webnovel

When The Heart Speaks

Lana Riversong, memutuskan pergi meninggalkan kampung halamannya, Santa Monica, demi melupakan masa lalunya dan memulai hidup yang baru di New York. Tiga tahun berlalu, Lana yang seorang mantan cheerleader NFL ini harus rela menjalani hidup barunya sebagai seorang waitress di salah satu restauran ternama di kawasan Madison Ave. Suatu hari, rekan kerja sekaligus sahabatnya yang bernama Amber mengajaknya untuk menonton konser band-band besar dunia di festival musik musim panas tahunan terbesar di New York. Mulanya Lana enggan untuk ikut, sampai akhirnya sahabatnya tersebut memohon-mohon kepadanya dan menyuapnya dengan menggratiskan tiket yang sudah dibeli olehnya. Akhirnya Lana pun setuju untuk ikut. Lana tidak pernah menduga bahwa datang ke festival musik itu akan menjadi semacam mimpi indah sekaligus mimpi buruk baginya. Karena di sana, takdir kembali mempertemukannya dengan seseorang yang menjadi penyebab utama kehancuran hidupnya di masa lalu. Di sinilah semuanya bermula. Lana dan Mike—yang sekarang sudah menjadi bintang rock terkenal—bertemu dan berbicara kembali setelah tiga tahun lamanya. Mike akhirnya meminta Lana untuk bertemu lagi dengan dirinya setelah dari festival musik itu. Dua hari kemudian, mereka berjalan-jalan di kota New York seraya membicarakan masa lalu. Menguak apa yang tidak pernah diketahui keduanya selama ini. Mike yang mengungkap alasan sebenarnya mengapa dirinya memutuskan Lana, dan Lana yang menjelaskan mengapa dirinya berhenti dari karir pemandu sorak profesionalnya. Semua itu mengejutkan keduanya. tapi masalah kian rumit setelah seseorang yang tidak terduga muncul, belum lagi bocornya pemberitaan mengenai mereka berdua yang terendus media. Menjadikan Lana dan Mike harus kembali menghadapi rintangan untuk bersatu. Akankah mereka bisa benar-benar bersatu kembali pada akhirnya? Atau, apakah Lana lebih memilih merelakan masa lalu dan menyambut masa depannya?

Irma Rose · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
39 Chs

Chapter 13

Kami berjalan menuju ke pusat kota Manhattan. Aku berniat membawanya ke café Mexico langgananku dan Amber. Tempatnya tidak begitu jauh dari taman tadi. Sekitar 15 menit dengan berjalan kaki.

Sepanjang perjalanan, aku agak cemas mengingat kami sedang memasuki kawasan paling padat dari Manhattan. Namun, Mike tidak terlihat gelisah maupun ketakutan. Dia malah menikmati semua ini. Dia terlihat sangat domestik. Tidak seperti layaknya seorang super star yang tampak selalu paranoid di tengah keramaian. Dan beruntungnya orang-orang terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing sehingga tidak menyadari bahwa ada seorang rock star yang sedang berkeliaran di tengah-tengah mereka.

"Bagaimana kabarmu?" Mike bertanya setelah kurang lebih 10 menit kami berjalan dalam diam.

Pertanyaan ini menjadi semacam hal yang paling dihindari untuk diucapkan pada awal pertemuan kami, setidaknya bagiku. Karena pertanyaan inilah salah satunya yang aku takutkan. Apa dia merasakan hal yang sama? Karena baru detik Ini Mike menanyakannya.

Ingin hati aku meriakinya, mengingat bagaimana keadaanku yang sebenarnya setelah kami berpisah.

"Baik," alih-alih aku menjawab, mulutku mendustai perasaanku.

Sesungguhnya aku tidak ingin menanyakan hal sama kepadanya, karena aku rasa dirinya tidak tampak buruk seperti apa yang terjadi kepadaku. Mike terlihat jauh lebih baik daripada aku. Terbukti, hidupnya berkembang jauh lebih baik dibandingkan hidupku.

Dia pun tidak pernah terlihat murung maupun terpuruk, seperti selayaknya orang yang hidupnya terbebani masalah. Dari beberapa kabar di media yang pernah kulihat, Mike selalu tampak bahagia. Menebarkan senyum khasnya kepada kamera, berbicara dengan nada menyenangkan setiap kali para pewarta itu bertanya. Aku pun tidak pernah mendengar berita buruk tentangnya. Kecuali satu hal, kali ini Michael Soga masuk ke dalam daftar Ladies Man di kalangan para selebriti. Fakta yang satu itu sangat membuatku tertohok.

Tetapi, apa benar dirinya dalam keadaan baik-baik saja seperti tampilan luar? Kulit luar bisa menipu, bukan?

Karena aku merasa setelah aku mendengarkan lagu itu dan berbicara dengannya di belakang panggung pada saat itu, sisi lain yang ada di dalam diriku meyakinkanku bahwa dirinya tidak dalam kondisi sebaik seperti apa yang kupikirkan selama ini.

"Kau sendiri bagaimana?" hatiku setengah berharap dirinya akan berlutut di jalanan ramai Manhattan di hadapanku lalu dengan berlinang air mata dia berkata bahwa selama ini dirinya tersiksa dan memikirkanku, kemudian dia meminta maaf kepadaku. Itulah yang ku inginkan selama ini.

Mike mengulur waktu sejenak, dia membuang napas kencang sebelum menjawab, "aku baik juga." Lalu menoleh kepadaku dengan tersenyum samar.

Aku mengangguk. "Baguslah."

Kami berdua terdiam kembali sampai pada saatnya kami tiba di café Mexico langgananku tersebut dengan selamat. Beruntungnya kami datang lebih awal dari waktu makan malam, karena café terlihat lengang. Lagi pula, seberapa ramai café ini tidak akan seramai seperti di tempat lainnya. Tempat ini agak tersembunyi, dan cenderung mirip rumah tinggal, semua perabotan disetting ala rumahan. Tempat duduknya pun berupa sofa, yang di bagi menjadi beberapa bagian dan berjarak cukup jauh dari satu sama lain. Para pengunjung akan dibuat sibuk dengan kenyamanan dan sajian yang diberikan oleh café ini sehingga mereka tidak akan terlalu memperhatikan pengunjung lainnya. Setidaknya itu yang selalu kurasakan setiap kali berada di sini.

Amber membawaku ke café ini saat aku baru tinggal beberapa minggu di New York. Dia membual kalau café ini menyajikan makanan Mexico terlezat yang pernah dia coba selama dia hidup di dunia ini. Dan harganya murah. Pada waktu itu aku hanya tertarik pada bagian harga murahnya saja. Tapi ternyata Amber benar, makanan di tempat ini memang sangat lezat bahkan dari café Mexico favorit aku dan Mike di Santa Monica sekalipun.

Café Mexico, Mike dan aku? Apa yang sedang kulakukan? Bernostalgia kah?

Mike dan aku duduk berhadapan di kursi sofa yang berada di ujung café. Mike membuka kacamata hitamnya, lalu menggantungkannya ke leher t-shirt-nya. Aku selalu suka kalau dia sudah memakai kaus hitam ketat yang mempertegas bentuk tubuhnya. Lengan Mike terlihat sangat kekar. Dulu lengan itu tidak sekekar sekarang. Pasti karena dia rajin nge-gym, pikirku.

Tak lama berselang, seorang wanita Latino paruh baya bertubuh gemuk dengan riasan wajah berlebihan datang menghampiri kami. Membuyarkan lamunanku dari tubuh dan lengan kekar Mike.

Guadalupe, langsung menyambutku dengan wajah cerianya seperti biasa. "Oh! Chica hermosa! Bagaimana kabarmu, sayang?"

Aku tersenyum kepadanya. "Stabil, kurasa," sembari mengangkat kedua bahuku.

Guadalupe pun menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tertawa cukup kencang setelah mendengar ucapanku, seolah aku telah melontarkan lelucon paling lucu.

"Kau memang tidak pernah berubah, Lana," katanya, tertawa lagi.

Aku hanya mengedikkan bahu dan memberinya tatapan 'yah beginilah aku'.

Mike menatap kami secara bergantian dengan ekspresi wajah kebingungan sekaligus penasaran.

Guadalupe menyadari keberadaan Mike, lalu dia berkata, "dan siapa lelaki tampan yang kau bawa ini?" dia memandang Mike dengan terpesona.

Mike sedikit terkesiap mengetahui bahwa Guadalupe tidak mengenal dirinya. Tapi kemudian dirinya terlihat sangat lega—kurasa. Lalu dia melirikku sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Well, ini Mike. Dia... temanku. Dia sedang berlibur di New York," jawabku, menghindari tatapan Mike.

Teman? Dadaku serasa ditusuk pisau ketika mengucapkan kata tersebut.

"Hai," Mike menyapa Guadalupe.

"Oh, aku pikir dia kekasihmu?" celotehnya sambil tersenyum manis kepada Mike.

Seketika aku melirik ke arah Mike, kupikir dia akan terlihat terkejut atau menyangkal mentah-mentah, tetapi kudapati dirinya hanya tersenyum kepada Guadalupe.

"Aku Guadalupe, panggil saja Lupe. Aku pemilik café ini. Tadi kukira Lana membawa kekasihnya, sampai aku berpikir, oh mungkin ini alasannya mengapa dia menolak untuk kujodohkan dengan keponakanku, Pedro. Ternyata....."

"Lupe!" timpalku.

Lupe menoleh ke arahku, mengerjapkan kedua matanya.

"Kami lapar, bisakah kami langsung memesan saja?" lanjutku dengan nada semanis mungkin.

Lalu dia pun tertawa. "Oh, maafkan aku. Baiklah apa yang kalian inginkan?"

Aku ingat sewaktu Lupe mengenalkanku kepada Pedro. Pria itu hampir jatuh pingsan saking gugupnya. Amber tidak bisa menahan diri ketika melihat wajah Pedro yang berubah menjadi pucat pasi dan bercucuran keringat saat menjabat tanganku. Amber tertawa sampai berlinang air mata kala itu.

Semua makanan dan minuman yang kami pesan akhirnya datang setelah sekitar 10 menit kami menunggu. Wanita itu memotong pembicaraanku yang sedang menjelaskan kepada Mike bagaimana aku dan dia bisa saling mengenal. Guadalupe menaruh semuanya di atas meja kami, dan dengan usaha sedikit keras, aku mengusirnya secara halus dari meja kami setelah dirinya mengoceh kepada Mike tentang pertama kali aku dan Amber datang kemari. Katanya, aku mirip dengan anak perempuan kakaknya yang telah meninggal dunia akibat leukimia. Aku ingat saat itu, aku terkejut bukan main ketika Lupe tiba-tiba memelukku dan menangis.

Aku memutar bola mataku dan mendesah lega setelah Lupe meninggalkan meja kami.

Mike terkekeh kemudian berkata, "kau tahu, aku senang dia tidak mendengarkan Infinity Dusk."

Dia terkekeh lagi sambil menggelengkan kepalanya, lalu melahap enchiladas. Makanan favoritnya dari sejak dulu.

"Yah, aku juga tidak bisa membayangkan Lupe mengangguk-anggukkan kepalanya ketika dia sedang membuat quinoa sambil mendengarkan lagu-lagumu."

Kurobek quesadilla dengan tanganku lalu melahapnya.

Mike memuji hidangan yang dibuat Guadalupe. Dia terus saja mendesah senang menikmati setiap suapannya. Aku hanya tersenyum melihatnya.

Kemudian kami tidak berbicara lagi selama beberapa saat.

Aku tahu Mike sedang menatapku, namun pandanganku tetap tertuju ke arah piring di hadapanku. Aku masih belum terbiasa dengan tatapan intens darinya kembali. Mungkin karena sudah terlalu lama bagiku merasakan ditatap olehnya lagi.

"Lana," Mike memanggilku dengan lembut.

Suara itu.

"Ya?" kupaksakan diriku untuk melihat ke arahnya tanpa memperlihatkan rasa gugup yang sedang kurasakan.

Mike ragu sejenak, tapi kemudian dia bertanya, "Umm... sebenarnya apa yang kau lakukan di sini, di New York?"

Takut-takut dia melanjutkan. "Apa pekerjaanmu sekarang?"

Lucu, dari semenjak kami bertemu baru pada detik ini dirinya bertanya hal itu. Sama seperti pertanyaan mengenai kabar. Apa pertanyaan-pertanyaan tersebut terlalu sulit untuk dikatakan? Setidaknya seperti itu bagiku bila mengenai pertanyaan seputar kabar. Ada perasaan takut dan enggan yang kurasakan jika aku mengetahui dirinya baik-baik saja setelah kepergianku. Mungkin aku egois menginginkan Mike menderita sama seperti diriku. Namun, aku pikir keinginanku itu setimpal dengan apa yang telah dia perbuat terhadap diriku selama ini.

Menurutmu? Ingin sekali aku berkata begitu.

Kuhela napas panjang sebelum berkata apa tepatnya yang harus kuucapkan kepadanya.

"Aku bertahan hidup," jawabku tanpa dipikirkan terlebih dulu.

Kulirik dirinya. Mike sedang menurunkan padangannya, ada semacam kesedihan tergambar di wajahnya.

Kuringankan beban yang ada padanya dengan menjawab pertanyaan darinya. "Aku bekerja sebagai waitress di Upper Scale, sebuah restauran yang ada di Madison Ave."

Aku menambahkan. "Aku menikmati pekerjaanku."

Entah mengapa aku berkata begitu. Kualihkan perhatianku darinya ke quesadilla di atas piring lalu menyantapnya kembali. Sebenarnya selera makanku sudah hilang dari semenjak dirinya bertanya.

"Oh," dia terdiam sesaat. Seakan sedang mencerna jawaban dariku.

Mike tidak mengetahui sama sekali mengenai hidupku selama tiga tahun ini. Dan aku pun sangsi dirinya mencari tahu tentang diriku. Bahkan Mom dan Zoe berkata kepadaku kalau Mike sudah tidak pernah berkomunikasi lagi dengan mereka dari semenjak aku pergi meninggalkan Santa Monica, meski hanya sekedar pesan singkat sekalipun, tidak pernah lagi. Aku sangat terpukul mengetahui kenyataan bahwa ternyata Mike pun memutuskan semua hubungan dengan siapa pun yang berkaitan dengan diriku.

Aku hanya berharap setidaknya dia mencoba mencari tahu tentangku.

"Tapi, mengapa?" tanpa terduga Mike bertanya.

Kedua mata cokelat itu terlihat begitu jernih. Namun, ekspresi wajahnya tampak begitu cemas.

"Apa yang kau maksud dengan mengapa?" nada bicaraku terdengar menuduh.

Dan Mike menangkap sarkasme dalam suaraku, karena dia kemudian berkata. "Maafkan aku, tapi... aku pikir kau melanjutkan karirmu, di sini."

Kami saling tatap selama beberapa saat. Tapi dengan segera aku berpaling darinya.

Aku tahu pembahasan ini akan diungkit. Terlebih karena Mike tidak tahu bagaimana sesungguhnya kehidupanku di New York. Hatiku terasa sakit menerima kenyataan ini.

"Kau tidak tahu sama sekali," ujarku, yang lebih kepada pernyataan dibandingkan pertanyaan.

"Aku hanya mengira kau tahu tentang kehidupanku di sini..." lanjutku dengan suara yang perlahan menghilang.

Mike mendesah cukup keras seraya menjatuhkan garpunya ke atas piring, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Kemudian memejamkan kedua matanya.

Aku terpaku di tempat dudukku, menatap ke arahnya yang sekarang sedang bertingkah tidak seperti dirinya. Mike terlihat seakan-akan sedang mengendalikan diri. Dia tampak stress.

"Bagaimana aku bisa tahu kalau kau pergi menghilang begitu saja, tanpa jejak. Aku bertanya kepada ibumu dan Zoe. Mereka tidak mau memberitahuku. Dan kau mengganti nomormu," gumamnya, masih memejamkan kedua matanya.

Jadi dia menghubungiku dan mencari tahu?

Kubuka mulutku, tapi kemudian menutupnya kembali. Aku tidak tahu harus berkata apa.