webnovel

4. When The Truth Untold.

Ikrar itu sudah kamu ingkar.

Jujur aku jatuh dalam semak belukar.

Hatiku panas terbakar.

Sesak di dadaku lalu menjalar.

Tapi aku berkata janganlah gusar.

Mungkin luka ini hanya sebentar.

Dan kita akan kembali berlayar seperti bahagia yang tiada tertukar.

Sayang, pergilah, kamu kubiarkan.

-Jung Arin.

***

"Direktur Jeon, apa yang membuat Anda sampai datang ke rumah saya?"

Baik Juno dan Arin langsung menoleh pada suara yang tiba-tiba terdengar di antara mereka. Lalu mereka melihat Theo dan Hanna.

"Oh, Theo, kamu sudah pulang? Kamu pasti gak percaya ini. Juno adalah sahabat aku di panti asuhan," jelas Arin antusias.

Baru kali ini Theo tidak suka Arin senang seperti ini karena bukanlah dirinya alasannya. Theo tidak suka Arin senang karena pria lain, apalagi dengan orang ini. Sangat tidak suka.

Theo duduk di samping Arin sementara Hanna duduk di samping Juno. Sekali lagi Theo bertanya, "Kenapa Anda sampai datang ke rumah saya?"

"Emm, itu ...." Entah mendapat bisikan setan darimana Juno jadi ragu menyampaikan tujuannya datang ke rumah ini. Setan itu berbisik seperti, 'Kesempatan kamu loh mendekati Arin di saat wanita itu terpuruk saat mendengar kabar kalau suaminya akan memadunya. Jangan sia-siakan.'

Mungkin berasal dari Hanna yang berada di sampingnya kali ya.

"Direktur?" panggil Theo karena Juno tak juga menjawab.

"Saya hanya ingin mengundang Anda ke acara pernikahan kakak saya. Saya harap kalian bisa menghadirinya."

"Kenapa tidak menyampaikannya lewat undangan? Atau menemui sekretaris saya untuk menyampaikannya?"

"Rencananya akan seperti itu, tapi kebetulan tadi saya melewati rumah Anda makanya mampir."

Theo sedikit menyelidik Juno. "Kapan acaranya?"

"Tiga hari lagi."

"Mohon maaf tapi saya tidak bisa menghadirinya. Saya ada urusan penting seminggu ini."

"Urusan apa, Theo?" saut Arin dari sampingnya.

Ada retakan kecil di hati Theo saat melihat istrinya. Masih karena kecewa pada dirinya sendiri. Theo mengusap puncak kepala Arin lalu menjawab, "nanti aku jelaskan padamu."

"Oke sip."

"Oh, sepertinya saya tau urusan apa itu. Tetapi istri Anda pasti tidak akan mau mengikut-campuri urusan Anda. Bagaimana kalau dia saja yang menghadirinya?"

Diam-diam Theo mengepalkan tangannya. Dia emosi. Entahlah, karena apa.

"Kenapa aku sampai gak mau ikut campur?" tanya Arin lagi.

"Dia tidak akan pergi tanpa saya," tegas Theo.

"Bisa saya tanya pada Nyonya Arin langsung?" tantang Juno.

Tatapan Theo berubah mencekam seakan ada silet di matanya. "Anda mencari gara-gara, ya?"

Juno tertawa sambil mengibas kedua tangannya—menggeleng. "Siapa yang berani mencari gara-gara dengan Anda, Direktur Kim? Saya sudah mengatakan pada Arin kalau kita berteman. Jadi tolong jangan sampai Arin berspekulasi kalau saya berbohong padanya."

"Hanya itu urusan Anda kemari? Jika tidak ada lagi, sudah seharusnya Anda pergi, bukan?" Theo bermaksud mengusir 'secara halus'.

"Baiklah. Saya permisi." Juno berdiri, membungkuk sedikit pada Theo. "Sampai ketemu lagi, Arin," ucapnya pada Arin sambil berlalu.

"Sampai nanti!" Arin melambai-lambai girang pada Juno. Theo menangkap tangan Arin agar berhenti melambai. "Jadi ada urusan penting apa, sayang?" tagih Arin.

Raut muka Theo langsung berubah. Dalam pikirannya, Theo masih mengumpulkan kata-kata yang pas untuk ia suarakan. Tetapi mau bagaimana pun itu, rasanya tetap tidak ada yang cocok.

Theo masih diam dengan raut wajah yang semakin membuat Arin penasaran. Wanita itu juga melirik Hanna. Theo memang pernah membawa Hanna kemari, tetapi, perasaan Arin mengatakan alasan Theo membawa Hanna kemari kali ini tidaklah baik mengingat keduanya saling menunduk dalam.

"Sayang...." Arin mengguncang pelan bahu Theo.

"AKU INGIN MENIKAH LAGI!!" Mendadak saja Theo berteriak dengan cepat. Sangat cepat sampai-sampai Arin berharap ia salah dengar.

"Ha! Ha ha ha." Arin tertawa garing. "Kamu ngomong apa sih? Coba ulang sekali lagi."

"Arin...." Theo mengangkat kepalanya, menatap Arin dengan tatapan memohon.

"Aku gak denger, Theo. Coba ulang lagi! Aduh, telinga aku sepertinya kotor. Sebentar ya aku ambil cuttonbud dulu."

Arin hendak bangkit tetapi buru-buru Theo menariknya dan langsung memeluk Arin. "Maaf, maaf, aku minta maaf, tolong maafin aku, maaf," ucap Theo berulang kali.

Harapan Arin soal ia yang salah dengar sepertinya tak terwujud. Sebenarnya apa maksud suaminya ini? Ambigu! Arin tidak mengerti sama sekali.

"Kenapa kamu mau mikir nikah lagi? Kamu gak cinta sama aku lagi?" Arin berusaha melepaskan pelukan Theo tetapi pria itu menahannya. "Kamu mau nikah sama siapa?" Arin melirik Hanna. "Kamu mau nikah sama sekretaris kamu? Kenapa? Kenapa, Theo? Aku salah apa?" Arin terus memberontak namun tenaganya kalah dari tenaga suaminya.

"Bukan begitu, sayang. Cinta aku sama kamu gak akan pernah bisa hilang, tapi...."

"Tapi apa? Cinta kamu terbagi dua?"

"Bukan." Theo menggigit bibir bawahnya. Semakin ia menyembunyikan wajahnya di seluk beluk leher Arin. Suara Theo mengecil tetapi Arin masih dapat mendengarnya. "....tapi aku telah melakukan kesalahan besar. Sekretaris Jung hamil anak aku, sayang."

Ketika itu Arin berhenti memberontak. Bukan berarti dia lega, justru Arin merasa bom dalam dirinya meledak sehingga tak lagi bisa ia gerakkan seluruh tubuhnya. Arin merasa dunianya menghilang dalam sekejap mata.

"Kamu ... bilang ... apa?" Dengan susah payah Arin menanyakan itu.

"Aku minta maaf...." Terdengar isakan dari Theo. Pria itu menangis.

Arin juga. Setetes air mata membasahi pipirnya, disusul banyak tetes lagi.

Kali ini Arin melepas pelukan Theo dengan lembut. Pria itu pun tidak lagi memberontak. Arin menatap suaminya itu lekat-lekat.

Tak di sangka-sangka Arin justru tersenyum.

"Kamu gak perlu minta maaf. Aku yang minta maaf. Seharusnya aku bisa kasih kamu anak. Kalau kamu memang seiingin itu punya anak, aku kan sudah bilang aku mengizinkannya. Toh, ini salah aku. Aku yang gak bisa kasih kamu anak tetapi Hanna bisa. Hanna wanita yang baik. Dia tau alergi kamu di saat aku sendiri aja gak tau. Kamu bisa nikah sama Hanna dan kalau kamu mau, kita bisa cerai."

Theo menggeleng kuat-kuat. "Jangan! Aku gak bisa pisah sama kamu! Aku gak bisa!"

"Jadi aku akan dipoligami, ya?"

Theo mengulum bibirnya. "Maaf," ucapnya sekali lagi sambil menunduk. "Aku memang gak berkeinginan punya anak, tapi ini sebuah kesalahan, Rin. Percayalah aku juga gak akan pernah melakukan ini jika dalam keadaan sadar."

Rasa kecewa memang menganga lebar dalam hati Arin, tetapi Arin merasa dia tidak berhak untuk marah. Bahkan Ayah Theo saja berharap mereka cerai begitu mendengar kabar kalau Arin tidak lagi bisa hamil. Perusahan besar yang sudah didirikan oleh kakek Theo haruslah memiliki penerus. Theo adalah anak satu-satunya. Kepada siapa lagi perusahaan itu diberikan jika tidak ada hasil dari darah daging Theo?

Sebelumnya Arin juga pernah menawarkan Theo untuk menikah lagi tetapi pria itu menolak. Karena itulah Arin tidak punya alasan untuk marah.

Arin mengacak surai Theo lalu mencoba tertawa. "Gak apa-apa. Aku senang suami aku mau bertanggung-jawab atas kesalahannya." Arin menangkup wajah Theo dan mengangkat wajah itu. Arin menghapus jejak air mata Theo. "Jangan nangis. Papa pasti senang akhirnya kamu punya calon bayi lagi. Kamu juga tau kan orang tua kamu senang, aku juga jadi ikutan senang."

Melihat senyum Arin, justru rasa bersalah Theo semakin menjadi-jadi. Dia tidak mengerti dengan jalan pikir istrinya. Dari dulu sampai sekarang Arin memanglah sulit untuk dimengerti.

Theo kembali memeluk Arin. Arin juga membalas pelukan Theo.

Sementara itu, Hanna lagi-lagi mendengus melihat momen keharuan yang terjadi di dekatnya ini.

***

Arin meringkuk di tempat tidurnya selagi Theo mandi. Tatapan Arin semakin hampa saat kejadian tadi sore kembali membayangi kepalanya. Masih tidak percaya Arin kalau hari ini akan terjadi juga. Suaminya akan memiliki seorang anak dari wanita lain yang sebentar lagi akan tinggal di rumah ini juga untuk berbagi suami dengannya.

Sangat sulit memang untuk Arin terima. Sampai tanpa sadar pipi Arin kembali basah. Segera Arin menyeka air matanya. Apalagi saat suara shower dari kamar mandi berakhir, Arin memilih berbaring dengan posisi menyamping, membelakangi bagian kasur Theo.

Begitu Theo selesai berpakaian, pria itu naik ke atas tempat tidur untuk ikut berbaring. Pria itu memilih memeluk sang istri dari belakang. Theo taunya Arin sudah tidur tetapi sesungguhnya belum. Arin hanya pura-pura tidur dengan memejamkan matanya.

Theo semakin menguatkan dekapannya di pundak Arin dan menenggelamkan wajahnya di tengkuk Arin. Hari ini pria itu sudah sangat lelah baik tenaga atau pun pikirannya. Hari ini memang sangat melelahkan.

"Makasih sayang," bisik Theo. Meskipun ia taunya Arin sudah tidur, tetapi pria itu sangat ingin mengatakannya. "Aku sangat takut kamu gak bisa memaafkanku. Maaf aku berkhianat atas janji pernikahan kita. Aku salah besar, tapi aku sangat takut kamu meninggalkanku. Jangan pernah lakukan itu, ya. Aku bisa mati."

Sekuat tenaga Arin menahan gejolak di dalam dirinya. Arin tidak mau Theo melihatnya menangis lagi. Lebih baik Arin menangis sendiri tanpa siapa pun yang tau.

***

Theo pamit untuk membawa Hanna meminta restu pada orang tuanya dan orang tua wanita itu. Arin tidak ikut campur dengan pernikahan keduanya. Theo bilang mereka akan menikah di luar kota, tepatnya di kota di mana orang tua Hanna tinggal.

Dan siang ini Arin sendirian di rumahnya. Siang ini dan untuk seminggu ke depan. Hari ini Arin jalani dengan menggalau di rumahnya sendiri, esoknya Arin habiskan dengan menangis tak henti-henti, esoknya lagi Arin terkapar di kamarnya. Dia tidak sakit, mungkin belum. Tapi sungguh, Arin malas melakukan segalanya.

"Nyonya, saya sarankan untuk melakukan sesuatu supaya rasa sedih Anda berkurang," saran Bibi Emely, asisten yang paling lama di rumah ini, yang Arin sudah anggap sebagai ibunya sendiri.

"Melakukan apa?" tanya Arin. Suaranya serak, tatapannya kosong mengarah langit-langit kamar, mata Arin membengkak, hidungnya ikut memerah, dan kamar Arin berserakan dengan tisu-tisu yang ia gunakan. Bibi Emely mengutip tisu-tisu tersebut.

"Aku senang Theo punya calon bayi, aku senang Theo punya calon bayi, aku senang Theo punya calon bayi." Arin berulang kali mengucap mantra itu untuk mengingatkan dirinya agar tidak boleh menangis. Tapi sejak semalam mantra itu sudah tidak berguna lagi.

"Aku senang Theo punya calon bayi. Aku senang Theo punya calon bayi."

Arin langsung menutup wajahnya menggunakan bantal di saat matanya kembali memanas. Arin tidak mau menangis. Ia capek menangis terus.

"....tapi aku gak senang Theo menikah lagi," sambungnya dengan wajah yang masih tertutup bantal.

"Oh iya!" Arin teringat sesuatu. Ia melempar asal bantal itu. "Ini kan hari pernikahan kakaknya Juno. Apa aku ke sana aja, ya? Hitung-hitung untuk refreshing otak."

"Emm, maaf Nyonya," sela Bibi Emely. "Itu kan acara pernikahan. Takutnya selama acara Nyonya justru terbayang dengan Tuan."

Oh, iya. Salah kalau Arin menghadiri acara tersebut.

"Seandainya Yena gak pergi ke luar negeri, seandainya Jimin gak sibuk sama usahanya. Lelucon mereka pasti bisa menghiburku," gumam Arin. Arin berganti tidur menyamping sambil memeluk gulingnya.

"Permisi Nyonya." Salah satu asisten masuk ke dalam kamar Arin. Arin menatapnya, menunggu wanita itu bicara. "Ada tamu yang ingin bertemu dengan Nyonya."

"Siapa?" Bibir Arin bergerak, tapi suaranya nyaris tak terdengar.

"Tadi dia bilang namanya. Namanya..." Asisten itu mengingat-ingat. "Emm, Tuan Jeon Jeong—"

"Juno?" tebak Arin langsung.

"Nah, iya. Itu maksud saya."

Arin langsung berganti menjadi duduk. Dengan bergegas wanita itu ingin menemui Juno.

"Oh! Wajahku seperti mayat! Harus pakai bedak sedikit," kata Arin saat melewati meja riasnya.

Setelah mendingan, pun Arin berlalu.