webnovel

Veintiséis (Dua Puluh Enam)

Sebuah angka dan guratan takdir mempertemukan Catur dan Allea. Meski dalam keadaan yang tidak terlalu baik, ternyata keduanya pernah memiliki ikrar janji yang sama sama dilupakan.

SkylaMaryam · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
13 Chs

Delapan

'Catur... Belajar bareng, yuk.'

Dengan lincah dan tanpa beban, jemari Allea mengetikkan pesan kepada Catur. Ia masih terlentang di tempat tidur bahkan belum mandi. Namun, rasa sepi yang menyerang membuat ia mencari cara untuk membuat dirinya tidak bosan. Terdengar aneh mungkin, sejak kapan belajar bisa menjadi healing rasa bosan.

'Maaf, Lea. Hari ini ada janji antar ibu belanja.'

Ternyata Catur membalas dengan cepat. Sayangnya, jawaban itu hanya memudarkan binar bahagia di wajah Allea.

'Ok then.' Allea membalik posisi ponsel dan badannya. Ia tidak mau kalau harus belajar sendiri. Iya sih, ia cukup mampu memahami materi Fisika, bahkan ia sempat membaca materi kelas 12 dan ia paham. Tapi, belajar sendiri saat ia bosan sebosan-bosannya, jelas tidak ada dalam agendanya.

Beberapa saat kemudian terdengar pesan masuk. Dengan malas Allea meraih ponselnya. Ia yakin bukan Catur yang mengirim pesan. Namun, ketika membaca nama yang muncul di layar ponselnya, ia langsung terlonjak. Tidak hanya itu, ia pun duduk dengan tegak seolah pesan dalam ponselnya harus diperlakukan dengan sopan.

'Sibuk, nggak? Jalan, yuk'

Pesan dari Kak Rey membuat Allea melesat ke kamar mandi dan memilih aroma sabun apa yang akan ia pakai.

Seperti itu lah triknya. Allea baru membalas pesan dari Kak Rey setelah ia selesai mandi. Sengaja ia melakukannya agar tidak terlihat begitu antusias dengan ajakan tersebut. Andai Kak Rey tahu, Allea bahkan sudah menyiapkan pakaian terbaik saat ia membalas pesan cowok pujaannya.

'Aku jemput ya. Share lock ya, Allea'

'Iya, Kak.'

Allea melompat-lompak kegirangan. Ingin sekali ia berterima kasih kepada Catur karena lebih memilih mengantar ibunya belanja daripada belajar bersama. Kalau saja mereka belajar sekarang, ia pasti akan dilema saat Kak Rey mengajak berkencan.

Oh, bukan Allea, ajakan Kak Rey belum bisa disebut kencan.

Ketika Kak Rey mengabari bahwa ia sudah sampai di depan rumahnya, Allea tidak bisa menyembunyikan pipinya yang mengambang karena bahagia.

"Mau ke mana?" Suara Om Andre langsung merusak moodnya.

"Main," jawab Allea sambil berlalu.

"Sama Catur?" tanya Om Andre sambil mengikuti Allea.

Allea berhenti lalu membalik badannya, "Iya." Ia kembali berjalan dan berhenti lagi ketika Om Andre masih saja mengikuti. "Jangan ikuti aku lagi." Allea berlari menuju pintu.

Sesampainya di depan pagar rumah, Allea langsung membuka pintu mobil dan masuk tanpa permisi. Ia menghela napas lega lalu menoleh ke arah Kak Rey. "Maaf, Kak."

"Padahal aku mau pamit sama ayah kamu," kata Kak Rey sambil memandang ke arah rumah Allea.

Sontak Allea pun ikut menoleh dan didapatinya Om Andre tengah membuka pagar. Ketika jendela mobil dibuka oleh Kak Rey, Allea langsung berteriak, "Jangan dibuka!"

Tangan Kak Rey pun berhenti lalu menatap heran ke arah Allea. "Ada apa? Kamu kenapa?"

Allea bingung harus menjelaskan seperti apa. Karena kenyataannya, meskipun ia menyukai Kak Rey, ia merasa tidak bisa sebebas bercerita seperti kepada Catur.

Mendadak ia merindukan sosok penolongnya itu.

-OoO-

Kedua tangan Catur menjinjing kantong kertas berisi belanjaan ibunya. Kalau bukan karena takut dicap anak durhaka, ia paling malas pergi ke mall. Meskipun tidak penuh sesak, malah cenderung sepi, ia tidak suka ruangan luas ber-AC. Andai saja Allea mengajaknya belajar bersama terlebih dahulu sebelum ibunya meminta diantar ke mall, pasti ia tidak akan berjalan pegal di sini.

"Habis ini, kita makan dulu ya, Sayang," ajak ibunya.

Catur tidak mengangguk maupun menggeleng. Ia rasa, tidak menjawab pun, ibunya akan tetap menyuruhnya ikut.

"Ibu mau cari sepatu di sini. Kamu mau masuk?"

"Aku tunggu di luar aja, Bu." Seperti biasa, Catur memilih untuk berdiri di luar toko sambil memainkan ponselnya.

Setelah sedari tadi ia bermain game tiap kali menunggu ibunya berbelanja, kali ini entah mengapa ia mengetik nama lengkap Allea di laman pencarian Google. Ketika menemukan akun Instagram cewek itu, tanpa ragu ia pun meng-klik dan mulai berselancar, memandangi satu per satu foto yang dipost di feed. Semua caption yang ditulis di setiap postingan, membuat Catur tertarik. Pasalnya, kata-kata bijak dan puitis, terangkai dengan rapi. Catur baru tahu kalau Allea ternyata pandai bersajak.

Mata Catur lelah karena ratusan foto yang ia pandangi. Ia pun melihat ke sekeliling. Sempat ia menengok ke arah toko. Ternyata ibunya masih asik mencoba sepatu. Ketika ia kembali melihat ke segala penjuru lantai 2 mall tersebut, tatapannya terhenti karena sosok yang sedari tadi memenuhi pikirannya, nampak jelas melintas di hadapan.

Allea, berjalan sambil tertawa renyah dan melewat di depan Catur. Cewek itu terlalu asik dengan seseorang di sampingnya sehingga benar-benar tidak mengetahui bahwa Catur ada di depannya.

Tatapan Catur terus tertuju kepada mereka berdua. Ia tidak kenal cowok di samping Allea. Bila boleh menebak, mungkin itu yang namanya Kak Rey, cowok yang digilai oleh Allea.

Ketika mendapati Alle berbelok ke arah toilet, Catur berjalan cepat menuju toilet tersebut. Ia ingin bertemu dengan Allea.

-OoO-

Ketika merasa rambutnya mulai kusut dan perlu touch up, Allea pamit menuju toilet. Ia pun mengeluarkan perlengkapan dari pouch yang dibawanya. Sebenarnya tidak perlu waktu lama untuk sekadar merapikan rambut dan make up-nya. Namun, ia ingin sangat terlihat sempurna di hadapan Kak Rey.

Setelah merasa lebih percaya diri, Allea berjalan ke luar dari toilet. Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika sepasang sepatu yang ia kenal, menahannya.

Mata Allea menelusuri dari kaki sampai atas untuk memastikan bahwa seseorang yang ada di hadapannya memang benar orang yang ia kenal.

"Catur?"

Kalau saja cowok yang baru saja dipanggil oleh Allea menyadari rona bahagia dari wajah cewek tersebut, mungkin tidak akan sampai ia berkata,"Katanya mau belajar, kenapa malah ke mall?"

"Hah?" Allea terheran dengan sapaan tidak ramah yang ditujukan padanya. "Kan kamu bilang nggak bisa belajar bareng."

"Ya terus, kenapa nggak belajar sendiri duluan. Kalau ada yang nggak kamu ngerti, kan bisa kamu catat terus nanti kita bahas bersama." Catur masih tidak mengubah nada bicaranya yang dingin dan ketus.

Jelas saja itu membuat Allea semakin bingung. Ia pun kini hanya terdiam. Baru kali ini ia tidak bisa menjawab apa yang diujarkan oleh Catur.

"Allea, udah ke toiletnya?"

Kehadiran Kak Rey membuat Allea dan Catur menoleh. Allea langsung gagap untuk menjawab. Ia hanya menanggapi dengan berjalan menghampiri Kak Rey.

"Aku duluan ya, Catur," ujar Allea. Ia berbalik badan tanpa menunggu tanggapan Catur.

-OoO-

Catur mengendarai mobilnya dengan kencang. Ia sampai lupa bahwa dirinya tidak sedang sendiri. Sontak ibunya mengomel dan meminta Catur untuk pelan saja agar lebih hati-hati. Tersadar karena teguran ibunya, ia pun lebih mengontrol kemudinya.

Tidak ada logika yang bisa menjelaskan mengapa ia teramat kesal ketika melihat Allea tengah berjalan dengan Kak Rey. Meskipun ia sadari, pernyataan bodoh yang dilontarkan ketika berhadapan dengan Allea sungguh membuatnya menyesal. Dirinya lah yang tidak bisa menemani Allea belajar bersama. Lantas, mengapa harus marah kepada Allea yang memilih pergi berjalan-jalan.

"Catur, awas!" teriakan panik ibunya berhasil membuat Catur menginjak pedal rem. Hanya tinggal beberapa senti lagi, mobilnya bersentuhan dengan truk besar yang ada di depan.

"Kamu kenapa sih, Le? Dari tadi kayak yang kesel. Sepanjang jalan terus melamun," tegur ibunya.

Bukan tidak ingin menjawab pertanyaan ibunya, justru ia sendiri pun bingung. Ada apa sebenarnya dengan dirinya?