webnovel

When Love Defeated Your Revenge

Devan Naraya, tidak pernah berpikir bahwa niatnya untuk membalas dendam pada keluarga yang telah menelantarkannya selama ini, berujung pada perasaan cinta. Perasaan asing yang selama ini tak pernah ia dapat. Akankah cinta mampu membuat Devan melupakan dendamnya?

Olil_Lia · Teen
Not enough ratings
12 Chs

Titip Rindu buat Ibu

Sudah sejak pagi raut wajahnya nampak gelisah. Bahkan ketika ia berusaha tersenyum untuk menutupi kegelisahan nya pun, itu tetap nampak jelas pada pelupuk matanya yang tak pernah dusta.

"Kamu kenapa, Rin?" tanya Ryan yang sedari tadi sudah memerhatikan gelagat aneh sahabatnya.

"Perasaanku dari semalam nggak enak, Yan," jawab Airin yang akhirnya berterus terang setelah sedari tadi selalu mengelak tiap kali ditanya kenapa.

"Mm... Kamu pasti gelisah banget, ya. Udah hampir satu minggu nggak bisa hubungi keluarga di kampung."

"Iya, Yan. Kamu tahu sendiri, kan. Jangankan seminggu, setiap hari aku nelpon Ibuk Bapak bisa nyampe belasan kali."

Ryan meski memiliki gelagat yang unik, namun mempunyai hati yang begitu peka. Itulah yang membuat Airin nyaman dekat dekat dengan pria bertubuh kekar namun gemulai itu.

"Besok, mau aku temani ketemu sama Devan?"

"Nggak perlu!"

Keduanya menoleh, itu bukan suara Airin. Melainkan seseorang yang sudah berkecak pinggang di belakang mereka, dengan tatapan yang selalu membuat nyali mereka menciut. Bagaimanapun juga, kehidupan mereka di perantauan ditentukan oleh raut muka seseorang tersebut.

"Airin biar saya yang antar. Kamu bisa lanjutkan pekerjaan sekarang." Seru Banyu menambahi.

Dari gerak geriknya, Ryan seolah ingin memprotes titah sang atasan namun, segera ditahan oleh Airin. Gadis itu tak mau kalau sampai teman baiknya itu harus terkena masalah hanya karena ingin membantu dirinya.

"Kenapa? Sudah sana balik ke dapur!" Perintah Banyu sekali lagi, yang akhirnya dituruti oleh Ryan dan segera meninggalkan Airin berdua bersama Banyu, meski dengan ekspresi menahan sebal.

"Airin, biar saya antar kamu temui Devan," kata Banyu sesaat setelah Ryan menjauh dari mereka.

"Nggak perlu, Pak. Terima kasih. Nanti biar saya jalan sendiri aja ketemu Pak Devan," tolak Airin.

"Nggak usah nolak! Memang kamu tahu kemana kamu mau temui dia?"

Airin celingukan. Benar juga.

Beberapa kali bertemu Devan di kafe ini dan satu kali tak sengaja berpapasan di dalam angkutan.

Terus, kemana Airin harus mencari keberadaan Devan?

"Kenapa diam? Sadar kan sekarang, kalau kamu nggak punya alasan lagi buat nolak?"

Meski dengan berat hati, pada akhirnya Airin mengangguk juga.

"Baiklah. Saya nanti ikut Bapak."

"Kenapa harus nanti? Ayo, kita temu Devan sekarang!" Ajak Banyu yang tanpa permisi langsung menggandeng tangan Airin.

Sayangnya, gadis itu tak merespon dengan baik dan justru mengentakkan tangannya hingga lepas dari pegangan.

Setelahnya, gadis itu sibuk memutar kepala mengitari setiap sudut kafe.

"Ada apa, Rin?" tanya Banyu yang heran dengan sikap Airin.

Airin menunduk sejenak. Yang membuatnya menolak ajakan sang atasan adalah karena gunjingan dan cibiran tentang dirinya dari beberapa karyawan lain yang akhir-akhir ini mengusik telinganya.

Beberapa karyawan menyebutnya cari muka dan cari simpati pada Banyu. Menjual kesedihan agar atasan mereka iba dan melakukan apa saja untuk Airin. Licik. Kata mereka.

Sebenarnya, Airin bukanlah tipe gadis yang terlalu pusing memikirkan pendapat orang lain. Namun kali ini berbeda.

Rumor negatif yang menyebar kali ini juga bisa berdampak pada Banyu, atasan yang selalu baik terhadapnya.

Ia tak mau kalau predikat 'Bos pilih kasih' menempel pada nama baik Banyu.

Airin percaya, pria itu sebenarnya memanglah pria yang baik. Hanya saja, caranya menyampaikan niat baiknya selalu dibungkus dengan ketegasan dan disiplin tinggi yang mungkin tidak semua orang dapat menerimanya.

"Maaf, Pak. Ini masih jam kerja. Saya nggak mungkin ninggalin tanggung jawab begitu saja," jawab Airin mencari alasan yang tepat.

"Kamu tenang saja. Kamu nggak akan dapat sanksi atau skorsing kali ini, karena saya yang ngajak kamu keluar."

"Enggak, Pak, maaf."

Sekali lagi Airin mengayunkan tangannya, menghindari tangan Banyu yang hendak meraih pergelangan.

Banyu mengembuskan napas, masih belum menyerah.

"Bagaimana kalau ini perintah? Kamu ikut saya atau, gaji kamu saya potong setengahnya karena sudah berani membantah perintah saya?"

'Sial!'

Umpat Airin dalam hati.

Persoalan gaji adalah hal yang paling vital bagi gadis itu. Apalagi sekarang ini ia sedang butuh uang banyak untuk mengganti rugi ponsel Devan yang rusak karenanya.

"Gimana? Udah, nggak perlu kebanyakan mikir lagi. Kita berangkat sekarang juga, yuk!"

Pasrah Airin pada akhirnya ketika Banyu menyeretnya keluar kafe, meski langkahnya begitu berat.

Sepertinya dia harus menyiapkan mental yang lebih tangguh untuk menghadapi hari esok.

Akan tetapi, belum genap sepuluh langkah mereka berjalan, seseorang berdiri persis di hadapan keduanya. Menghalangi langkah Banyu yang berada di barisan depan dengan tangan yang masih menggandeng erat tangan Airin.

"Kalian mau ke mana jam kerja begini?"

Airin yang semula tertunduk lesu, kini kembali menengadahkan kepalanya mendengar suara sopran yang familiar itu.

Dilihatnya orang yang sangat ingin sekali ia jambak rambutnya sampai rontok, tengah berdiri angkuh sambil bersedekap.

Alisnya terangkat bergantian, begitu pandangan keduanya beradu pada satu garis lurus.

"Bukan urusan kamu," Ujar Banyu tak kalah sinis, namun hanya dibalas senyum separo oleh sang lawan bicara.

"Kamu kenapa sih, Nyu? Kenapa jadi sinis begitu sama aku? Bukannya kita ini sahabatan?"

Sebuah pernyataan yang turut menyentil otak kecil Airin.

Benar juga.

Kenapa Banyu tiba-tiba jadi sensi dan bersikap defensif terhadap Devan? Bukannya, sebelum ini mereka baik baik saja?

Tentu saja pertanyaan Devan itu bukan pernyataan yang sebenarya melainkan sebuah umpan, dan berhasil. Banyu terdiam tak mampu menjelaskan.

Sikapnya yang begitu terlihat melindungi Airin dari Devan, pasti membuat Airin bertanya-tanya.

"Iya, Pak. Pak Banyu nggak perlu sebegitunya membela saya. Saya berterima kasih atas perhatian pak Banyu tapi maaf, Pak, urusan ini biar menjadi urusan saya dengan Pak Devan. Bapak nggak perlu ikut campur terlalu dalam."

Rentetan kalimat menohok yang seketika membuat Banyu terdiam dan langsung melepas pegangan tangannya.

Sementara Devan semakin merasa di atas awan. Dia menang kali ini.

"Nah, sekarang daripada kamu repot repot pergi ninggalin kafe yang lagi rame ini, mending sekarang kamu masuk, Nyu. Kamu keluar buat antar Airin nemuin aku, kan?"

"Iya, Pak. Tolong ijinin saya ngobrol berdua sama pak Devan. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan," pinta Airin menambahi.

"Tapi, Rin..."

"Saya mohon, Pak. Sebentar...saja."

"Baiklah. Saya ijinkan kalian bicara sebentar. Tapi tidak lebih dari setengah jam."

"Baik, Pak."

Cukup lama Banyu menatap Devan dan Airin bergantian.

Ternyata begini rasanya menelan kekalahan.