webnovel

When The Heart Speaks

Lana Riversong, memutuskan pergi meninggalkan kampung halamannya, Santa Monica, demi melupakan masa lalunya dan memulai hidup yang baru di New York. Tiga tahun berlalu, Lana yang seorang mantan cheerleader NFL ini harus rela menjalani hidup barunya sebagai seorang waitress di salah satu restauran ternama di kawasan Madison Ave. Suatu hari, rekan kerja sekaligus sahabatnya yang bernama Amber mengajaknya untuk menonton konser band-band besar dunia di festival musik musim panas tahunan terbesar di New York. Mulanya Lana enggan untuk ikut, sampai akhirnya sahabatnya tersebut memohon-mohon kepadanya dan menyuapnya dengan menggratiskan tiket yang sudah dibeli olehnya. Akhirnya Lana pun setuju untuk ikut. Lana tidak pernah menduga bahwa datang ke festival musik itu akan menjadi semacam mimpi indah sekaligus mimpi buruk baginya. Karena di sana, takdir kembali mempertemukannya dengan seseorang yang menjadi penyebab utama kehancuran hidupnya di masa lalu. Di sinilah semuanya bermula. Lana dan Mike—yang sekarang sudah menjadi bintang rock terkenal—bertemu dan berbicara kembali setelah tiga tahun lamanya. Mike akhirnya meminta Lana untuk bertemu lagi dengan dirinya setelah dari festival musik itu. Dua hari kemudian, mereka berjalan-jalan di kota New York seraya membicarakan masa lalu. Menguak apa yang tidak pernah diketahui keduanya selama ini. Mike yang mengungkap alasan sebenarnya mengapa dirinya memutuskan Lana, dan Lana yang menjelaskan mengapa dirinya berhenti dari karir pemandu sorak profesionalnya. Semua itu mengejutkan keduanya. tapi masalah kian rumit setelah seseorang yang tidak terduga muncul, belum lagi bocornya pemberitaan mengenai mereka berdua yang terendus media. Menjadikan Lana dan Mike harus kembali menghadapi rintangan untuk bersatu. Akankah mereka bisa benar-benar bersatu kembali pada akhirnya? Atau, apakah Lana lebih memilih merelakan masa lalu dan menyambut masa depannya?

Irma Rose · Urban
Not enough ratings
39 Chs

Chapter 12

Cuaca di New York sore ini kurang lebih sekitar 24°C, biasanya pada cuaca seperti ini orang-orang banyak keluar dari tempat persembunyian mereka untuk menikmati hari. Tapi jika kau bukan pemerhati yang handal, maka tidak akan ada bedanya dengan hari lain.

New York selalu dibanjiri manusia setiap harinya. Ingat itu.

Setelah aku membalas pesan untuk Mike, aku masih sedikit ragu dengan tempat yang telah kutentukan ini. Di dalam perjalananku menuju ke tempat tujuan, aku terus menimbang-nimbang akan hal ini. Haruskah aku mengganti tempat pertemuannya?

Mike yang sekarang bukanlah Mike yang kukenal dulu. Dia bukan lagi penduduk sipil yang keberadaannya tidak dipedulikan oleh orang-orang. Mike yang akan kujumpai kali ini adalah orang yang tidak mungkin dibiarkan sendiri berkeluyuran di tempat umum. Apalagi di kota seperti New York. Keselamatannya sangat dijaga ketat. Itu artinya dia tidak mungkin sendirian kemana-mana. Aku pernah melihat berita tentang dirinya di beberapa media. Tak pernah sekalipun kulihat dirinya tanpa pengawalan para pria berbadan besar, bertampang sangar yang di setiap telinganya dipasangi earpiece. Oleh karenanya, aku berpikir, mungkin kali ini kami pun tidak akan benar-benar sendiri.

Aku memilih berjalan kaki dari apartemenku. Selama tinggal di sini, aku menjadi terbiasa melakukan hal tersebut. Berjalan kaki adalah kegiatan yang menyenangkan yang tidak pernah kukira sebelumnya.

Di setiap langkah kakiku menuju tempat tujuan, aku sempat berhenti beberapa kali. Kuraih ponsel dengan maksud ingin mengiriminya pesan dan mengganti tempat tujuan. Aku takut Mike tidak akan nyaman dengan pilihanku ini. Tapi, aku pun tidak ingin terlalu banyak berpikir, karena Mike sudah menyerahkan semuanya kepadaku. Maka kusimpan kembali ponsel ke dalam tas dan melanjutkan perjalanan.

Aku memilih tempat; sebuah taman asri di kawasan bagian barat Manhattan. Pertama yang terlintas di dalam pikiranku ketika memilih Manhattan bagian sini adalah karena lelucon tentangnya. Aku dengar bahwa orang-orang Manhattan ini tidak akan begitu peduli jika seorang selebritis berjalan tepat di depan hidung mereka. Mungkin sebenarnya mereka memperhatikan, hanya saja mereka tidak akan menyerbu dan berebut tanda tangan atau meminta foto. Aku pernah melihat Tom Cruise, Angelina Jolie dan selebritis A-list lainnya di kawasan tersebut bersama keluarga mereka. Mereka terlihat santai dan menikmati kegiatan yang mereka lakukan. Tidak ada orang-orang yang menyerbu mereka. Orang-orang melewatinya, namun sekali dua kali melirik ke arah selebritis itu. Jadi jika ada yang mengerubungi para selebritis itu, bisa dipastikan mereka adalah turis dan bukan penduduk bagian barat Manhattan.

Amber bilang mereka terlalu gengsi untuk mengakui bahwa mereka mengidolakan selebritis. Mungkin karena ingin terlihat sama-sama berkelas. Tapi pada dasarnya mereka juga tidak tahan ingin melemparkan diri mereka ke arah para selebritis itu.

Aku harap Mike tidak akan mendapat masalah ketika berada di sana.

Aku tidak mempercayai diriku sendiri ketika memikirkan semua ini. Ya tuhan!

Dua puluh lima menit kemudian aku sudah sampai di tempat tujuan. Aku menyukai tempat tujuanku ini. Bisa dibilang, taman ini adalah salah satu tempat favoritku di New York. Aku menemukan taman ini ketika tanpa sengaja melewatinya saat aku sedang menjelajahi beberapa tempat di sudut kota New York. Pertama yang membuatku jatuh cinta dari taman ini—selain suasananya yang tenang—adalah air terjun kecil buatan yang berada di ujung taman. Aku terkesan mengetahui ada sebuah air terjun di pusat kota. Tempat ini layaknya hidden gem di tengah-tengah perkotaan yang sibuk dan bising.

Kulihat ke sekeliling taman, hari ini para pengunjung agak sepi dari biasanya. Aku agak terkejut tapi sekaligus bersyukur. Kupilih tempat duduk di sudut kanan dekat air terjun. Kemudian aku duduk di kursi besi dan meletakkan tas di atas meja kecil berbentuk bundar di hadapanku.

Aku gugup sekali, sungguh. Menghadapinya kembali setelah di backstage festival musik beberapa hari yang lalu, rasanya tidak akan pernah terbiasa.

Ponsel di dalam tasku berdering kencang, membuyarkan lamunanku. Kurogoh tas lalu kukeluarkan ponsel. Nama Mike muncul di layar. Dia menghubungiku. Jantungku kembali berpacu.

Kutarik napas lalu kuhembuskan perlahan, setelah sedikit lebih tenang kemudian kuterima panggilannya.

"Halo?" jawabku agak gemetar.

"Cobalah tengok ke belakang!" perintahnya.

Aku berdiri seketika.

Dia ada di sini.

Dengan jantung berdebar, perlahan kuputar tubuhku ke arah belakang. Aku pikir aku akan langsung melihatnya sedang berdiri di sana, tetapi aku tidak menemukan sosoknya. Kusapu kembali pandanganku ke sekeliling, dan masih, tak kulihat keberadaanya di mana-mana. Aku mulai panik, apa mungkin dia salah tempat?

"Kau di mana?" tanyaku tergesa-gesa sembari menajamkan penglihatan.

"Aku akan ke tempatmu, sekarang," dia hanya berkata.

Setelah merasa kebingungan selama beberapa detik, akhirnya aku melihatnya.

Jantungku hampir jatuh rasanya ketika melihat dirinya tengah berdiri di seberang tempatku berada. Sebelah bahunya bersandar ke sebuah pilar kayu, dia terlihat rileks, dengan satu tangan terbenam di dalam saku celananya, dan yang satunya lagi sedang memegangi ponsel. Mike memakai pakaian serba hitam; t-shirt, jeans, sepatu kanvas hitam dan topi yang sengaja dipakai terlalu rendah sehingga hampir menutupi mata. Apa dia sudah ada di sini sedari tadi? Pikirku.

Kedua mata kami bertemu, kemudian dia tersenyum ke arahku.

"I'm coming," ucapnya di ujung telepon.

Aku sedikit tersentak, hampir lupa kalau kami masih terhubung.

"Oke."

Lalu sambungan pun terputus.

Mike berjalan ke arahku. Selama itu pula aku tidak mampu mengalihkan perhatianku darinya. Aku hanya berdiri membeku sambil meremas ponsel dalam genggaman kedua tanganku, dan jantung yang berdentum-dentum di kedua telinga.

"Hai!" katanya, ketika sudah berada tepat di hadapanku.

"Hai," jawabku, mengerjapkan mata beberapa kali. Bagaimana pun juga aku tidak bisa menampik ketampanannya.

Kualihkan pandanganku dan mengamati ke sekitar.

Mike meniru gerakanku. Lalu keningnya berkerut. "Ada apa?" katanya nampak bingung.

"Oh, tidak. Aku hanya... kau datang sendirian?"

Sejenak dia terlihat benar-benar kebingungan lagi. "Ya.." jawabnya.

"Oh."

"Kau berharap aku datang dengan siapa?"

Aku memang tidak melihat para bodyguard-nya ada di sini. "Tidak, hanya saja, kau tahu..."

Kemudian dia menyela. "Aku paham," katanya sembari tersenyum.

"Aku hanya tidak ingin kau babak belur dikerubungi massa. Kau tahu kalau itu terjadi, kau tidak mungkin mengandalkanku," ujarku seraya mengangkat bahu.

Dia tertawa mendengar ucapanku, begitu pula aku.

"Tenang saja, dari sejak awal aku menjejakkan kaki di kota ini, aku belum pernah mengalami keadaan yang di luar kendali. Yah, mungkin bergulat di depan hotelku dengan beberapa paparazzi hari ini," katanya, mengedikkan sebelah bahu.

Aku tidak tahu apakah dia serius atau bercanda berkata demikian. Tapi tiba-tiba tawanya kembali meledak.

"Lana, aku hanya mengarang cerita," dia menggelengkan kepala sambil tertawa geli.

"Ha-ha," kuputar kedua bola mataku.

"Maafkan aku," lalu dia berhenti tertawa. Kemudian muncul lah ekspresi malu-malu di wajahnya.

Aku kembali duduk di kursi besi sementara Mike berjalan mengitari meja lalu duduk di kursi di hadapanku.

Selama beberapa saat kami hanya duduk diam. Mendengarkan suara berisik dari guyuran air terjun di hadapan kami. Sebenarnya suara itu menenangkan apabila tidak sedang dalam situasi yang tegang dan canggung seperti ini. Tapi sekarang, suara air terjun bak latar belakang dari kondisi kami berdua saat ini.

Mike memandang ke sekitar, sesekali raut wajahnya tampak terpesona.

"Aku tidak tahu ada tempat semacam ini di New York," katanya memulai.

"Benar kan, aku juga tidak menyangka sebelumnya," aku menatapnya yang sedang melihat ke sekeliling.

Wajah dan senyuman yang kurindukan, akhirnya aku bisa melihatnya kembali. Tiba-tiba Mike mengalihkan perhatiannya kepadaku. Dia menatap kedua mataku. Buru-buru kupalingkan pandanganku darinya.

"Well, tapi ini New York. Kota ini seperti tempat sebuah pencarian telur-telur paskah secara besar-besaran. Kau tidak akan pernah tahu kejutan apa lagi yang tengah menunggu untuk kau temukan di setiap penjuru kotanya," lanjutku.

Dia mengangguk-anggukkan kepala seakan paham maksud dari ucapanku, lalu tersenyum. "Apa kau sudah menemukan semua kejutannya?"

Aku mengangkat bahu. "Belum semua, tentu saja. Hanya beberapa. Dan itu pun sebagian besar bukan hasil jerih payahku. Temanku Amber yang membantuku menemukannya."

"Kau sering kemari? Ke tempat ini?" dia melambaikan sebelah tangan ke udara lalu bergerak maju ke depan, menyangga tubuhnya menggunakan kedua lengannya di atas meja.

"Begitulah. Aku suka suasana di sini. Tidak terlalu ramai seperti di taman lainnya," jawabku.

Sore ini hanya ada segelintir orang yang datang kemari. Aku bisa melihat di sisi kanan kami, ada dua pria berdasi yang sedang bercakap-cakap, seorang wanita berwajah manis berkulit gelap yang begitu indah sedang membaca buku jauh di seberangnya, serta di sudut taman ada sepasang kekasih yang sedang sibuk bercumbu. Aku langsung mengalihkan perhatianku, lalu mendapati Mike tengah memandangiku.

"Ada apa?" tanyaku.

Dia tersadar dari apa pun itu. Kemudian berdeham. "Iya aku setuju, suasana di sini menenangkan. Aku langsung menyukainya," katanya, yang menurutku nada bicaranya terlalu bersemangat.

Senang rasanya mengetahui kalau dia masih suka gugup seperti dulu.

"Oh iya, berapa lama kau akan berada di New York?"

Setelah bertanya demikian, ada rasa ingin menarik kembali kata-kataku tersebut. Aku tidak ingin Mike tahu kalau aku sedang berharap. Ya, aku berharap dia akan tinggal lama di sini. Shit! Apa aku menginginkan itu?

"Kira-kira satu minggu," jawabnya.

Oh.

Satu minggu, bukanlah waktu yang lama. Aku hanya mengangguk.

"Kau tidak ada kesibukan hari ini?"

"Kami baru saja menyelesaikan sesi foto dengan salah satu majalah."

"Oh."

"Aku banyak memiliki waktu luang, jangan khawatir," dia tersenyum. Seolah ingin menegaskan sesuatu.

"Dan bagaimana dengan yang lainnya? Seth, David dan Johan. Aku merindukan mereka."

Mike menepuk keningnya. "Untung saja kau mengingatkanku, mereka menitipkan salam untukmu. Mereka dalam keadaan luar biasa senang dan sudah pasti mereka juga merindukanmu. Aku bisa membawamu jika kau ingin bertemu dengan mereka."

Tentu saja aku ingin bertemu dengan mereka semua. Tapi mungkin untuk hari ini aku hanya ingin berurusan dengan dirinya saja.

"Tapi, aku meragukan mereka masih ada di hotel setelah aku pergi tadi. Mereka akan melakukan perjalanan ke Coney Island bersama dengan manajemen kami," dengan segera Mike melanjutkan.

Tampaknya bukan cuma aku saja yang menginginkan hal itu.

"Baiklah, mungkin lain kali," ucapku.

Kecanggungan mulai kembali menguar di udara. Dan rasanya tidak nyaman.

Kurogoh tasku, lalu kukeluarkan sebungkus rokok. Gerakanku terhenti ketika kulihat kedua matanya terbelalak melihat benda yang ada di tanganku itu.

Right, seketika aku mulai menyadari bahwa Mike tidak mengetahui kalau aku merokok. Aku memang pernah merokok semasa SMP dan sesekali pada waktu SMA. Tapi aku tidak pernah melakukannya di hadapan Mike. Aku sempat melupakan benda ini ketika kami masih bersama dulu. Namun, sekitar dua tahun yang lalu ketika kurasa aku merindukan benda itu untuk menenangkan pikiranku, maka aku pun membeli satu bungkus dan mulai menghisapnya kembali. Dari semenjak itu, benda ini menjadi semacam barang yang penting dan sering kubawa ke mana-mana.

Aku tidak memperdulikannya ketika aku mulai menyulut dan menghisap benda tersebut di hadapannya. Karena sebagian diriku sengaja ingin membuatnya berkomentar dengan apa yang sedang kulakukan ini.

Kami berdua terdiam selama beberapa saat. Aku sadar betul dirinya sedang menatap ke arahku. Tiba-tiba dia berkata,

"Boleh aku minta satu?"

Kali ini giliran aku yang terkejut dan kedua mataku terbelalak menatapnya.

Cepat-cepat aku mengangguk, "tentu."

Kusodorkan bungkus rokokku kepadanya. Mike menarik satu lalu disematkannya di antara kedua bibirnya. Bibir itu, batinku. Dia menyalakan rokok dengan pematik milikku, dan dengan perlahan menghisap benda tersebut. Aku memperhatikannya ketika Mike melakukan semua itu. Dia terlihat begitu ahli. Apa dia juga sekarang menjadi perokok?

"Kau tahu kalau rokok bisa melemaskan saraf yang tegang? Awalnya aku tidak percaya, tapi setelah kurasakan, memang ada benarnya," katanya.

Kemudian dia menghisap kembali rokok yang berada di antara kedua jarinya itu, lalu menghembuskannya dengan begitu perlahan. Melihatnya seperti itu, ada lonjakan yang kurasakan di dalam perutku. Dia terlihat seksi ketika sedang merokok. Ya ampun, apa yang kupikirkan!

"Jadi kau juga merokok sekarang?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alisku kepadanya.

Mike terkekeh. "Sesekali, jika hidup terasa begitu berat."

Apa?

Kedua mata kami bertemu kembali dan terkunci pada satu sama lain. Aku tidak mengerti maksud dari apa yang dikatakannya barusan.

Tapi sayangnya, momen itu diinterupsi ketika kudengar perutku berbunyi. Shit!

Kuremas perutku. Aku belum makan seharian ini. Di tempat kerja, aku tidak sempat makan siang, karena pikiranku terlalu kacau. Alhasil, saat ini perutku mulai protes.

Kurasa Mike mendengarnya juga, karena dia berkata, "aku juga lapar. Ayo kita cari makanan, sudah waktunya makan malam.”

Aku mengangguk, dan kami pun mematikan rokok sebelum membuangnya, kemudian berdiri lalu berjalan meninggalkan taman.

Sesaat aku kira akan ada para pengawalnya yang berjalan di belakang kami, tapi ketika tidak ada satu pun yang mengikuti, aku menoleh ke arah Mike yang sedang berjalan di sampingku.

"Kau benar-benar sendirian?" tanyaku masih tak percaya.

"Aku sudah bilang kan kalau aku sendirian," katanya santai seraya tersenyum.

"Kau menggunakan apa kemari?"

"Ini," jawabnya sambil menepuk kedua pahanya. "Hotel tempat kami menginap tidak jauh dari sini."

"Aku agak terkejut kau berjalan kaki," kataku, menggelengkan kepala.

"Mungkin harus dibiasakan jika sedang berada di sini, kemacetan New York bikin sewot."

"Yep!"

Ketika kami sudah sampai di trotoar dan mulai menembus keramaian, Mike mengenakan kacamata hitamnya lalu menurunkan kembali topinya.

Aku kembali ditampar oleh kenyataan, bahwa dirinya adalah seorang rock star yang harus berhati-hati ketika berada di dalam keramaian tanpa pengawalan. Tapi entah mengapa, aku merasa gembira. Karena dia mengorbankan sesuatu demi bertemu denganku hari ini. Mengorbankan keselamatannya. Aku tidak bisa membayangkan dirinya berjalan menyusuri Manhattan seorang diri.

Satu hal lagi membuktikan bahwa orang-orang memang seperti apa yang dikatakan dalam lelucon itu. Selama kami berjalan, tidak ada satu pun yang mendatanginya. Tapi ada beberapa yang meliriknya lalu berbisik-bisik kepada temannya.

"Kau yang pilih tempatnya, aku akan setuju dengan apa pun pilihanmu," katanya.

"Makanan Mexico masih menjadi pilihan?" tanyaku.

Kemudian senyumannya melebar. "Absolutely."