Dalam keremangan di sebuah ruangan berpetak sempit berdiri seorang pria paruh baya. Wajahnya yang pucat dan kaku tersorot oleh cahaya lampu kemerahan dari langit-langit ruangan. Sorot matanya dingin dan bengis.
Sebilah pisau tajam tergenggam di tangan kanannya, darah segar menetes dari ujung pisau itu.
Tak sampai satu kaki jaraknya, Seorang wanita bersimpuh dihadapannya.
Borgol besi mengunci kedua lengannya. Wajahnya lusuh dan tampak mengerikan oleh darah segar yang mengalir deras dari pelipisnya. Sekujur tubuhnya penuh luka dan lebam. Kondisinya buruk sekali sehingga suatu kejutan melihat dia tidak meringis kesakitan, hanya deru nafas berat yang terdengar.
Pria itu melangkah dengan angkuh, mempersempit jarak diantara mereka, lalu dia bersimpuh persis dihadapan wanita itu. "Aku tahu anak itu masih hidup. Katakan padaku, dimana dia?!"
Wanita itu bergeming, tak membuat satu gerakan pun.
Pria itu menjambaknya dengan kasar, memaksa wanita itu untuk mendongak menatapnya. "Aku tanya sekali lagi, dimana gadis itu?!"
Wanita itu masih bergeming. Mulutnya terkatup rapat seolah dipoles perekat tak kasat mata di bibirnya. Iris mata hitam kelabunya balas memandang datar pria keji dihadapannya, ekspresinya tenang, hampir tak acuh.
Tanpa perasaan dan empati sedikit pun Pria itu menamparnya keras, sampai leher wanita itu nyaris patah, darah kembali mengucur deras dari pelipisnya.
Melihat 'mangsanya' yang masih bergeming tidak acuh membangkitkan kemarahan pada pria itu. Matanya yang sehitam tinta berkilat-kilat berbahaya seperti serigala yang siap menerkam mangsanya.
"Katakan padaku, Avery!" katanya penuh penekanan. "Kalau kau tak mau nyawamu sebagai bayaran dari kebungkamanmu!"
Seakan belum puas, Pria itu menempelkan bilah pisaunya di pipi wanita itu, dan menyayatnya perlahan-lahan seakan mengiris sepotong daging. Seringai muncul di sudut bibirnya ketika melihat cairan merah kental yang mengalir perlahan dari kulit lusuh Avery. Tak ada belas kasih pada sorot matanya, melainkan tatapan yang haus akan darah.
Pria itu mendekatkan wajahnya pada telinga Avery. "Katakan padaku, dimana gadis itu," desisnya dengan suara rendah berbahaya—tangan kanannya bergerak mengarahkan pisaunya tepat di dada kiri wanita itu, "maka pisau ini tidak akan bersarang di jantungmu!"
Dan Untuk pertama kalinya wanita itu membuka mulutnya.
"Lakukanlah, aku tetap tidak akan mengatakannya, bahkan jika nyawaku sebagai bayarannya." Tak ada rasa takut sedikit pun dalam sorot matanya, dan tidak sekali pun dia meringis kesakitan. Ekspresinya tenang sekali seolah mati rasa.
Pria itu tertawa melengking mengerikan. Memandang jijik wanita dihadapannya.
"Naif sekali. Kau mempertaruhkan nyawamu hanya untuk gadis itu?" Tangan pucat pria itu menangkup wajah Avery dengan kasar, dia sengaja menekankan tangannya di bagian pipi Avery yang terluka. "Kau tak perlu takut untuk mengkhianati mereka, Avery, mereka sudah mati 7 tahun yang lalu, kupikir kau belum lupa akan hal itu."
Tatapan Avery menggelap, bibirnya menipis sementara rahanngnya mengeras. Ekspresi tenangnya lenyap seketika tergantikan dengan kebencian yang meluap-luap dalam sorot matanya.
"Kau yang membunuh mereka, brengsek!"
"Kau mengkhianati mereka! Kau membunuh Ailenne dan Evans!" Avery mengulang perkataannya dengan berang. Dia memandang penuh dengki pada pria di hadapannya. "Kau bahkan lebih hina dari sampah!"
Dengan satu sentakan pria itu kembali menjambak rambut Avery, dan menariknya dengan kasar. Kekejian serta kebencian terpahat jelas pada garis-garis keras wajahnya. "Mereka menghalangi rencanaku. Mereka berdua terlalu naif dengan sifat kemanusiaan mereka. Menjijikan!"
Ada jeda sejenak dimana mereka bertukar pandang saling melempar kebencian yang sedemikian rupa.
"Cukup membahas mereka." lanjut pria itu, seraya bangkit berdiri. "Langsung saja ke-intinya. Kau tahu, Avery, anak itu membawa aset ratusan dollar dalam tubuhnya, dan aku membutuhkannya untuk menjalankan rencanaku. Dia aset yang sangat berharga. Sangat disayangkan jika kelebihan yang ada dalam tubuhnya membusuk sia-sia."
"Dia bukan barang, brengsek!" Avery meraung, desakan kebencian yang begitu kuat menggelora dalam dirinya. "Kau tak layak menyentuhnya, bahkan seujung rambut pun tidak!"
"Rencanaku hanya tinggal selangkah untuk mencapai kata sempurna," pria itu tetap melanjutkan kalimatnya, seolah tak ada interupsi. "Tapi bedebah tua itu dan adiknya berhasil mengecohku. Aku tertipu oleh strateginya."
Dia berjalan mondar-mandir sambil terus maracau "Selama 5 tahun aku percaya pada omong kosong itu sampai akhirnya putra Evans menampakkan dirinya secara tidak langsung padaku. Cecenguk sialan itu melenyapkan sebagian besar asetku. Jelas aku rugi banyak, meskipun harus kuakui, kerugian itu tak sebanding dengan fakta bahwa gadis itu masih hidup."
Pria itu mendadak berhenti mondar-mandir kemudian menyeringai kepada Avery. "Fakta ini kusimpulkan sendiri—tentu saja, diperkuat dengan fakta yang ada. Anak bodoh itu sangat menyayangi adiknya. Menurutmu, untuk siapa dia rela mengotori tangannya sendiri kalau bukan untuk adik tercintanya? Dia berpikir kalau itu hal yang benar dilakukan, tapi justru menjadi boomerang untuk dirinya sendiri."
Zach terdiam sejenak. "Salah satu informanku menemukan fakta yang sangat mengejutkan. Data kematian gadis itu palsu. Seseorang telah memanipulasinya, dan orang itu...ada di hadapanku sekarang."
Sesaat ekspresi terkejut terpancar di wajah Avery, meski sebentar kemudian hilang. "Apa yang kau inginkan Zach?!" Avery berkata dengan berang, memandang pria yang bernama Zach itu penuh dengki. "Tidak cukupkah bagimu membunuh orangtua mereka? Evans itu temanmu, bahkan Sahabatmu sendiri, Zach!"
"Aku tak pernah menganggapnya demikian." kata Zach dingin. "Dia hanyalah tangga untuk membantuku meraih apa yang aku inginkan, tidak lebih dari itu. Hanya barang yang bisa kubuang setiap saat."
Avery yang Mendengar hal itu, seperti dialiri timah panas ke dalam lubang telinganya. Menusuk sampai ke rongga hatinya. Rasanya lebih menyakitkan ketimbang luka fisik di sekujur tubuhnya.
Gemetar saking marahnya, Avery meraung, "KAU GILA, ZACH. KAU GILA! Kau dibutakan oleh ambisi bodohmu itu!"
"Ambisi bodoh?!" kata Zach, suaranya meninggi tak terkendali. "Kita lihat saja siapa yang terlalu naif dan bodoh dengan menyia-nyiakan nyawanya demi janjinya pada orang yang sudah mati."
"Kau tidak mengerti, Zach!" Avery berteriak, "Makhluk hina sepertimu tidak akan pernah mengerti!"
Wajah Zach menggelap, matanya berkilat penuh amarah memandang Avery, bibirnya yang seperti garis tipis bergetar siap melontarkan jutaan makian pada Avery, tapi dengan cepat berubah menjadi seringai mengerikan.
"Very well, Avery." katanya. "Kalau kau tetap tidak mau mengatakan dimana gadis itu, aku yang akan membuatnya menemuiku sendiri." Seringai di wajahnya melebar, memandang Avery yang balas menatapnya nanar. "Macedonia, kau tahu apa yang akan terjadi jika aku melepas tikus-tikus gagal itu kan?"
Avery membelalak. "Apa yang kau rencanakan Zach?!"
Zach bersimpuh persis dihadapan Avery. Dia mendekatkan wajahnya, kemudian berbisik, "Tak ada gunanya untukku jika membunuhmu sekarang. Maka akan kupastikan kau menyesali keputusanmu. Karena tak jauh di hari yang akan datang, kau akan meratapinya, menyesali bilah pisau ini tak bersarang di jantungmu!"
Sebelum sempat Avery berbicara—atau setidaknya mencerna apa yang Zach katakan padanya, kegelapan lebih dulu mengambil alih kesadarannya.