webnovel

Badai

Emak menyingkap baju lengan panjangnya.

"Ini?"

Mutiara terus saja mengamati sisik hijau keunguan yang ada di pergelangan tangan kiri Emak yang sudah keriput.

"Ini cuma gelang plastik, kok. Bagus, ya?"

Mutiara mengangguk ragu. Saking indahnya gelang itu, sampai begitu mirip dengan sisik ekor Mutiara. Tak banyak putri duyung yang punya sisik macam itu di lautan. Begitulah yang diucapkan para tetua. Bahkan para kawanan berkata bahwa Mutiara adalah satu-satunya putri duyung yang memiliki sisik berwarna begitu.

"Nanti kalau yang jual ada di pasar, nanti Emak belikan," ujar Emak sambil bergegas meninggalkan Mutiara di dalam kamar. "Emak mau periksa belakang. Mau cek yang ada yang bocor atau nggak."

Mutiara menenangkan dirinya. Itu cuma gelang plastik seperti yang Emak bilang. Tak ada yang spesial dari gelang itu.

Ia segera memakai baju yang Emak sediakan dan pergi menemui wanita tua itu.

Emak melongokkan kepalanya keluar pintu belakang. Memeriksa asbes yang mungkin agak bergeser dan menyebabkan bocor.

"Emak butuh bantuan?" tanya Mutiara.

Emak menggeleng sambil menutup pintu belakang. Dua pintu bertumpuk itu ia kunci secara bergantian.

"Mut, pastikan pintu ini selalu kamu tutup. Ini pintu langsung menuju ke laut. Emak nggak mau ada kepiting atau hewan-hewan yang lain masuk ke dalam rumah," ucap Emak. "Kamu nggak mau istirahat? Emak mau masuk ke dalam kamar."

Emak kembali meninggalkan Mutiara sendiri.

Tangannya menyingkap gorden ruang tamu. Tampak ombak yang ada di lautan itu begitu ganas. Cuaca memang sedang buruk di luar. Beruntung Mutiara sudah menemukan tempat tinggal. Entah apa yang terjadi seandainya ia tak mengenal Emak di daratan. Bisa saja sekarang Mutiara harus tinggal di sebuah rumah penyimpanan beras.

Ia teringat bagaimana saat dirinya masih berada di lautan ketika cuaca buruk begini. Ia dan kawanannya akan berlindung di dalam goa laut untuk sementara waktu.

"Mutiara nggak pulang?" tanya Bella pada teman-temannya.

Siren terdiam mendengar pertanyaan Bella.

Bella tersenyum sinis saat Siren tak menjawab pertanyaannya.

"Jutaan tahun kawanan kita hidup dengan cara mencari makan yang menurut Mutiara adalah suatu hal yang kejam. Kalau dia nggak mau makan dengan cara leluhurnya, ya udah. Lain kali jangan ada yang bantu dia kalau dia kesulitan."

Bella menggosok sirip keemasannya dengan rumput laut. Sirip yang begitu indah dan membuat semua putri duyung kagum padanya.

Sesekali ia memandang pantulan wajahnya di atas air yang sedikit tak tenang itu. Lautan sedang tak bersahabat sekarang.

"Besok adalah purnama ke tujuh. Tahun ini giliran kita menyiapkan upacara ritual. Siapkan tumbal agar para tetua tak marah." Bella kembali memandangi wajahnya di atas air. "Aku mau yang perjaka," imbuhnya.

"Kalau nggak yang perjaka, Kak?" tanya Marina.

Bella menunjukkan taringnya yang muncul saat marah. Mulutnya menganga menunjukkan bahwa ia tak ingin perintahnya ada sanggahan.

Marina menciut dibuatnya. "O-oke, Kak. Aku akan siapkan."

Siren memeluk Marina dan Amelia. Takut dengan kemarahan Bella.

Usia Bella tak lagi muda. Ia memasuki usia 30 tahun. Keriput di wajahnya sudah menunjukkan bahwa usianya memasuki masa rentan. Hanya tumbal darah manusia yang masih perjaka yang dapat mengembalikan kekencangan kulitnya.

"Aku bilang siapkan. Jangan terlalu banyak bertanya. Oke? Kalian jangan buat aku marah lagi dan membuat keriput dan kerut di wajahku bertambah. Membuat kesal saja."

Tangan Bella menengadah ke atas. Merasakan aliran angin badai yang menerpa wajahnya. Cukup tenang dibanding tadi. Sepertinya badai sudah agak reda. Di cuaca yang seperti ini bisa dipastikan kawanan putri duyung akan berpuasa esok harinya. Tak ada nelayan yang akan berangkat di cuaca buruk macam ini.

"Kamu nggak tidur?" tanya Emak pada Mutiara yang masih mengamati hujan badai malam itu.

"Iya, Mak," jawab Mutiara.

"Tidur aja. Besok kita berangkat agak siang. Nelayan nggak akan berlayar malam ini. Emak akan berjualan ikan beku yang ada di pendingin saja."

Mutiara mengangguk.

"Wajah kamu," ucap Emak.

Mutiara menyimak apa yang Emak akan ucapkan.

"Wajah kamu mengingatkan Emak pada seseorang. Siapa nama ibu kamu? Ayah kamu?"

Mutiara menggeleng. "Aku nggak punya, Mak. Aku nggak punya."

Ia memang tumbuh sendirian di lautan yang dingin. Tanpa mengenal siapapun yang telah membuatnya hadir di dunia.

"Emak dulu pernah pernah mengenal seseorang yang wajahnya mirip seperti kamu. Tapi Emak lupa siapa orangnya. Atau mungkin Emak sudah pikun."

Mutiara hanya tersenyum. Wanita tua itu tak mungkin mengingat sesuatu dengan jelas. Bisa saja ia mengingat seseorang yang lain. Bukan seseorang yang wajahnya mirip dengan dirinya.

Wanita tua itu kembali masuk ke dalam kamarnya.

Mutiara masih saja mengamati hujan badai yang sudah agak reda ini. Ia memutuskan untuk mengambil selimut yang ada di kamarnya dan tidur di sofa ruang tamu sambil mengamati hujan dan air yang sebenarnya ia rindukan.

Ia ingat bahwa besok adalah purnama ketujuh tahun ini. Kawanannya akan mencari mangsa esok hari sebelum tengah malam tiba. Entah kriteria apa yang para tetua inginkan tahun ini.

Mutiara cepat-cepat menggelengkan kepalanya. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi esok. Bisa saja besok akan ada pengumuman orang hilang. Besok adalah hari pertama Mutiara bertingkah seperti manusia sesungguhnya.

"Kamu tidur di sini?" tanya Emak yang kembali keluar kamar.

Mutiara mengangguk cepat.

"Ya sudah, nggak apa-apa. Emak mau ke kamar mandi dulu," ucap Emak. "Oh, ya. Tebali selimutmu. Biar nggak kedinginan. Cuaca sedang nggak bersahabat."

Mutiara mengamati jalan Emak yang sudah renta lalu kembali menyelimuti tubuhnya. Memang benar apa kata Emak. Cuaca malam ini begitu dingin. Tapi sepertinya Mutiara lebih nyaman tidur di bawah selimut tebal begini dibanding tidur di lautan sana berbantalkan karang yang keras.

Para tetua bisa saja mencari keberadaan dirinya esok. Tapi bisa saja mereka tak mencari Mutiara jika Bella mencari alasan. Putri duyung satu itu agak membenci dirinya. Satu-satunya makhluk yang membenci semua keputusannya termasuk

larangan penyerangan pada manusia.

Saat Emak keluar dari kamar mandi, ia masih sempat membetulkan selimut Mutiara yang tersingkap.

"Kamu akan jadi anak sekaligus cucuku mulai dari hari ini," ucap wanita renta itu sambil mengusap kening Mutiara. "Semoga kamu jadi obat di kehidupan Emak ya, Mut."

Bertahun-tahun hidup sendirian membuat Emak kesepian. Bertemu dengan gadis yang mengaku sebagai gelandangan membuat Emak punya harapan akan seseorang yang bisa menemani masa tuanya.

Emak sengaja tak mematikan lampu ruang tamu karena takut Mutiara akan tak menyukainya. Ia biarkan saja lampunya menyala. Ia berniat membuat cucunya yang baru itu nyaman di keluarga ini.