webnovel

Tsabitha Penyihir Berdarah Campuran

12 tahun yang lalu seperti mimpi buruk seumur hidupku. Meski sudah begitu lama, bayangan itu masih sangat jelas. Tepat saat peluru menembus kepala temanku, lalu dia terjatuh di depanku. Bingung, takut, dan entah perasaan apa lagi yang bercampur aduk di kepalaku. Aku tidak tahu harus bagaimana saat itu, hanya menangis. Setelah 12 tahun kejadian itu berlalu, setiap kali bayangan itu muncul, perasaan yang sama masih aku rasakan. Aku seolah tidak bisa mengubah apa pun, meskipun kejadian itu berulang kali terjadi di depanku. . . Aku menyusuri jalan setapak menuju bagian ujung. Dingin dan gelap tanpa penerangan, ditambah dinding kayu yang dibuat mengitari tempat ini menghalangi cahaya luar yang masuk. Sesampainya di satu bagian aku meletakkan buket lily putih yang sudah aku bawa, tepat di atas sebuah batu marmer putih bertuliskan nama ‘Zie’. “Aku pulang,” lirihku. Aku duduk di sampingnya, mengeluarkan beberapa kue dan dua buah susu kotak kesukaan kami. “Bagaimana keadaanmu di sana? Apa kamu baik? Apa kamu makan teratur?” aku mengusap nisan itu lembut. “Tunggu aku,” bisikku. ____________________________ Tsabitha And The Naughty Cat ************************ Updates at 08.00, 11.00 dan 20.00 WIB ************************ #Meet me on instragram: bluehadyan

dewisetyaningrat · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
401 Chs

Ayah

Hari itu, setelah menemui tuan Oka, perjalanan kami untuk mencari Zarina dimulai. Nama itu cukup familiar untukku, namun aku tidak kunjung mengingat dimana aku pernah mendengarnya.

"Apa Zarina itu orang yang dikucilkan?," tanyaku pada Kerberos. Aku sepertinya pernah mendengar nama itu sewaktu masih kecil, "Kenapa kamu bilang mencarinya akan sulit?,".

"Zarina sangat sering berpindah tempat, karena itu mencarinya akan sangat sulit. Banyak orang yang tidak menyukainya, meskipun sebenarnya dia orang yang baik," Mickey seperti sedang mengingat-ingat sesuatu, "Dulu, tuanku berteman baik dengannya, bisa dikatakan cuma Zarina yang akan datang saat tuan mengalami kesulitan," dia menghela nafas panjang, "Meskipun kita mengatakan 'Jangan nilai buku dari sampulnya', nyatanya, sebagian besar orang memang akan menilai buku dari sampulnya. Mereka akan lebih tertarik pada buku yang bersampul bagus dibandingkan sebaliknya,".

"Dia adalah seseorang yang unik," Kerberos menambahkan, "Di dunia bawah pun, dia sangat terkenal, namun sayangnya dia memiliki luka di wajahnya yang agak mengerikan. Seperti yang dia katakan," ucapnya sambil melirik Mickey, "Jika nona bertemu dengannya, maka nona akan langsung menyukainya. Dia sabar dan baik untuk seseorang yang berasal dari kelompok penyihir hitam. Dia juga istimewa karena dapat menguasai berbagai mantra dengan sangat cepat,".

Kami berhenti di salah satu kedai yang tak jauh dari tempat wisata yang kami lewati sebelumnya saat turun dari bis. Mendiskusikan bagaimana rencana kami untuk bisa sampai ke lokasi yang Kerberos ketahui sebagai tempat tinggal Zarina terakhir kali. Hampir 30 menit aku mencari di internet menggunakan kata kunci yang Mickey berikan, namun hasilnya masih nihil. Petunjuk dari kucing gembul itu mengacu pada suatu wilayah yang ditampilkan sebagai hutan, anehnya, dia terus mengatakan bahwa tempat itu adalah sebuah kota.

Kerberos yang hanya mendapatkan informasi itu dari temannya juga merasa bingung, karena dia belum pernah kesana. Dan kini, aku mengkhawatirkan hal lain. Lokasi itu sangat jauh, rasanya cukup mustahil bisa pergi kesana dengan bekalku yang pas-pasan.

Aku hanya bisa menghela nafas panjang, ketika Mickey dan Kerberos terus berdebat dan tidak ada yang membantuku berpikir bagaimana caranya bisa kesana. Sesaat, terlintas hal gila dalam pikiranku, saat aku mengingat anjing putih itu pernah berubah menjadi sangat besar untuk melawan bola-bola api di kereta.

"Kerberos", ucapku, menginterupsi perdebatan mereka. Ketika dua makhluk itu melihat ke arahku bersamaan, aku mengutarakan sesuatu yang menjadi beban pikiranku, "Aku mau bilang, sebenarnya aku tidak punya uang banyak," aku berusaha memberinya penjelasan, "Dan, tempat itu sangat jauh. Maukah kamu membawa kami kesana?," anjing putih itu terlihat bingung, "Maksudku, bisakah kamu memberi kami tumpangan?," jelasku, memasang wajah memohon.

Mickey tertawa terbahak-bahak, meski sepertinya Kerberos tidak memahami maksudku, "POOR DOGGY!," ucapnya mengejek, "Bung, tak perlu memikirkan hal itu," dia berjalan mendekat, "Serahkan semuanya pada kami," si abu-abu gembul itu mengibaskan ekornya, "Ada penyihir kucing hebat dan asistennya, jangan sia-siakan uangmu," ucapnya sambil melirik anjing putih itu.

Kerberos yang baru memahami ucapan Mickey, menyalak keras hendak melumat si kucing gembul yang usil.

Dari sekian banyak hal yang sudah manusia lihat dan ketahui, ada lebih banyak sesuatu di dunia ini yang masih menjadi misteri. Salah satunya adalah makhluk mitologi seperti Kerberos. Namun diluar sana, ada lebih dari satu atau dua jenis dari mereka yang berkeliaran.

Beberapa lebih memilih bersembunyi untuk tidak menarik perhatian manusia. Ada yang membaur tanpa pernah diketahui oleh orang awam manapun dan yang lainnya, memang tidak pernah sempat terpikirkan oleh kita bahwa makhluk seperti mereka ada di dunia ini.

Orang-orang sering menyebutnya burung batu, karena warna abu-abunya yang menyerupai bebatuan. Ukurannya tak lebih besar dari burung pipit dengan warna abu terang dan kaki hitam. Mereka sering membuat sarang dan bertelur di rerumputan kering, mungkin pernah hinggap di atap rumah atau pohon di halaman. Matanya berwarna merah cerah dengan paruh kelabu, tapi lebih gelap dibandingkan warna bulu di tubuhnya.

2 jam yang lalu, kami naik bus menuju tempat yang Mickey katakan. Itu adalah sebuah pedesaan yang cukup jauh dari kota. Kucing itu mengatakan bahwa dia telah membeli 5 ekor burung batu untuk membantu kami. Aku awalnya tidak mengerti kenapa kami harus menggunakan burung-burung itu. Hingga salah satu dari mereka hinggap di depan kami, setelah itu dia terbang tinggi ke langit.

"Mereka akan berjaga di sekitar kita," ucap Mickey.

"Gendut, dari mana kamu dapat uang untuk membeli? Aku tahu menyewa mereka saja sangat mahal dan sekarang, kamu justru membelinya," tanya Kerberos penasaran.

Mickey menatap Kerberos dengan tatapan benci, "Aku ini sangat berguna, tahu!. Bukan hanya kamu saja yang bisa berkelahi dengan bola api, aku juga bisa," jawabnya jengkel, sambil pergi dengan mengibaskan ekornya.

Aku memperhatikan sekitar dan benar saja, mereka ada disekitar kami. Beberapa hinggap di atap dan ada yang berada di tanah sambil memakan biji rumput yang tumbuh liar di tepi jalan.

Kami berjalan menyusuri jalan setapak yang berdebu setelah turun dari bus yang kami tumpangi. Aku tidak pernah membayangkan jika tempat yang aku kunjungi saat ini, sungguh ada di dalam Euron. Mereka seperti terabaikan oleh peradaban.

Rumah-rumah dibangun dengan berjejal dan dinding yang terbuat dari bilah kayu tipis atau karton. Atapnya terlihat miring di beberapa bagian. Aroma busuk dari sanitasi yang buruk, akan segera kamu cium saat sampai ditempat ini. Di setiap rumah, dapat kamu jumpai gundukan arang atau sisa batu bara bekas pembakaran yang dibiarkan begitu saja.

Mickey berjalan di depan dan Kerberos mengikuti di belakangku. Malam itu, awan sedang mendung dengan sesekali rintik hujan. Kami berjalan pelan dengan waspada. Beberapa orang yang kami jumpai, melihat dengan tatapan yang kurang mengenakkan. Aku berusaha mengabaikannya dan terus berjalan.

Hingga saat itu, samar aku mendengar suara langkah yang mendekat. Refleks aku mempercepat langkahku, dan tanpa kusadari, aku sudah mendahului Mickey.

Kerberos mengejarku, ketika menyadari langkahku semakin cepat, "Kenapa?," tanyanya.

"Ada yang mengejar, di belakang," jawabku cepat.

Dan seketika itu juga, Kerberos memutar langkahnya untuk menjemput Mickey. Anjing putih itu menggigit tengkuk kucing yang tertinggal jauh dibelakang, saat kami dalam pelarian ini. Sembari berlari, si gembul abu-abu mengarahkan kami untuk memilih jalan yang harus kami lalui.

Di luar pemukiman itu terdapat jalur kereta yang terbengkalai. Mickey meminta kami mengikuti rel itu, hingga menemukan sebuah jembatan. Kami segera mempercepat langkah.

Saat kami tiba di sebuah jembatan, kami tidak lagi bertiga. Ayahku berdiri di sana dengan seorang wanita yang aku lihat di malam saat aku mengambil tasku, sebelum pulang ke Euron.

"Kamu kemanakan boneka itu? Kenapa sejak kecil, kamu selalu menyusahkan ku?," teriaknya seperti orang gila.