Dengan langkah gontai Aslan kembali ke sasana milik Bang John. Ia membuka pintu sasana yang gelap gulita dan segera menyalakan lampu. Begitu lampu menyala, ia melihat Bang John yang sedang duduk di sofa usangnya. Bang John segera menoleh pada Aslan.
"Gue tadi liat lu sama Ucok," ujar Bang John pelan. "Gue juga udah liat keadaan Ucok di klinik. Kayanya dia ngga bisa latihan tinju untuk sementara, buat gerakin tangannya aja dia ngga bisa."
Aslan tanpa sadar langsung menjatuhkan tas olahraga yang ia bawa dan melorot di lantai. Ia menatap nanar Bang John sembari menggeleng pelan. "Ngga mungkin."
Bang John mengangguk. "Itu mungkin, karena cedera kepalanya lumayan parah."
"Ngga, ngga mungkin," ujar Aslan tidak percaya.
Bang John berdiri dan berjalan menghampiri Aslan yang membeku di tempatnya.
Aslan terus menatap nanar ke arah Bang John. "Ngga mungkin, Bang." Ia memundurkan langkahnya ketika Bang John semakin mendekat.
"Aslan," ujar Bang John pelan.
Aslan bangkit berdiri. "Gue ngga bisa diem aja," sahut Aslan. Ia langsung berbalik arah dan berjalan cepat meninggalkan sasana.
"Aslan!" Bang John mengejar Aslan yang berjalan keluar sasana.
Aslan tidak menoleh. Ia terus berjalan ke arah motornya. Dengan emosi yang meletup-letup Aslan menaiki motornya.
Bang John tiba-tiba menarik lengan Aslan. "Lu mau ngapain?"
Aslan menepis lengan Bang John dan menyalakan mesin motornya. Bang John tidak kehabisan akal dan langsung mencabut kunci motor Aslan. Begitu mesin motornya kembali mati, Aslan menoleh pada Bang John. "Jangan halangin gue, Bang," ujarnya dengan tatapan penuh amarah.
Bang John menghela napasnya. "Lu mau kemana? Ini udah malem. Lu juga perlu istirahat."
Aslan menengadahkan tangannya dan meminta kembali kunci motornya. "Kunci motor gue, Bang."
Bang John menggeleng. "Ngga."
"Please, Bang," pinta Aslan.
"Gue ngga mau lu cari masalah," sergah Bang John.
Aslan menghela napas berat. Ia menatap Bang John dengan tatapan letihnya. "Gue ngga bisa diem aja, Bang. Kalo gue diem aja, semuanya jadi terasa berat disini." Aslan menunjuk dadanya.
Bang John terperangah menatap mata Aslan. Ia bisa melihat tatapan Aslan yang penuh luka dan penyesalan. Bang John akhirnya pasrah dan menyerahkan kunci motor Aslan.
Aslan kembali menerima kunci motornya. "Thanks, Bang." Ia langsung menyalakan mesin motornya dan pergi meninggalkan Bang John yang masih berdiri mematung memandangi kepergian Aslan.
-----
Aslan mengendarai motornya tak tentu arah. Sudah beberapa kali motornya melewati klinik tempat Ucok dirawat. Berulang kali ia berhenti di depan pintu masuk klinik, namun ia tidak berani untuk melangkah masuk. Sampai pada akhirnya ia kembali berhenti di depan pintu masuk klinik dan memutuskan untuk masuk.
Ia akhirnya masuk ke dalam kamar rawat Ucok. Dari balik gorden yang memisahkan ranjang Ucok dengan ranjang pasien lainnya, ia mendengar suara seorang wanita yang sedang terisak. Aslan mengintip sedikit ke balik gorden dan melihat seorang wanita hamil sedang duduk di samping tempat tidur Ucok. Dadanya semakin sesak melihat pemandangan tersebut dan ia hanya bisa berdiri mematung di balik gorden.
Tiba-tiba wanita yang duduk di sebelah Ucok muncul dari balik gorden dan melihat Aslan yang sedang berdiri mematung. Aslan terperangah menatap wanita tersebut.
"Bang Ucoknya lagi istirahat," ujar wanita tersebut pada Aslan.
Aslan mengangguk ragu. Wanita itu kemudian tersenyum dan berjalan pergi.
Sepeninggal wanita tersebut, Aslan berdiri di ujung tempat tidur Ucok dan hanya bisa terdiam memandangi Ucok yang sedang terbaring lemah. Ia tertunduk dan tangannya bergetar sambil berpegangan pada ujung tempat tidur.
"Pacar gue udah balik, ya?" tanya Ucok tiba-tiba.
Aslan mengangkat wajahnya dan memandangi Ucok yang kini sedang menatap ke arahnya. "Cewek barusan?"
Ucok mengangguk lemah.
"Barusan dia keluar," ujar Aslan. "Cok," guman Aslan.
"Ini bukan salah lu, Lan," ujar Ucok. "Gue sendiri yang udah nerima tawaran dari Bang Ole." Ia tertawa pelan sembari meringis menahan sakit. "Tadinya gue butuh uang itu buat ngelamar cewek gue. Tapi sekarang--" Ucok menghela napas panjang. "Gue udah bener-bener kalah. Dia kesini cuma buat pamitan."
Aslan mendekat ke kepala tempat tidur Ucok. "Harusnya lu kasih tahu gue, Cok."
Ucok menggeleng. "Masa gue mau ngelamar cewek duitnya minjem sama lu."
"Kalo lu bilang, gue bisa ngalah sama lu biar lu dapetin uang itu," sahut Aslan.
"Gue ngga tahu kalo gue bakal ngelawan lu. Bang Ole bilang lawannya dia pilih acak," terang Ucok. "Lagipula kalo lu sengaja ngalah, sama aja gue ngutang sama lu. Paling ngga dengan begini gue tau, gue masih perlu latihan lagi." Ucok mencoba tersenyum pada Aslan. Kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya tak ubahnya hanya sebuah cara baginya untuk menghibur dirinya sendiri.
"Gue udah tahu keadaan lu dari Bang John," ujar Aslan. "Semuanya salah gue."
"Gue sendiri yang mutusin buat ikut, kalo akhirnya gue jadi begini, mau gimana lagi, ini resiko yang harus gue tanggung. Gue juga ngga bisa nyalahin lu," ujar Ucok.
"Tapi, lu jadi kaya gini gara-gara gue. Gue yang udah bikin lu jadi kaya gini. Harusnya gue bisa ngontrol tenaga gue waktu ngelawan lu." Lengan Aslan mengepal menahan amarah.
Ucok menggeleng. "Jangan salahin diri lu. Ini bukan sepenuhnya salah lu."
Ucapan Ucok semakin membuat Aslan tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. "Lu mending salahin gue, Cok. Gue ngga bisa maafin diri gue sendiri."
"Gue ngga bisa nyalahin lu buat kesalahan yang gue bikin sendiri," sahut Ucok.
Aslan bergetar dan kehabisan kata-kata. Ia menghela napas panjang kemudian berjalan pergi meninggalkan Ucok. Separuh dirinya ingin bertukar tempat dengan Ucok. Setidaknya dirinya tidak punya siapa-siapa yang bergantung padanya. Tidak ada kekasih yang sedang hamil dan menunggunya untuk bertanggung jawab. Ia bahkan tidak punya keluarga yang masih mengingatnya, seperti dirinya yang mengingat mereka. Semua perasaan itu semakin membuat dadanya sesak.
-----
Aslan kembali mengendarai motornya. Kali ini dengan kecepatan yang sangat tinggi. Jalanan kota yang sepi di tengah malam membuatnya leluasa untuk memacu motornya. Begitu motornya tiba di daerah pesisir utara Jakarta, ia menghentikan motornya dan berjalan ke ujung dermaga.
Di sana, Aslan duduk terdiam di ujung dermaga sambil memeluk kakinya. Di tengah suara debur ombak dan dinginnya angin laut, Aslan terisak dalam diam sambil meratapi air laut yang mulai pasang.
-----
"What's wrong?" tanya Nadia yang menyadari Leon seperti sedang merasa tidak nyaman.
Berulang kali Leon mengendurkan dasinya.
"Kalo lu ngga enak badan, gue bisa cancel pertemuannya," ujar Nadia.
Leon menggeleng. "No, I'm fine. Cuma ngerasa--" Ia kembali melonggarkan dasinya. Rasanya ia seperti sedang tercekat. Matanya tiba-tiba menangkap pantulan wajahnya di kaca spion mobil. Ia terdiam sejenak ketika melihat pantulan wajahnya.
"Sure?" sela Nadia. Sedari tadi ia sudah menyadari gelagat aneh Leon.
Leon Terkesiap dan segera mengalihkan perhatian dari kaca spion. Ia menganggukkan kepalanya. "Yeah, sure." Ia menghela napas panjang dan bersandar sambil memperhatikan deretan gedung-gedung yang ada di luar mobilnya.
*****
Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys
and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist yang berisi musik yang saya putar selama menulis cerita ini.
Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.
Hello pembaca sekalian, Terima Kasih sudah membaca karya kedua saya, hope you guys enjoy it..
Jangan lupa masukkan ke collection kalian untuk update chapter berikutnya. Sekali lagi Terima Kasih atas dukungan kalian.. ^^