresi yang sedikit berubah. "Dua belas?" ulang Ayah dengan suara yang lebih dingin dari sebelumnya.

Perasaan hancur mulai menyelimuti Enjel saat dia menyadari apa yang sedang terjadi. Dia tahu bahwa Ayahnya selalu memiliki standar tinggi, dan peringkatnya yang tidak memuaskan pasti akan mengecewakan Ayahnya.

"Maafkan aku, Ayah. Aku telah berusaha keras..." Enjel mencoba memohon, tetapi dia merasa sepatah kata pun tidak cukup untuk memperbaiki apa yang telah terjadi.

"Pasang telingamu baik-baik, Enjel." Ayahnya menjewer telinga Enjel lalu berbicara, "Denger ya Enjel, papa nyekolahin kamu itu agar kamu bisa juara satu, dicontoh itu abang kamu dia udah sukses ikut kerja sama dengan Microsoft, Google, NASA, sama SpaceX"

"Sedangkan kamu? Jadi unggul selingkup sekolahan kamu sendiri aja ga bisa... mau jadi apa kamu nanti hah..."

"Heran banget dehh... kayaknya waktu persalinan kamu dulu... ketuker deh bayinya"

"...Kamu dengerin nggak si Enjel"

"Jawab dong, bisa gak banggain papa kamu? Atau... lama-lama kuping kamu bisa robek loh kalau papa jewer terus" Ujar ayahnya sambil menjewer telinga Enjel

"I-iya... bi-bisaa..." Jawab Enjel yang tak mampu lagi menahan tangisannya

Enjel berdiri di depan cermin, matanya masih memerah dari tangisan yang baru saja reda. Dia merasa tertekan, bahkan hampir tidak mampu bernapas di tengah gemuruh kata-kata ayahnya yang terus berdenting di telinganya.

"Pasang telingamu baik-baik, Enjel," bisikan itu masih bergema di kepalanya. Tapi kali ini, ia tidak akan membiarkan kata-kata itu meruntuhkannya.

Beranjak dari tempat tidurnya, Enjel mengambil gaunnya yang telah disiapkan dengan hati-hati untuk prom night. Melihat gaun itu, senyum tipis menyelinap di bibirnya, tapi di balik senyum itu, ada keraguan yang tidak terucapkan. Dia berjalan ke cermin, memperhatikan wajahnya yang dipenuhi oleh campuran antara rasa takut dan keberanian.

"Lo bisa melakukannya," gumamnya pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan diri. Dia tahu dia telah bekerja keras untuk momen-momen ini, dan dia tidak akan membiarkan ketakutan merenggut kesempatan-kesempatan yang ada di depannya.

Enjel bersiap-siap dan berangkat ke sekolah, saat sudah berada di area sekolah, Enjel memutuskan untuk singgah sebentar di kantin sebelum acara prom dimulai. Dia merasa perlu untuk menenangkan diri dan mengisi perut sebelum malam yang panjang. Saat berjalan menuju kantin, dia melihat teman-temannya yang juga tengah bersiap-siap untuk prom night.

Enjel duduk sendirian di sudut kantin sekolah yang dipenuhi oleh kebisingan sekitar, Enjel mencoba menciptakan ketenangan di keheningan yang dia ciptakan di dalam kepalanya. Meskipun demikian, sebuah bentakan tajam dari ingatan menyelinap masuk, mengganggu kedamaian yang dia coba bangun.

Mata Enjel terpejam rapat, tapi suara itu masih memecah keheningan di kepalanya. Itu suara ayahnya, kuat dan menakutkan, seperti guntur yang membelah langit.

"Kamu harus berhasil, Enjel!"

"Juara itu hanyalah juara satu! Peringkat di bawahnya hanyalah apresiasi!" bentakan itu terus bergema di dalam ingatannya. Meskipun kedua telinga tertutup rapat, suara bentakan itu tetap membahana dalam keheningan di kepalanya

Enjel meremas tangannya erat-erat di atas meja, mencoba menghilangkan rasa gelisah yang menghantui dirinya. Dia tak ingin mengecewakan ayahnya, tapi di saat yang sama, beban itu terasa begitu berat di pundaknya.

Suara langkah kaki yang mendekat membuyarkan lamunannya. Enjel mengangkat kepalanya dan melihat teman sekelasnya, Naya, berjalan menuju mejanya dengan senyum hangat di wajahnya. "Hei, Enjel, latihan untuk malem ini?" tanya Naya sambil duduk di hadapannya.

Enjel tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya di balik senyum palsu. "Oh, cuma memikirkan tugas matematika yang belum selesai," jawabnya singkat.

Naya mengerutkan keningnya, merasakan ada sesuatu yang tak beres. "Kamu bisa cerita padaku, Enjel. Aku di sini untukmu," ucapnya lembut.

"Ngga ada apa-apa kok, cuman lagi nunggu pesen minuman aja. Lo gausah khawatirin gue Nay," pertegas Enjel

Naya masih sedikit curiga. "Ohh gitu ya..."

Enjel mulai merasa tiak nyaman dengan berada di dekat Naya, saat itu matanya mengamati sekitar dan melihat Caca yang tengah berjalan ke luar dari kantin

"Eh gue duluan ya, Nay." Enjel tampak buru-buru

"Eh kok buru-buru?" Naya semakin curiga dan hanya mengamati dari kejauhan. "Padahal minumannya kan belum juga dateng." gumam Naya

Enjel mempercepat langkahnya menghampiri Caca, Saat sudah cukup dekat dengan Caca, sebuah ide jahat melintas dalam benaknya. Enjel memutuskan untuk mengerjakan rencananya.

"Caca, tunggu sebentar!" seru Enjel sambil menghampiri Caca dengan senyuman ramah di wajahnya.

Caca menoleh heran saat Enjel mendekatinya. "Ada apa, Enjel?"

Tanpa ragu, Enjel mendekati Caca dengan senyum palsu di wajahnya. Ketika sudah cukup dekat, ia sengaja membuat langkahnya tidak stabil, menyebabkan dirinya tersandung dan menumpahkan minuman yang tengah dipegang Caca.

"Caca, maafkan aku!" ucap Enjel dengan suara yang bergetar, berusaha menampilkan raut wajah yang bersalah.

Caca menatap Enjel dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan ketidakpercayaan. "Enjel? Apa maksudnya ini?"

Enjel berbisik-bisik pada Caca. "Gue gasuka lo ada di sini, karena lo gue menderita."

"Kehadiran gue emang ngebuat lo semenderita itu ya? Maafin gue." Caca hanya diam, membiarkan minuman yang tumpah menutupi bajunya. Tatapannya kosong, seakan-akan sudah terlalu banyak rasa sakit yang dia rasakan untuk merasa terkejut atau marah lagi. "Asal lo tau, gue juga pengen bersahabat sama lo. Gue kira kita senasib, ternyata emang kesabaran lo cuman sampe sini ya?" Caca meninggalkan Enjel

Enjel lalu menghabiskan sisa malamnya untuk menikmati puncak eventnya yakni prom night. Dia berusaha membuat semuanya sempurna, meskipun hatinya masih terbebani oleh pertemuan dengan Caca.

Hari berikutnya di sekolah, suasana tampak berbeda. Enjel berusaha tersenyum meskipun dalam hatinya masih terbersit kecemasan. Saat dia membuka ponselnya, dia dihantam oleh serangkaian notifikasi yang membuatnya takut.

Notifikasi 1: "@Enjel, lo pikir lo bisa lari begitu saja setelah apa yang lo lakukan pada Caca? lo tidak akan lolos dari ini!"

Notifikasi 2: "Sudahkah kalian dengar tentang Enjel dan Caca? Cerita yang membuatku muak."

Notifikasi 3: "Enjel, kamu sungguh kejam! Aku tidak bisa percaya kau melakukan itu pada Caca!"

Notifikasi 4: "Wedokan kentir! Ati-ati karo modelan koyok ngene iki cah!"

Notifikasi 5: "HAUS YA MINUM BUKAN CAPER SANA SINI1!1!"

Enjel merasa dunia mulai runtuh di sekelilingnya. Dia tidak bisa percaya apa yang dia lihat. Dia merasa tertusuk oleh kata-kata kebencian dan kekecewaan dari teman-temannya.

Enjel: (berbisik pada dirinya sendiri) "Ini tidak bisa benar. Aku harus bicara dengan Caca. Aku harus menjelaskan semuanya."

Terdapat satu nomor yang terus menghubunginya akhir-akhir ini, "Lo ga pantes ngelakuin ini ke Caca." Kemudian, Naya membagikan video tentang bagaimana secara disengajanya Enjel menabrak Caca hingga membuat minuman yang tengah dipegang Caca tumpah ke dress yang seharusnya akan dikenakan saat prom night hari itu

Enjel seketika berdiri dan pergi menghampiri bangkunya Naya

Saat sudah berada di depannya Naya yang tengah duduk, Enjel seketika menarik kerah Naya. "Eh Naya! maksud lo apa semalem nyebarin video gue sore itu?"

"Perbuatan lo menjijikan! Lo buang si Caca biar lo yang jadi pusat perhatian dance nya kan? ngaku lo?" ucap Naya dengan nada marah.

"Lagian Caca juga ga marah kok," jawab Enjel dengan nada defensif.

Mendengar perkataan Enjel barusan membuat emosinya Naya membludak. "ITU KARENA HATI LO TERTUTUP HEI TOPENG MONYET."

"Tertutup gimana? Kemarin Caca gue gituin aja diem dia!" Enjel mencoba membela diri.

"Justru itu Enjel. JUSTRU ITU KARENA LO RUSAKIN BAJU CACA SUPAYA DIA GA TAMPIL DI ACARA DANCE LO, DIA JADI KELUAR DARI SEKOLAH INI!" ujar Naya menggertakkan giginya sambil emosi.

Enjel merasa tercengang. "Hah?! Caca keluar dari sekolah ini? Bagus dong, jadinya gue ga ada saingan lagi deh."

Naya menatap Enjel dengan kekecewaan. "Hati lo dari apa sih Enjel, Caca sebaik itu lo jahatin. Dimana hati nurani lo sih?!"

"Salah dia banyak sama gue. Lo ga bakal tau!" Enjel menjawab dengan nada frustasi.

"SALAH DIA APA SAMA LO?! Lo gatau rasanya jadi dia, yang ga salah apa apa tiba-tiba kenal lo dan dibully terus menerus sama lo sampai yang paling bikin dia kecewa sama lo karena lo udah rusak acara penampilan dia?!" teriak Naya dengan nada tinggi.

Enjel merasa tertekan. "Lo juga ga tau kan kenapa gue gini? udah deh lo diem aja, Caca juga ga guna disini!"

"Maksud Lo?" Naya hendak menampar Enjel, sesaat akan melakukannya, ia dihentikan oleh kedatangan Pak Jeasun.

Pak Jeasun menyela pertengkaran mereka, "Hei kalian berdua! Keruangan bapak sekarang!"

Pak Jaesun memanggil Naya dan Enjel ke ruang BK untuk dimintain penjelasannya

Saat sudah di ruang BK

Pak Jaesun duduk di depan Naya dan Enjel dengan wajah serius, mencoba menenangkan situasi yang memanas.

"Pertama-tama, saya ingin mendengar versi cerita dari masing-masing kalian," kata Pak Jaesun dengan suara yang tenang namun tegas.

Naya mulai menceritakan insiden-insiden di mana Enjel telah melakukan pembullyan padanya. Dia menyebutkan komentar-komentar kasar dan perlakuan tidak menyenangkan yang Caca alami.

Setelah mendengarkan dengan seksama, Pak Jaesun menoleh ke arah Enjel, "Sekarang giliranmu, Enjel. Saya ingin mendengar sudut pandangmu tentang situasi ini."

Enjel menghela nafas, terlihat agak enggan, tetapi akhirnya menceritakan perspektifnya. Dia menjelaskan bahwa beberapa insiden tersebut mungkin terjadi tanpa disengaja dan bahwa dia juga merasa tertekan dalam lingkungan sekolah ini.

Pak Jaesun mengangguk paham, lalu dia meminta Naya untuk menunjukkan bukti yang dia miliki.

Naya memberikan tanggapan dengan tegas, "Ini video yang sempat saya rekam hari yang lalu, Pak Jaesun. Di sini jelas terlihat bagaimana Enjel dengan sengaja jatuh sehingga menumpahkan minuman Caca dan di akhir video Enjel terlihat bisik-bisik kepada Caca setelah itu Caca terus menunduk dan meninggalkan Enjel."

Pak Jaesun melihat bukti-bukti itu dengan cermat, menarik kesimpulan bahwa memang ada tindakan-tindakan yang tidak pantas dari Enjel.

"Tindakan seperti ini tidak dapat ditoleransi di sekolah ini," kata Pak Jaesun dengan serius. "Enjel, kamu harus menyadari bahwa kata-kata dan tindakanmu memiliki dampak besar pada orang lain. Kita harus berusaha menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua siswa."

Enjel menundukkan kepala, merasa malu atas perilakunya.

"Dan untukmu, Naya," lanjut Pak Jaesun, "Saya menghargai bahwa kamu telah membawa bukti dan berani menghadapi situasi ini. Tetapi, penting untuk mengatasi masalah ini dengan cara yang bijaksana dan memahami bahwa setiap orang memiliki belajar dari kesalahan mereka."

Naya mengangguk, "Saya mengerti, Pak Jaesun."

"Mungkin kalian sudah tau? Teman kelas kalian ada yang mengundurkan diri, Namanya Alisha Putri Kayana sudah tidak akan bersama kalian di tahun depan"

"...Caca" Naya tampak murung

"Pak Jaesun, saya... saya tidak bermaksud menyebabkan masalah ini," kata Enjel dengan suara gemetar.

Pak Jaesun mengangguk perlahan, "Bapak tahu, Enjel. Tapi, situasi ini sudah mencapai titik yang tidak bisa diabaikan lagi. Kami harus menangani ini dengan serius. Dan itu berarti memanggil orang tua kamu."

Mendengar kalimat orang tuanya akan dipanggil ke sekolah langsung membuat hati kecil Enjel seakan-akan pecah, "Maaf pak? Tindakan itu harus bener-bener dilakuin?"

Suara ketukan pintu terdengar

"Naya, kamu boleh kembali mengikuti kegiatan pembelajaran" ucap pak Jaesun

Saat Naya keluar dari ruangan BK, masuklah ayahanda dari Enjel

Melihat ayahnya mengambil duduk di sebelahnya membuat Enjel ketakutan. "Selamat pagi pak."

"Pagi juga bapak."

"Ada urusan apa saya dipanggil kemari? Apakah anak saya melakukan prestasi yang menakjubkan?"

"Sayang sekali sebaliknya. Saya memanggil Anda ke sini untuk membicarakan masalah yang melibatkan Enjel," ucap Pak Jaesun dengan tenang

Ayah Enjel duduk dengan wajah tegang, "Apa yang telah dilakukan anak saya kali ini? Saya harap bukan sesuatu yang serius."

Pak Jaesun menjelaskan situasi yang terjadi, termasuk insiden pembullyan yang dialami oleh Naya dan bukti yang telah disampaikan.

Senyuman ayahandanya Enjel memudar dan menatap ke arah Enjel. "Kamu jadi anak emang bener-bener ya! Bisanya bikin umur ayah makin pendek!! Selalu aja bikin onar sama masalah1!1!"

Enjel menundukkan kepala, merasa sangat malu dan menyesal. Dia menahan tangisnya, tidak berani menatap langsung ayahnya.

"AYAH BIAYAIN KAMU SEKOLAH BUKAN BUAT JADI BERANDALAN1!1!"

Enjel tak kuasa lagi menahan unek-uneknya selama ini pun memberontak. "Aku begini juga karena ayah yang selalu maksa aku buat jadi nomer satu!" Suaranya sedikit memudar dan perkataannya mulai terbata-bata. "ITUKAN YANG AYAH MAU!?"

Pak Jaesun mengangguk pelan, mencoba menenangkan suasana yang mulai memanas di ruangan itu. "Tenanglah, mari kita bicarakan masalah ini dengan kepala dingin," ucapnya sambil menatap bergantian antara ayah Enjel dan Enjel sendiri.

Ayah Enjel menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya yang meluap-luap. "Maafkan ayah, Enjel. Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu," katanya dengan suara yang lebih tenang, namun terdengar terbebani oleh kekhawatiran.

Enjel masih menundukkan kepala, namun matanya mulai memancarkan rasa haru. Dia tidak menyangka bahwa ayahnya akan bereaksi seperti ini. "Aku... aku nggak bermaksud membuat ayah khawatir," gumamnya pelan, suaranya hampir tertutup oleh rintihan.

Pak Jaesun mencoba meredakan ketegangan dengan mengajukan pertanyaan, "Bagaimana jika kita mencari solusi bersama? Enjel, mungkin kamu bisa berbagi dengan ayahmu apa yang sebenarnya kamu rasakan dan apa yang kamu butuhkan dari situasi ini?"

Enjel mengangkat wajahnya perlahan, bertatapan dengan ayahnya yang penuh penyesalan. "Aku... aku butuh dukunganmu, ayah. Tapi bukan dengan cara yang membuatku merasa tertekan," ujarnya lirih, air mata mulai mengalir di pipinya.

Ayah Enjel mendekatinya, merangkulnya dengan penuh kasih sayang. "Maafkan ayah, Nak. Ayah akan berusaha lebih memahamimu dan memberikan dukungan yang sesuai dengan kebutuhanmu," ucapnya dengan tulus.