webnovel

Evidence

« Di lain sisi, di waktu yang berbeda »

__

Hujan dan angin kencang menyelimuti keheningan malam sebuah Kota yang tampak lebih mencekam dari hari-hari sebelumnya. Jalanan dan gang-gang sempit yang biasanya penuh sesak oleh warga sipil yang hilir mudik kini sunyi senyap dan suram, layaknya kota mati.

Handoko, seorang pria tua berusia nyaris setengah abad duduk di meja kantornya. Wajahnya sama suramnya dengan suasana di luar. Rambutnya penuh uban dan nyaris hampir botak, keriput di wajahnya kelihatan dua kali lebih menonjol. Mata tuanya yang sayu tampak sangat merana.

"Jadi, mereka nyata? Berita itu benar?" Handoko mendongak dengan letih memandang lawan bicaranya yang tampak jauh lebih muda dan gagah darinya.

Sesaat dia meratapi dirinya yang sudah tua dan renta. Ingin sekali rasanya dia muda lagi. Sungguh gejolak batin setiap kali dia bertemu dengan pria gagah yang kejantanannya tak perlu diragukan.

Seperti pria yang ada di hadapannya sekarang. Rahang tegas terpahat sempurna. Rambut hitam tebal yang masih bersih dari uban, mata kelabu yang tajam menyelidik, serta bibir yang berpotensi menjadi pencium handal. Hidung bengkok menambah kesan maco pada dirinya.

"Ya, mereka nyata, Pak," kata si pemuda, suaranya berat, dan tegas. "Apa perlu saya tunjukan bukti nyatanya, saya membawa potongan dag-"

"Tidak perlu!" sergah Handoko, mendadak tampak gusar. Dia menegakkan tubuhnya yang sepuh, memandang si pemuda lebih serius. "Lupakan soal makhluk itu sejenak. Ada persoalan yang lebih genting sekarang." Tangan keriputnya bergerak mengulurkan sebuah foto seorang gadis remaja pada si pemuda.

Si pemuda menatap foto itu tidak mengerti.

"Misi untukmu selanjutnya." Handoko berdeham, merendahkan suaranya. "Saya mau kamu temukan gadis ini."

Si pemuda membelalak tak percaya. "Maaf Pak, saya tidak berniat menentang keputusan anda, tapi di tengah kekacauan ini anda meminta saya untuk mencari seorang gadis?" kata si pemuda, berusaha keras mempertahankan nada suaranya tetap tenang. "Itu sama saja seperti anda menyuruh saya menari balet di tengah peperangan."

"Tidak masuk akal, tentu saja." sahut Handoko, suaranya terdengar seletih wajahnya. "Tapi dia satu-satunya kunci dari kekacauan ini. Aku punya satu fakta menarik—aku berani bertaruh kau tidak akan menolak misi ini."

Handoko mengeluarkan sebuah map yang berisi belasan lembaran kertas dari lacinya, lalu meletakkannya di meja, dan menyuruh pemuda itu untuk membacanya.

"Data ini aku retas dari website sekolah gadis itu. Menurut data, dia adalah putri angkat Jendral Admonds," Handoko menjelaskan selagi si pemuda membaca kumpulan data itu. "Tapi ada yang ganjil dari data itu. Tampilan wajah anomali, DNA rancu, dan data kelahiran gadis itu tidak tercatat di catatan sipil, bisa dibilang...identitas bayangan."

"Ya, Data ini jelas telah dimanipulasi..." Si pemuda menatap tumpukan kertas itu dengan alis terangkat. "Tapi saya masih tidak mengerti, Pak. Apa yang menarik dari sebuah data yang telah dimanipulasi, dan... seorang gadis? Apa hubungan gadis ini dengan-"

"Tentu saja ada," sergah Handoko, dia menarik napas Panjang sebelum melanjutkan dengan sabar. "Aku menyuruh Jonathan meretas data kematian dari catatan sipil perihal insiden apollo 7 tahun silam, dan dia menemukan berkas kematian dari salah satu korban—seorang anak perempuan, beserta bukti foto tubuhnya yang terbakar, semuanya hampir normal, kecuali pada surat keterangan dari pihak rumah sakit, berkas bagian ini telah dimanipulasi. Pihak rumah sakit enggan memberikan info lebih lanjut, seseorang telah membungkam mereka."

Handoko diam sejenak, menarik napas lagi. "Yang jadi sorotanku bukan pada berkasnya," lanjutnya. "Tapi pada timeline kematian gadis ini. Tanggal kematiannya sama dengan tanggal pembuatan surat adopsi putri angkat Admonds. Aku curiga ini ada mengacu pada orang yang sama. Seseorang yang sudah dianggap mati oleh pemerintah, tapi nyatanya belum, eksistensinya sengaja disembunyikan untuk tujuan yang sangat krusial..."

Si pemuda menatap Handoko tidak mengerti. "Jadi?"

Handoko bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir sementara pikirannya mencari-cari kata yang tepat. "Aku menduga, ini ada hubungannya dengan project N-01 yang dilakukan Apollo—sesuatu yang berhubungan dengan penelitian genetika manusia..."

Pemuda itu mengernyit, dia tampaknya berusaha keras untuk mencerna perkataan Handoko.

"Kalau dugaan-ku benar," Handoko melanjutkan. "Gadis itu bukan manusia biasa. Secara fisik dia memang manusia, tapi lebih dari itu. Noir, Lucas. Anak itu ada hubungannya dengan Noir."

Tubuh pemuda itu seketika menegang dan semua langsung terasa jelas baginya. Data yang dimanipulasi, insiden Apollo, dan gadis misterius itu. "Jadi maksud anda gadis yang selama ini dianggap tewas dalam insiden apollo 7 tahun lalu, ternyata masih hidup—dan dugaan anda dia adalah salah satu yang berhasil?"

Handoko mengangguk. "Lebih dari berhasil. Dia satu-satunya yang mencapai sinkronisasi hampir 98%. Hanya ini fakta yang berhasil kudapatkan. Semua data soal penelitian genetika apollo sangat dirahasiakan. Tidak ada yang tahu kebenarannya."

Pemuda itu terbelalak. "Jadi rumor mengenai inhuman itu ada? The one who lived itu...gadis ini?" gumam pemuda itu, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.

"Tapi masih ada sesuatu yang disembunyikan Admonds." Handoko melanjutkan dengan gusar. "Sesuatu yang penting. Sangat penting..."

Mata kelabu pemuda itu menajam. "Jadi itu alasan Jendral Admonds mengadopsinya? Dia tahu sial noir dan mencoba untuk memanfaatkannya?"

"Melindunginya," Handoko mengoreksi. "Admonds bukan pria yang seperti itu. Aku mengenalnya, dan aku berasumsi anak itu bukan cuma anak angkat—mengingat bagaimana dia bersikeras untuk turun tangan langsung saat tragedi itu terjadi, tidak pernah kulihat Admonds begitu frustasi... ." dia menghela napas berat, sorot matanya sendu, tampak tenggelam dalam kenangan.

Si pemuda menegakkan posisi duduknya. Sadar bahwa pria tua di hadapannya hendak bernostalgia, dia mencoba sebisa mungkin menunjukan sikap hormat dan respect walau telinga dan pantatnya mulai terasa kebas.

"Aku sedang Bersama Admonds ketika insiden Apollo terjadi..." Handoko memulai ceritanya. "Dia mendapat pesan dari ponselnya dan mendadak tampak gusar, tak lama dia pamit lalu pergi tak lama sebelum berita insiden itu disiarkan. Kami tak pernah bertemu sejak saat itu—tidak sebagai teman, hanya sebagai rekan kerja. Dia berubah seiring jarangnya kami bertemu. Lebih menutup diri, dan terkesan menghindariku, aku nyaris tak mengenalinya lagi. Dia juga tak pernah membeberkan kalau dia punya anak angkat."

Handoko mengalihkan pandangannya ke jendela, lalu berkata dengan lirih. "Aku ingin mempercayainya..."

"Tapi Pak, itu bukan alasan untuk kita tidak mencurigainya." sanggah pemuda itu. "Di saat seperti ini orang rela melakukan apa pun untuk keselamatan me-"

"Aku tahu, Lucas!" Sela Handoko tegas. "Maka dari itu aku memintamu untuk menyelidikinya lebih lanjut. Aku yakin ada pihak lain yang terlibat—mungkin sebuah organisasi, atau satu orang dengan kecerdasan luar biasa yang mampu menjalankan bidak-bidak caturnya dengan baik. Kita tak tahu siapa yang sebenarnya kita hadapi, siapa musuh yang sebenarnya..."

Si pemuda terdiam.

Handoko mengeluarkan map lagi dari lacinya, yang satu ini tampak kusam dan lusuh. "Ini data rahasia yang berhasil aku retas dari BIN," katanya. "Kau bisa baca dan pahami nanti di perjalanan. Kumpulkan tim-mu, kalian akan berangkat besok pagi. Kita harus segera bertindak. Banyak orang mati di luar sana sementara kita menyusun rencana disini."

Si pemuda mengambil map itu tanpa banyak bicara, pikirannya berkecamuk selagi kakinya melangkah meninggalkan ruangan Handoko.

Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!

Josephine_Bravelycreators' thoughts