webnovel

Sisik Hijau Keunguan

"Kamu tinggal di jalanan?" tanya wanita tua itu dengan tulus.

Mutiara mengangguk cepat saat mendengar pernyataan itu. Ia tak bisa mengaku di mana tempat asalnya.

Tangan renta yang gemetaran itu mendekatkan ikan bakar yang ia masak pada Mutiara.

"Ayo, makan. Kamu mau tinggal di sini bersama Emak? Ada banyak kamar kosong di sini. Silakan dipakai."

Mutiara mengangguk bahagia. Ia agak terharu melihat orang setua ini masih saja bekerja di pasar.

"Mak," panggil Mutiara. "Emak tinggal di rumah ini sendiri?"

Emak mengangguk. Ia menyuap nasi pertamanya dengan tangan.

Sambil mengunyah ikan bakar yang dibumbui begitu lezat, mata Mutiara menyapu ruang tamu yang lumayan besar. Tapi sepertinya rumah ini terlalu sepi. Tak mungkin nenek ini tinggal di rumah ini sendiri.

"Itu? Siapa?" Mutiara menunjuk sebuah foto di sebuah bingkai kecil.

Nenek tua itu tersenyum di sana bersama anggota keluarganya yang masih lengkap berlatar ombak lautan.

Emak menoleh sebentar ke pigura lalu melanjutkan makan makanannya.

"Itu suaminya Emak dan empat anak laki-laki Emak," jawab Emak singkat. Wanita itu sibuk memilah daging ikan dari durinya yang tajam. "Suami Emak meninggal karena sakit."

"Terus? Ke mana anak Emak semua, Mak? Kenapa nggak tinggal di rumah ini?"

Emak terperanjat kaget karena duri yang menusuk telunjuknya. Ia tak begitu hati-hati. Mata tuanya agak sedikit terganggu.

"Nggak apa-apa," ucap wanita tua itu saat Mutiara tampak khawatir. "Cuma duri. Nanti juga sembuh sendiri."

Mutiara kembali ke tempat duduknya.

Tampak Emak menyeka ujung matanya. "Eko, nelayan. Hilang di laut. Sampai sekarang mayatnya nggak ketemu. Dwi, pekerjaannya menyelam untuk mencari teripang. Dia juga hilang di laut. Mayatnya ditemukan di pantai beberapa hari kemudian dengan kondisi separuh tubuhnya hilang. Sepertinya diserang hiu. Tri, dia baru saja lulus sekolah. Kerjaannya cuma mancing sama temen-temennya. Mereka semua juga hilang di laut. Sampai sekarang nggak ketemu. Yang terakhir, Catur. Dia dulu satu-satunya harapan Emak." Emak kembali menyeka air matanya yang terlanjur menetes. "Kerja di pengeboran minyak. Meninggal juga. Tapi mayatnya ada. Dimakamkan dengan layak."

Mutiara tak bertanya anak yang terakhir meninggal karena apa. Mendengar penjelasan Emak saja sudah membuat Mutiara bersedih. Ia menyesal sudah banyak tanya.

"Kamu bisa tinggal di rumah ini. Temani Emak."

Mutiara mengangguk semangat. Ia akan tinggal di rumah ini. Entah sementara waktu atau selamanya. Ia akan bersedia menemani nenek tua ini.

"Semua yang hidup pasti akan mati. Inget-inget mereka semua sesekali boleh, kan? Makasih sudah buat Emak mengingat mereka." Senyum pilu tersungging di bibirnya yang sudah keriput.

Mutiara tak boleh menangis sekarang. Ia tak ingin Emak tahu bagaimana bentuk air mata Mutiara.

"Ayo habiskan nasimu. Habiskan juga lauknya. Emak nggak mau sampai ada sisa."

Mutiara mengangguk setuju. Ia memang berniat untuk menghabiskan makanan yang biasa ia sebut layak itu.

Tak ada darah yang tersisa di makanan yang Emak sajikan untuknya.

Putri duyung itu agak terkejut saat Emak menambahkan nasi ke piring untuk Mutiara.

"Andai anaknya Emak masih hidup satu. Mungkin Emak akan jodohkan salah satu dari mereka sama kamu, Mut."

Mutiara hanya tersenyum mendengarnya.

Lagipula kalau salah satu dari mereka masih hidup, Mutiara tak akan menikah dengan manusia.

Entah apa yang akan dikatakan para manusia lain seandainya mereka tahu identitas Mutiara yang sebenarnya. Mungkin saja Mutiara akan mati saat itu juga.

Mereka bisa menjual air matanya dan membuat minyak dari tubuh setengah ikannya yang dapat digunakan untuk kecantikan. Legenda itu tersebar di antara mereka. Para tetua yang bercerita begitu sampai akhirnya timbullah tradisi penyerangan pada manusia yang sedang berada di laut.

"Kenapa kamu diam?" tanya Emak pada Mutiara yang sedang terenyak.

Mutiara menggeleng sambil mengunyah makanannya yang masih ada di mulut.

Wanita tua ini begitu baik padanya. Sayang, nasib buruk seolah berpihak pada Emak.

Entah sejak kapan Mutiara punya rasa iba macam ini. Bahkan saat tinggal di lautan pun Mutiara tak punya belas kasih pada siapapun.

Ia tumbuh sendirian di laut. Tak ada orang tua. Ia bertahan hidup dengan melihat bagaimana kawanan putri duyung lain menangkap makanannya. Sebuah cara yang menurutnya begitu kejam sampai tak ada seorang pun yang membayangkannya.

Mutiara melihat Emak melangkahkan kakinya ke tempat cuci piring sambil meletakkan beberapa piring yang sudah kosong di sana. Mencuci tangannya sekaligus mencuci piring.

"Mak, aku bisa," ucap Mutiara berdusta. Tentu saja ia tak benar-benar ahli melakukannya.

Emak tak menggubris ucapan Mutiara. Orang tua itu tahu bahwa Mutiara tak akan bisa melakukan hal ini sendiri. Tampak dari penampilannya yang agak kucal. Mutiara memang cantik. Tapi sepertinya tak terlalu memperhatikan penampilan dirinya. Begitulah yang dipikirkan Emak. Beberapa kali Emak mencium aroma tubuh Mutiara yang amis saat gadis itu berkeliling ke pasar.

"Kamu makan saja. Setelah itu bersihkan diri kamu," ucap Emak dengan penuh perhatian. "Setelah itu kamu pakai bajunya menantu Emak. Ada di kamar. Di dalam lemari."

"Menantu Emak ke mana?" tanya Mutiara penasaran.

Emak menerawang singkat. Ia mengelap tangannya yang basah sejenak. "Dia istrinya Catur. Setelah Catur meninggal, dia kembali ke rumah orang tuanya. Bajunya masih tertinggal di rumah ini. Masih Emak simpan. Kabar terakhir yang Emak dengar, menantu Emak sudah nikah lagi."

Mutiara tak tahu kata apa yang harus ia gambarkan untuk seorang Emak. Wanita itu ternyata lebih kuat dari yang terlihat di luar.

Setelah Mutiara menyelesaikan makanannya, ia membersihkan dirinya di kamar mandi. Tentu saja ia harus bersempit-sempit ria di dalam sana karena kakinya berubah lagi menjadi sebuah ekor bersisik hijau kebiruan.

Tak ada kesulitan baginya untuk menggunakan alat mandi. Semuanya ia pelajari saat ia berkunjung ke pasar beberapa tahun terakhir.

Setelah kakinya kembali, Mutiara baru berani untuk menunjukkan dirinya di hadapan Emak.

Wanita tua itu menata pakaian mantan menantunya itu di atas kasur. Ia begitu perhatian pada seorang gadis yang hanya ia kenal di lingkungan pasar.

"Mak, aku bisa sendiri," ucap Mutiara.

Emak menggeleng, wanita itu seolah sedang senang hati melakukannya.

"Akhirnya Emak punya anak lagi." Ia tersenyum. Tercium aroma wangi dari tubuh Mutiara. Seolah menjelaskan baru pertama kali putri duyung itu mandi dengan bahan kimia.

"Besok aku bantu Emak di pasar untuk jual ikan," ucap Mutiara.

Emak mengangguk setuju.

Sisik hijau keunguan itu juga ada di tangan Emak. Menyumbul dari pergelangan tangannya.

"M-Mak. A-Apa itu yang ada di tangan Emak?"

Kilatan dan suara gemuruh petir menandakan badai telah dimulai sore itu.