webnovel

07.

Hari masih pagi, ketika pintu UGD tedorong kasar membuka. Sepersekian detik berselang, empat buah brankar yang baru diturunkan dari mobil ambulans didorong masuk oleh delapan orang paramedis. Lorong UGD yang tadi senyap menjadi gaduh, karena salah seorang paramedis berteriak, meminta suster menggantikan posisi mereka untuk pemeriksaan medis tahap dua di RSU Srikana Medika, Surabaya – Jawa Timur.

Suster kepala yang mendengar kegaduhan di luar ruang kerjanya, bergegas keluar. Di belakangnya, beberapa suster lain mengikuti. Sosok ramping dalam seragam perawat bergegas menghampiri paramedis.

"Apakah ini korban kasus kapal meledak yang tadi menelepon?" tanya suster kepala, bola mata hitamnya menatap penuh perhatian pada paramedis di depan.

“Betul, Sus.”

"Lisa, Melly! Aku membutuhkanmu di sini," panggil wanita itu, sebelum mengembalikan pandangannya ke lelaki tadi. “Ceritakan padaku kondisi empat korban itu, Pak?”

Sementara Jean mencatat keterangan dari paramedis yang membawa korban, para suster langsung bergerak dengan tim masing-masing. Teriakan alat suntik, ampul penahan sakit, dan nama obat-obatan lainnya untuk pertolongan pertama berkumandang memenuhi lorong. Mereka mengambil alih pasien dari paramedis dan lanjut mendorong brankar menuju bangsal UGD.

“Itu saja keterangan yang bisa kami berikan. Detil mengenai tekanan darah dan apa saja yang sudah diberikan selama perjalanan, sudah kami catat di sini, Suster … Jean Garner?” Mata lelaki itu memicing menatap label nama yang tersulam pada seragamnya.

Jean mengernyit, dia merasa aneh diperhatikan seperti itu. Jarang sekali, baik pasien maupun paramedis, memperhatikan nama seorang suster. “Ya, saya sendiri. Oke, Pak. Kalau begitu, boleh saya minta catatan medis korban untuk counter check?”

“Oh, tentu saja. Maaf, aku lupa.” Lelaki itu segera melepaskan empat lembar kertas dari papan penjepit yang digenggamnya. “Ini, Sus.”

“Baik, saya ambil alih dari sini. Terima kasih, Pak.” Jean tersenyum tipis saat menerima laporan yang disodorkan.

Baru saja dia akan berbalik dan pergi ketika paramedis itu kembali memanggil, “Suster Jean ….”

“Ya?”

“Senang berkenalan denganmu.” Lelaki itu menyeringai, sebelum berlari meninggalkan lorong UGD, menyusul rekan-rekan paramedisnya yang sudah lebih dulu keluar.

Jean mendengkus dan tersenyum. Dia menggaruk keningnya yang tidak gatal, melihat aksi paramedis yang menurutnya konyol. Untung saja, dia bukan suster muda yang tidak berpengalaman dengan lelaki.

Mengalihkan kembali perhatiannya pada pasien yang baru masuk, Jean bergegas menuju bangsal UGD. Empat orang korban yang semuanya lelaki, diletakkan bersebelahan dalam bilik-bilik yang bersekat tirai.

Jean masuk ke masing-masing bilik untuk menyerahkan catatan medis korban, sambil menginspeksi. Diperhatikannya para suster yang sibuk memasangkan selang oksigen, menganalisa luka, tensi, pengukuran kadar gula darah dan lainnya sebagai protokol penanganan kecelakaan.

Ketika hendak masuk ke bilik korban nomor tiga, dia terkejut saat seseorang meraih lembut bahunya. “Maaf aku terlambat, ada sedikit urusan di atas. Apakah mereka sudah di sini?” tanya Dora, salah satu suster senior yang juga sahabat baik Jean.

“Tidak masalah. Empat orang korban kapal meledak baru saja masuk. Melly dan Lisa sedang memeriksa dan mengambil catatan medis dari korban nomor satu dan dua. Aku akan menganalisa korban ke empat. bisakah kau bantu memeriksa korban yang ini?"

"Apapun untukmu, Manisku."

Jean menyeringai mendengar jawaban Dora, kemudian dia menyerahkan catatan medis korban yang bersangkutan, sebelum beranjak ke ujung bangsal di mana korban nomor empat berada.

Seorang suster sudah memasangkan alat bantu pernapasan. Sekarang, wanita dalam seragam perawat itu sedang merekam kembali tekanan darah dan denyut nadi korban. Dibacanya sekilas papan catatan korban. Lelaki yang terbujur di depannya dalam kondisi mengenaskan bernama Erik, asisten teknisi kapal yang masih berusia sembilan belas tahun.

Jean mengernyit menatap pemuda itu. Separuh wajah korban dan bagian depan dari tubuh atasnya menghitam karena luka bakar. Celana jeans tiga perempat yang dikenakan lelaki muda itu terkoyak-koyak. Dia belum bisa memastikan separah apa luka bakar di tubuh pemuda itu, sebelum menyingkirkan setiap helai pakaian yang menempel.

Digantungkan papan catatan di ujung ranjang, kemudian bergerak ke arah suster pendampingnya. “Kau siap, Dwi?”

“Siap, Suster Jean,” ujar wanita muda itu, sambil memberikan sarung tangan lateks pada Jean.

Dengan cekatan, Jean dan Dwi mengambil gunting untuk membersihkan sisa pakaian yang menempel pada luka bakar. Mereka sudah diberi instruksi sebelumnya oleh para dokter mengenai apa saja yang harus dilakukan dan apa saja yang perlu dianalisa, sebelum pasien diserahkan ke bagian lain yang berkepentingan.

Mengabaikan erang kesakitan yang sesekali terdengar, mereka mendorong tubuh telanjang lelaki itu ke samping. Dwi membereskan sisa sisa pakaian di bagian belakang, sementara Jean mengambil kembali papan catatannya dan menganalisa.

Di punggung korban, terdapat beberapa luka lebam, tapi bagian itu bebas dari luka bakar. Tidak berhenti di sana, Jean mengukur posisi luka lebam dan menandainya untuk diperiksa lebih lanjut oleh dokter.

Setelah selesai, laporan hasil diagnosa para suster terhadap para korban dikumpulkan dan diberikan pada dr. James Lukas, kepala UGD. Dokter tampan lulusan Universitas Leipzig-Jerman itu memutuskan bahwa ke empat pasien harus dipindahkan ke ruangan khusus, terpisah dengan pasien lainnya. Hal ini disebabkan karena luka bakar berpotensi besar untuk terpapar infeksi, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian.

Saat itu juga, ke empat korban dipindah ke lantai berbeda dan ditempatkan dalam satu ruangan agar lebih mudah dipantau. Baru setelah makan siang, mereka melanjutkan lagi pekerjaannya. Jean dan beberapa suster diminta untuk mendampingi dokter spesialis kulit dan dokter anestesi untuk membersihkan bagian kulit yang terbakar.

Dengan teliti, kerak hitam yang berasal dari kulit yang hangus dibuang dengan cara mengguntingnya sedikit demi sedikit agar lepas dari dasarnya. Erangan masih terdengar, meskipun para korban sudah diberikan tambahan obat bius. Lapisan kulit gosong. Serpihan daging. Darah, serta cairan tubuh korban, terus merembes keluar dari pori-pori daging dan jatuh ke lantai, menimbulkan bau tidak sedap dalam ruangan.

Jean mengernyit saat menggerakkan guntingnya untuk memotong, dia dapat merasakan rasa perih yang membakar jika kulit dilepaskan dari daging. Namun, tidak ada cara lain. Ini harus dilakukan agar daging di bawahnya dapat diobati dan diberi perawatan yang sesuai agar terhindar dari infeksi, juga memberi ruang agar kulit baru dapat beregenerasi.

Pekerjaan yang sangat detil membuat Jean dan rekan suster yang menangani para korban terpaksa lembur. Mereka baru dibubarkan ketika malam menjelang.

“Kau mau pulang, Suster Jean?” tanya Dwi, rekan suster yang ikut membantu penanganan korban ledakan kapal ketika mereka berada di ruang loker.

“Tidak. Kurasa, aku akan mengambil shift dobel agar bisa cuti besok siang,” jawab Jean sambil melepaskan sepatu dan menggantinya dengan sandal.

“Oh, oke. Kalau begitu, aku duluan ya, sudah dijemput pacarku yang ganteng, nih.” Dwi tersenyum semringah sambil menarik tas kecilnya dan berjalan melewati Jean.

Sedikit rasa iri menggelayuti, ketika rekan-rekannya memilih pulang karena jarak tempat tinggal yang dekat atau ada yang menjemput. Sementara, jarak antara apartemen studio dan rumah sakit tempat dia bekerja memerlukan waktu tempuh hampir satu jam dengan kendaraan umum. Ditambah lagi, tidak ada siapa pun yang menunggunya di sana membuat Jean merasa lebih nyaman berada di rumah sakit.

Di malam hari seperti ini, rasanya Jean tidak akan mengambil resiko berhadapan dengan kriminal jalanan. Tubuhnya lelah dan pikirannya terkuras karena sajian pemandangan menjijikkan sejak tadi pagi. Sambil membasuh tubuh di kamar mandi, Jean berdoa semoga sisa waktunya hingga pergantian shift esok hari lancar dan tenang.

Jean merapatkan cardigannya, lorong rumah sakit yang sepi terasa sangat dingin pada dini hari seperti ini. Hanya ada beberapa suster jaga yang dia temui di pos-pos di belakang counter. Dia sedang menyusuri lorong ketika seseorang memanggil namanya dari jauh.

"Jean, tunggu." Laju lelaki itu berhenti tepat di depan Jean. Tatapan lembut dan seringai yang memamerkan deretan gigi putih James yang tidak tercela mengembang. “Kau mau kopi, Jean?"

Jean menyeringai, kemudian satu alisnya terangkat ketika menjawab, "Ajakan dr. James siapa yang bisa menolak? Tapi, bukankah kau seharusnya sudah pulang, James?"

"Aku?" Kedua alis lelaki itu terangkat dan membuat mimik seolah-olah tersinggung dengan pertanyaan Jean. "Mana mungkin aku pulang sebelum—"

Rasanya selalu menyenangkan berjalan bersama James sambil lelaki itu menceritakan apa saja yang sudah dilaluinya setiap hari. Tanpa ragu, James mengamit tangan Jean dan menumpangkan di sikunya.