webnovel

Masakan Istimewa

Dalam beberapa hal, seseorang memang perlu mengalah. Melakukan hal yang tak disukai sama sekali demi sebuah keinginan kuat. Dalam hal ini, Airin pasrah ditarik paksa tangannya oleh Devan keluar kafe demi satu alasan, mengetahui kabar kedua orangtuanya.

"Ngomong di sini aja."

Airin melepas pegangan tangan Devan begitu mereka berada cukup jauh dari keramain kafe.

"Nggak! Ke rumah gue aja," titah Devan tak ingin dibantah.

"Ngapain? Aku masih kerja. Nggak mungkin ninggalin tanggung jawab gitu aja!"

"Terserah. Gue ke sini bawa berita penting tentang orang tua lo. Pilihan ada di tangan lo, sih. Lo mau nurutin apa mau gue atau, lo nggak akan tau kabar dari orang yang sangat lo sayangi itu."

Airin mengelus dahinya pelan.

Begitu rumitnya berhubungan dengan lelaki di hadapannya ini.

"Mau kamu tu apa sih, sebenernya?"

"Lo budeg apa tuli? Gue bilang, lo ikutin semua keinginan gue dan gua bakalan kasih lo akses buat hubungin keluarga lo di kampung."

Kalau bukan karena harga diri, rasanya Airin ingin sekali berteriak dan menangis sejadinya. Dikekang dengan keluarga sebagai tawanannya itu sangat tidak mengenakkan.

"Oke, aku ikut. Tapi aku harus ijin sama pak Banyu dulu."

"Nggak perlu," ucap Devan kemudian kembali menarik pergelangan Airin, tanpa perduli genggamannya yang kuat itu telah menyakiti gadis desa itu.

Terlalu buruk moodnya saat ini, sehingga meskipun terasa perih dan memerah, Airin hanya diam saja. Mulutnya terlalu malas untuk dibuka dan mengeluarkan suara.

Hingga saat ia telah sampai di kediaman Devan, mata lentik itu membelalak tak percaya. Rumah itu, tak pantas jika hanya di sebut sebagai rumah, tapi istana.

Dua pilar raksasa berwarna putih dipadu lis keemasaan menyambut kedatangan mereka, semakin membuat bangunan itu terlihat megah.

Airin bahkan sampai lupa kapan terakhir kali berkedip, begitu memasuki bangunan maha indah yang ia lihat dengan mata kepala sendiri. Matanya sibuk berkeliling mengitari keindahan yang terpampang di hadapan.

Selama ini ia pikir, istana megah hanya milik seorang raja dan permaisuri di cerita dongeng saja. Namun ternyata, bangunan itu nyata adanya.

"Lo boleh berkeliling sesuka hati, lo. Gue mau mandi dulu."

Airin tak menanggapi ocehan Devan. Gadis itu masih sibuk mengamati rentetan guci antik bercorak unik yang ia yakin berharga puluhan juta, atau mungkin ratusan?

Ah, entahlah.

Kepalanya jadi pusing membayangkan rentetan angka yang ia sendiri tak pernah ia lihat wujudnya.

Atau mungkin, pusingnya itu karena terlalu banyak mendongak. Saking kagumnya ia akan bangunan bernuansa klasik tapi tetap terasa modern ini?

Mendadak kerongkongan Airin kering.

Menegak saliva pun rasanya tak mampu menghapuskan dahaganya.

Ia butuh minum.

Dijelajahinya lantai satu dari bangunan itu guna mencari dapur.

Pelan berjalan, tapi ia tak menemukan satu orang pun di sana.

Airin baru sadar, sejak pertama kali memasuki gerbang rumah Devan, ia sama sekali tak menjumpai orang lain selain pak satpam yang berdiri di pos samping gerbang tadi.

Setelahnya, tidak ada siapa siapa.

Gadis itu jadi membayangkan, bagaimana kalau keluarganya yang tinggal di sini. Ibu dan bapak yang sudah berusia senja, pasti akan nyaman dengan segala fasilitas lengkap di rumah ini. Adik adiknya, mereka tidak akan lagi bertengkar berebut kasur untuk tidur karena pasti telah tersedia banyak kamar di rumah ini.

Selepas sholat dan mengaji, keluarganya akan berkumpul di ruang keluarga. Dengan sofa empuk dan televisi super lebar yang semakin melengkapi kehangatan keluarganya.

Rumah ini jadi hidup dengan keramaian, tak lagi terasa sepi.

Sepi?

Airin jadi ingat sesuatu.

Mungkin ini alasan mengapa Devan senang mencari gara-gara dengannya. Lelaki itu, dia merasa kesepian.

Dengan kehidupan super mewahnya, dia tidak memiliki satu orangpun teman.

Mendadak, rasa iba menyentuh hati. Meskipun akhir-akhir ini Devan sudah menyusahkan nya, tapi melihat lelaki itu kesepian, jadi tak tega juga.

"Kenapa melamun? Belum pernah liat rumah semewah ini?"

Kemunculan Devan yang tiba-tiba, mengejutkan Airin. Mengembalikan pikirannya yang sempat berkelana jauh.

"Orang tua kamu di mana? Nggak kelihatan?" Meskipun sempat ragu, Airin memberanikan diri bertanya. Rasa penasarannya sudah sampai ubun-ubun.

"Mereka sibuk dengan bisnisnya masing-masing. Pindah dari satu kota ke kota lain. Jarang sekali ada di rumah."

Airin mengangguk, meskipun ia tahu Devan tak akan melihat anggukannya karena posisi lelaki itu membelakangi Airin yang sedang bersandar pada meja makan sambil memegang gelas.

"Jadi, kamu tinggal sendiri?"

"Nggak juga, ada pak Yitno yang jagain rumah ini setiap hari dan mbok Darni yang setiap pagi datang untuk berberes, kemudian pulang menjelang siang."

"Makanmu? Gimana?"

"Restoran cepat saji banyak. Gue nggak pernah musingin soal makanan, bagi gue makan itu prioritas paling akhir dalam hidup.

Airin bergeming.

Dan dalam keheningan itu, suara keroncong memalukan memberi sinyal. Membuat malu empunya cacing.

"Perut kamu bunyi. Kamu belum makan?"

Sebenarnya, Airin ingin sekali tertawa. Tapu mendengar cerita dan melihat keadaan Devan yang tinggal seorang diri membuat hatinya bersimpati.

"Mau aku masakin?"

"Nggak perlu repot. Sudah biasa seperti ini. Tinggal pesan lewat aplikasi, gampang."

"Nggak apa-apa biar aku yang masak. Terlalu sering makanan fast food juga nggak baik buat kesehatan."

Lelaki itu hendak menolak tapi, badannya sudah terlalu lemas beradu argumen dengan Airin karena sejak pagi, dia memang belum makan apapun. Hanya secangkir kopi dan beberapa lintingan bakau favoritnya.

Sambil menunggu, direbahkan badan kekarnya itu pada sofa putih di ruang tengah. Mengistirahatkan tubuh yang akhir akhir ini bekerja lebih ekstra dari biasanya. Juga hati, yang ia buat lebih tabah dari sebelumnya.

Baru saja terlelap, usapan halus di lengan membangunkan Devan dari mimpinya.

Aroma harum masakan tercium indera. Membuat cacing dalam perutnya semakin meronta-ronta, minta jatah.

"Bangun, mas Devan. Masakannya sudah matang."

Tanpa menunggu diperintah dua kali, Devan segera membuka mata. Tak sabar rasanya mencicipi masakan Airin. Apakah rasanya sama lezatnya dengan aromanya?

Airin menunggu dengan antusias. Matanya berbinar, tak sabar mendengar reaksi dan tanggapan Devan mengenai masakannya.

"Gimana, mas?"

Devan berhenti mengunyah sebentar, kemudian menatap mata Airin intens.

"Biasa aja. Nggak enak malah," sahutnya datar.

Membuat binar di mata Airin memudar seketika.

Andaikan gadis itu tahu, Devan hanya terlalu gengsi untuk mengatakan bahwa masakan yang Airin buat untuknya hari ini adalah makanan terlezat yang pernah ia makan.

Devan bahkan lupa, kapan terakhir kali ia bisa menikmati makanannya selahap senikmat seperti sekarang ini.

Dan, melihat cara makan Devan yang seperti orang kesetanan, membuat senyum di wajah Airin merekah.

Gadis itu yakin, masakan yang ia masak untuk Devan saat ini cocok dilidahnya. Hanya saja lelaki itu terlalu gengsi untuk mengakuinya.

Yah, untuk saat ini Airin harus berpura pura percaya, kalau Devan tidak menyukai masakannya.