Salahkah aku bila kukatakan kita impas?
Egokah aku bila menyebut ini karma?
Bila aku salah, bila aku ego, coba katakan.
Agar aku bisa jelaskan alasannya.
- Jung Arin.
***
Juno duduk di sofa persis di tempat yang ia duduki saat pertama kali datang ke rumah Theo. Arin mendekati pria itu dengan wajah yang Arin usahakan tampak bahagia.
"Kamu datang di waktu yang gak tepat lagi, Juno. Theo sedang pergi," ucap Arin sembari duduk di sofa hadapan Juno.
"Ke mana?"
"Ehm, biasa, urusan bisnis di luar negeri."
"Oh...." Juno mengulum bibirnya. Dia tau kalau Arin sedang bohong. "Berarti sudah biasa ya kamu ditinggal Theo."
"Ya, begitulah."
"Wajah kamu kelihatan pucat. Kamu baik-baik aja?"
Arin berusaha tersenyum. "Iyakah? Aku memang kurang minum belakangan ini."
"Jadi kapan Theo pulang?"
"Akhir pekan nanti."
Juno manggut-manggut. "Kalau jarang ketemu begini, kalian tetap akrab ya?"
"Iya dong. Kami akrab kok. Kami saling mencintai. Orang-orang bilang kami adalah pasangan paling serasi. Kami juga gak pernah bertengkar masalah rumit semenjak menikah. Theo sangat peduli padaku, dia tau segalanya yang aku suka. Dia gak pernah kecewakan aku sama sekali—"
"Sama sekali?"
Juno sempat melihat raut wajah Arin berubah sebelum wanita itu berusaha menyemangati dirinya sendiri. "Iya. Sama sekali dia gak pernah kecewakan aku."
Juno tersenyum lembut. Dia yakin Theo sudah mengatakan masalah anak haram yang dikandung Hanna kepada Arin. Tetapi Juno melihat sekarang, Arin memakluminya.
"Sebenarnya aku datang ke sini bukan untuk menemui Theo."
"Oh iya? Lalu?"
"Aku datang ke sini untuk menghiburmu."
Arin terdiam.
"Kamu cocok menjadi aktris tetapi sayangnya aku sudah tau semuanya."
Arin merasa malu. Dia menunduk dalam menyembunyikan wajahnya yang sulit untuk ia ekspresikan.
"Aku ikut terharu karena kamu memaklumi kesalahan Theo. Kamu pasti sesayang itu padanya. Kamu adalah wanita yang hebat, Jung Arin."
Perlahan Juno dengar suara isakan dari lawan bicaranya ini. Samar-samar hingga semakin jelas. Lalu Juno melihat air bertetesan ke punggung tangan wanita itu.
"Jangan menangis...," kata Juno. "Aku datang ke sini bukan untuk melihatmu menangis."
"Maafkan aku...." Arin menyeka air matanya dengan cepat. Ia malu untuk mengangkat wajahnya.
"Boleh aku menghiburmu?"
"Bukannya kakak kamu menikah hari ini?"
"Nggak kok. Aku bohong hari itu karena aku yakin Theo gak akan menghadirinya. Jadi izinkan aku mengajakmu untuk bersenang-senang. Hitung-hitung reuni."
Tawa Arin lepas. "Aku memang butuh menghibur diri. Tunggu sebentar di sini aku mau ganti baju dulu."
Juno mengangguk. Arin beranjak lalu menjauhinya. Saat itu Juno tetap memandangi punggung Arin hingga menghilang.
'Maafkan aku, Arin. Aku sudah kalah dengan perasaanku,' batin pria itu.
***
Pernikahan Theo dengan Hanna dilangsungkan besok lusa. Hari ini mereka sedang mempersiapkan acara. Theo sendiri sedang menunggu Hanna memakai gaun pengantin. Mereka ada di perancang busana pengantin mereka.
Theo sebenarnya bisa saja membiarkan Hanna pergi sendiri tetapi ayahnya memaksa. Ayahnya—Kim Woobin—senang saat mendengar kabar kalau Hanna mengandung anak Theo. Woobin tidak menganggap ini adalah kesalahan, melainkan menyebutnya keberuntungan.
Sedari tadi Theo mencoba menghubungi Arin tetapi perempuan itu tidak mengangkatnya. Jadi Theo mengiriminya pesan.
Mine
Sayang, kamu ngapain? Sudah makan? Kamu lagi sibuk ya? Kalau sudah senggang, telepon aku balik ya. Kalau kamu menginginkan sesuatu bilang aja, nanti aku kirim dari sini.|
"Pak Theo!" panggil Hanna yang sudah berdiri di hadapannya memakai gaun putih yang mewah.
Theo mengangkat kepalanya.
"Ini bagus nggak untuk saya?" tanya Hanna.
"Hm, bagus," jawab Theo acuh tak acuh.
"Bagusan ini atau yang tadi?"
Theo menimang. Sebenarnya dia tidak tau bagusan mana, Theo hanya menimang angkanya saja. "Yang tadi."
"Baiklah. Kita ambil yang tadi aja, ya."
Theo fokus lagi ke ponselnya. Dilihatnya pesan yang sudah ia kirim tadi.
Dua centang biru.
Berarti pesannya sudah dibaca Arin. Tetapi kenapa Arin tidak membalasnya? Theo khawatir sekaligus takut. Apa sesungguhnya Arin marah pada dirinya sampai membalas pesannya saja enggan?
***
Juno meletak kembali ponsel Arin ke atas meja setelah menghapus pesan yang baru saja Theo kirim. Benda pipih itu ditinggal Arin selagi ia berganti pakaian. Awalnya tadi ponsel Arin berdering terus, karena penasaran Juno mengambilnya untuk melihat siapa yang menelepon. Saat Theo mengirim pesan, tanpa sengaja dibuka oleh Juno. Juno panik dong. Ingin membalas tetapi Arin sudah kembali. Tanpa berpikir panjang Juno hapus saja pesannya agar tidak ketahuan ia memegang ponselnya Arin.
"Aku sudah siap," kata Arin pada Juno. "Mau berangkat sekarang atau nanti?"
"Sekarang aja. Ayo!"
***
Mereka pergi ke berbagai tempat. Pertama Juno mengajak Arin pergi menonton. Juno sengaja memilih genre komedi agar Arin bisa terhibur dan benar, Arin banyak tertawa selama menonton. Setelah dari tempat tersebut, Arin yang menyarankan tempat selanjutnya. Rumah hantu. Arin bukanlah orang yang penakut. Wanita itu tidak ketakutan sama sekali. Justru Juno lah yang menjerit tidak karuan. Pria itu sesekali spontan lengket di tubuh Arin, Arin yang kesal mendorong Juno sampai Juno jatuh dan di peluk suster ngesot. Mana setelahnya Arin langsung cicing lari meninggalkan Juno yang histeris.
"YERIIIIINNN!!"
Keluar dari sana Arin tertawa terbahak-bahak sampai perutnya sakit. "Aku tau kamu masih penakut seperti dulu makanya aku ajak kemari. Hahahaha, gimana rasanya dipeluk tadi? Duh, aku iri. Aku pengin dipeluk juga dong hahaha."
Napas Juno masih tersengal hebat. Pria itu meringkuk di samping poster rumah hantu itu. Juno memang ketakutan setengah mati, namun sepertinya rasa takut yang ia rasakan sebanding dengan apa yang dia lihat sekarang.
Arin ternyata bisa tertawa keras seperti itu juga.
"Poster ini bagus. Fotoin aku dong." Arin mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Saat ingin membuka kamera, Arin tidak jadi karena ada notifikasi panggilan tak terjawab. "Waduh, gawat! Theo menghubungiku sampai 86 panggilan!"
Segera Arin menghubungi Theo kembali.
"Halo, Nona Jung," sapa seseorang di seberang sana.
Sial, kenapa yang menjawab adalah Hanna?
"Ah, ngg—Theonya ada?"
"Ehm, maaf. Pak Theo sedang sibuk. Sebaiknya Anda jangan mengganggunya dulu. Pak Theo mungkin akan semakin merasa lebih bersalah lagi bila harus berbicara dengan Anda selama di sini."
Arin menggigit bibir bawahnya. 'Tapi Theo tadi menghubungiku,' gumamnya dalam hati. "Baiklah. Sampaikan padanya jangan terlalu banyak pikiran. Aku baik-baik aja di sini."
"Iya, nanti saya sampaikan. Saya tutup teleponnya, ya?"
"Iya...."
Arin merasa hampa kembali. Tadi dia sempat tertawa namun sekarang rasa sedih itu kembali merambat cepat melahap seluruh tubuhnya. Lagi-lagi Arin merasa kalah oleh wanita yang bukan lawannya.
Juno menyentuh bahu Arin. Arin menoleh dan menatap Juno yang melempar senyum padanya. Senyum dengan arti menenangkan. Pun Arin turut membalas senyum itu. Dengan arti 'tidak apa-apa.'
***
Alasan Hanna kenapa bisa menjawab panggilan Arin adalah karena Theo dengan ayahnya sedang bertengkar. Dua pria itu saling melempar argumen.
"Papa tidak mau tau! Pokoknya kamu harus mengundang mitra kerja di perusahan. Terutama mitra besar. Ini pernikahan kamu! Tidak seharusnya kamu menyembunyikan pernikahanmu dengan wanita yang akan menjadi ibu dari pewaris perusahaan ini!"
"Mereka akan berpikir yang tidak-tidak, Pa! Apa yang harus saya sampaikan bila mereka menyangkut-pautkan pernikahan kali ini dengan Arin?"
"Katakan saja yang sebenarnya kalau Arin bersedia di poligami. Atau katakan saja kalau Arin juga berselingkuh sehingga dia membiarkan kamu memiliki istri baru!"
"Pa!" peringat Theo. "Jangan jadikan kesalahan saya menjadi kesalahan Arin juga."
"Kalau begitu katakan saja kalau kalian telah bercerai secara diam-diam."
Kedua tangan Theo mendadak terkepal kuat. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikir pria paruh baya ini. Ingin rasanya melempar satu tinjuan tetapi mengingat pria ini adalah ayahnya, Theo berusaha menahannya.
"Arin bukan istri yang baik. Dia tidak bisa memberikan anak padamu. Dia juga taunya hanya bersenang-senang saja. Lebih baik kamu ceraikan saja dia dan hidup tenang dengan Hanna."
"Lebih baik saya dicabut dari kartu keluarga Anda daripada harus bercerai dengan istri saya," ucap Theo dengan emosi yang meledak-ledak. Selanjutnya pria itu meninggalkan ruang keluarga dan pergi dari rumah tersebut sebelum mengambil ponselnya yang tadi ia letak di atas buffet.
Theo menenangkan diri di kursi taman. Jemarinya menakan ikon hijau di layar ponselnya. Ia masih berusaha menghubungi Arin.
Pikirannya semakin tidak tenang.
Theo menghubungi Bibi Emely untuk menanyakan kabar wanita itu tetapi Bibi Emely menjawab,
"Nona Arin pergi bersama Direktur Jeon, Tuan. Direktur Jeon bilang ingin menghibur Nona Arin. Soalnya Nona Arin wajahnya pucat karena menyendiri terus di rumah."
Jeon Juno. Kenapa harus dengan pria itu?
Theo tidak suka Arin kembali dekat dengan Juno.
Theo adalah donatur yang sering mengunjungi Panti Asuhan Athy. Itulah sebabnya Theo bisa mengenal Arin. Dari dulu juga dia tidak suka melihat Juno dekat-dekat dengan Arin. Karena itu dia mengirim satu keluarga untuk mengadopsi Juno agar Arin terlepas dari anak itu. Semenjak kepergian Juno, barulah Theo bisa mendekati Arin.
Theo pikir Juno tidak akan pernah bisa bertemu dengan Arin meskipun mereka bekerja sama dalam bisnis. Nyatanya saat melihat Juno datang ke rumahnya hari itu, seperti ada zona merah yang mendekati Theo.
***
Arin lagi-lagi hanya menatap panggilan Theo tanpa minat menjawabnya. Ucapan Hanna terngiang di kepalanya. Kalau Arin berbicara dengan Theo, pria itu akan semakin kalut masalah pernikahan. Arin tidak mau Theo memiliki beban pikiran yang semakin berat.
"Arin, kita sudah sampai."
Juno menyadarkan Arin. Arin mengangkat kepalanya lagi. Benar, mereka sudah sampai di Panti Asuhan Athy. Segera Arin turun dari mobilnya disusul oleh Juno.
"Halo, semua!!!" seru Arin pada anak-anak yang sedang membersihkan taman mereka.
"KAK YERIIIINN!" Anak-anak itu langsung berlarian menyerbu Arin. Hanya sampai pinggang Arin yang bisa mereka peluk.
"Kak Alin, Kak Alin ke mana aja? Lila kangen banget tau."
"Kak Arin, lihat deh. Aku ganti gigi."
"Wah, Romeo Kakak ompong."
Anak-anak menertawai anak laki-laki yang dua gigi di depannya kosong.
"Oh iya, kakak bawa teman." Arin menarik Juno. "Namanya Kak Juno. Dulu dia juga tinggal di sini loh."
"Wah-wah, mau dong digendong kakak ganteng." Anak perempuan itu mengangkat kedua tangannya meminta Juno menggendongnya. Juno melakukannya. Dia menggendong anak itu.
"Wah, kamu ringan. Pasti makannya sedikit, kan?" tanya Juno.
"Lila makan banyak. Bunda Athy selalu kasih Lila makanan segini." Lila merentangkan tangannya lebar-lebar.
"Kak, Kak, mana Kak Theo?" Pertanyaan itu muncul juga.
"Kak Theo lagi ke luar kota. Kak Theo sibuk cari uang," jawab Arin.
"Kak Theo, ih, cari uang terus. Gak capek apa?"
"Kalau kamu sudah besar juga harus cari uang. Jangan malas. Adik kakak gak boleh malas kalau sudah gede."
"Hehe, iya kak."
Mereka bermain dengan anak-anak, bersenang-senang, bebicara dengan Bunda Athy, membantu membersihkan taman, tanpa terasa hari sudah senja. Pun mereka pamit untuk pulang.
Arin kembali melambai pada anak-anak itu, juga pada Bunda Athy sampai mobil Juno membawanya menjauh.
"Kan aku sudah bilang gak mungkin Bunda Athy lupa sama kamu," ujar Arin saat ia sudah lenyap dari Pantinya.
"Hehe, Bunda Athy semakin tua ya."
"Mana ada orang yang semakin mudaaa!"
"Haha, iya-iya."
Arin menghela napas, mendaratkan kepalanya ke sandaran jok. "Anak-anak di sana lucu-lucu ya."
"Kamu dan Theo kenapa gak adopsi anak aja?"
"Rencananya sih begitu tapi sepertinya batal." Arin menunduk memainkan jemarinya. "Theo akan punya anak kandung. Dia gak butuh anak adopsi lagi."
Juno menjilat bibir bawahnya. Dia salah bicara lagi.
"Kamu yang sabar, ya. Aku yakin kamu bisa melewati ini semua." Tangan Juno terjulur menggenggam tangan Arin.
Arin membalas ucapan itu dengan senyum kikuk sembari melepaskan tangannya dari Juno. Ia tidak mau dipegang Juno.
Juno yang mendapat penolakan Arin itu turut tersenyum maklum.
Untuk selanjutnya mereka berbicara ringan-ringan saja sampai tibalah di rumah Arin.
"Makasih ya, Juno," ucap Arin saat melepas seatbelt-nya.
"Kamu jangan sedih lagi, ya. Kalau kamu perlu tempat curhat, kamu bisa cerita sama aku. Aku pendengar yang baik."
Arin tersenyum lalu mengangguk. setelahnya ia turun dari mobil Juno. Melambaikan tangan sampai mobil pria itu menghilang dari pandangannya.
Arin masuk ke dalam rumahnya, membasuh diri dan duduk di tepi tempat tidurnya. Tangan Arin terjulur mengambil fotonya dan Theo yang berada di atas nakas.
Diusap Arin foto bahagia itu. "Kamu jangan capek-capek di sana. Kalau kamu pulang dengan keadaan sakit, aku gak akan kasih kamu masuk rumah loh."
Arin mencoba tersenyum tetapi yang jatuh adalah air mata. Air mata yang membasahi kaca bingkai tersebut.
Nyatanya malam ini Arin menangis lagi.