webnovel

The Kingdom of NETERLIANDIS

NETERLIANDIS sebuah kerajaan yang melibatkan bentuk mata dan fantalis sihir dalam penentuan kasta dari takdir seseorang. Hingga pada suatu ketika, lahirlah seorang bayi yang akan merangkai takdirnya sendiri. Seorang bayi pemilik fantalis berbeda yang akan mencoba menciptakan perubahan di kerajaan Neterliandis. Percintaan, pemberontak, penghianatan serta ribuan rahasia akan terungkap dalam perjalanannya membentuk keadilan. Akankah keadilan benar-benar tercipta di tangan seorang bayi yang akan menjadi dewasa nantinya? Atau malah kehancuran yang akan di dapat oleh kerajaan Neterliandis. Note: Cerita ini belum direvisi, bisakah kalian membantu saya untuk mencari paragraf yang mana typo dan sebagainya dalam cerita ini? jika iya kalian hanya perlu memberi komentar pada paragraf yang sebaiknya perlu saya revisi. 07 Oktober 2021

Aksara_Gelap · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
40 Chs

Si Gadis Kuat, Andini

Sudah beberapa hari ini Pangeran Dinata berlatih sendiri di hutan Pinus, biasanya ada Pangeran Antoni yang selalu berlatih bersamanya. Semenjak kejadian Liliana lupa akan janji pertemuan dengan Antoni karena mengkhawatirkan Dinata, Antoni menunjukkan sedikit perubahan sikap, lebih dingin.

Pangeran Dinata tampak mencoret-coret tanah berpasir ini dengan sebilah ranting kecil. Bukan sebuah coretan tak jelas, Ia sedang belajar menggambar strategi perang bila nanti seleksi kedua pertanyaan yang ia dapat tentang strategi.

Angin tampak nakal menghapus coretan itu dengan menggeser dedaunan kering di sana, "ah terhapus lagi," ucap Pangeran Dinata sembari menyingkirkan dedaunan kering yang menutupi gambarnya. "Kenapa Antoni tak pernah datang lagi untuk berlatih, Apakah dia sedang sibuk atau dia kesal padaku?"

"Pangeran Dinata," teriak wanita yang tak lagi muda itu, di antara pohon Pinus kembar.

"Bibi Sekar?" Ucap Pangeran Dinata sambil memperhatikan wanita paruh baya itu berjalan menghampirinya.

"Tampaknya Pangeran Dinata sangat bosan sendiri di sini, maukah anda menemani bibi ke pasar utama kerajaan untuk berbelanja? Di sana sangat banyak yang berjualan, Pangeran Dinata bisa membeli barang-barang yang anda inginkan di sana."

"Yah, tentu saya mau sekali," jawab Pangeran Dinata sangat antusias, "sudah lama saya ingin pergi ke pasar. Mari kita pergi sekarang, Bi!!"

"Ah iya, ayo kita pergi."

Mereka pergi ke pasar utama Bentar Serajo yang merupakan pusat perdagangan di kerajaan Neterliandis. Di sini juga merupakan tempat perdagangan bebas, banyak pedagang yang berasal dari luar daerah yang telah membayar pajak pada kerajaan Neterliandis.

Di pasar Bantar Serajo ini juga merupakan pusat informasi, atau isu-isu yang terkumpul dari mulut ke mulut tanpa tahu kejelasannya. Hal ini banyak dimanfaatkan oleh beberapa orang dalam menyebarkan berita tidak benar untuk menjatuhkan orang yang mereka benci. Tapi tak sedikit juga orang-orang di sana yang tak tahu gosip apapun, mereka hanya memikirkan pekerjaan dan uang untuk menyambung hidup mereka.

Saat tiba di pasar Bantar Serajo Pangeran Dinata dan Bibi Sekar tanpa ditatap tajamnya orang beberapa orang yang mengenal mereka di sana. Mereka membicarakan tentang Pangeran Dinata yang tidak mirip sama sekali dengan keluarga kerajaan.

"Kamu tahu siapa pria bermata tajam berwarna ungu muda gelap itu? Dia putra dari Raja Indra. Saya melihatnya ketika menyaksikan seleksi putra mahkota kemarin, dia tampak berbeda bukan?" Tanya seorang pria bersama dua orang temannya yang tengah menikmati kopi hitam di sebuah kedai.

"Benarkah dia pangeran, Vin? Perawakannya tidak termasuk di semua kasta?" Tanya salah satu temannya yang tak yakin kepada orang yang di panggil Vin itu.

"Kamu benar, saya sendiri tidak sudih bila nanti harus dipimpin oleh orang yang tampak aneh itu."

"Hus diam kalian, nanti dia bisa mendengar ucapan kita ini. Dan lagi tidak ada tingkat kasta berdasarkan mata atau apalah, semua kedudukan berdasarkan kemampuan orang itu sendiri sekarang. Jadi berhentilah membicarakan dia, jika nanti dia terpilih menjadi raja bisa-bisa kita dihukum mati olehnya," tutur salah satu di antara mereka yang tampak lebih tua dan sedikit bijak di bandingkan dua orang lainnya.

Pangeran Dinata hanya menarik napas dalam saat mendengar ucapan mereka yang sedikit kasar, ia hampir terbiasa mendengar ucapan yang mengatakan dia berbeda.

Sejak kecil Dinata sudah diasingkan oleh sepupu-sepupunya di kerajaan karena perbedaannya, tak ada satu orangpun yang tulus ingin berteman dengannya. Hingga hampir semua waktu yang ia punya untuk belajar, tak ada permainan yang seru untuk dimainkan sendiri. Semua buku di perpustakaan istana sudah ia baca tanpa terkecuali, hal itulah yang membuat dia terkenal jenius saat pendidikan.

Gedubrakkk....

Seorang yang tengah berlari tergesa-gesa tiba-tiba oleng dan menabrak Pangeran Dinata. Di belakangnya tampak segerombolan orang yang mengejar dia dengan emosi.

"Aduh, minggir jangan menghalangi jalan saya," ucap orang itu yang ternyata seorang gadis kecil.

"Tunggu, kenapa kamu lari di tempat ramai ini kalo tidak ingin menabrak?"

"Ah, anda tidak perlu tahu apapun, saya harus sembunyi di mana sekarang?, mereka hampir menangkap saya," ucap gadis kecil itu panik setengah mati.

"Diam, jangan bergerak. Saya akan membuat kamu tidak terlihat oleh mereka," ucap Pangeran Dinata yang kemudian membuat gadis itu transparan dengan sihirnya sehingga tidak terlihat oleh orang-orang yang mengejar dirinya. Tampak gadis kecil itu tak percaya, ia hanya mampu diam dan menutup matanya saat orang-orang itu hampir mendekatinya.

"Sudah, mereka sudah pergi cukup jauh. Sekarang bukalah matamu," ucap Pangeran Dinata sambil mengakhiri kekuatan sihirnya.

Gadis muda itu menetap lekas Pangeran Dinata dari ujung kaki sampai ujung kepala, entah apa yang sedang ia pikirkan mengenai Pangeran Dinata sekarang.

"Anda bisa menggunakan sihir?" Tanya gadis itu tampak bingung dengan wajah polosnya yang penuh luka.

"Iya, kenapa kamu sampai dikejar orang-orang seperti itu?"

"Sungguh sepertinya anda bukan orang biasa, apa anda seorang bangsawan?" Gadis kecil itu kembali bertanya pada Pangeran Dinata dengan tatapan penuh kebencian dimatanya.

"Saya akan jawab pertanyaan kamu, tapi jawab dulu pertanyaan saya tadi."

"Ah, saya hanya mengambil sebuah roti di kedai sana. Karena saya tak punya uang untuk membelinya, saya sangat lapar," ucap gadis kecil itu sambil menunjuk roti yang telah lusuh di genggamannya. Matanya sekarang kembali menatap tajam, "sekarang jawab pertanyaan saya, apakah anda seorang dari keluarga bangsawan?"

"Ehm entahlah, sekarang status saya belum jelas sama sekali. Apakah saya boleh tahu siapa nama kamu?"

"Nama saya Andini, anda sendiri siapa dan sedang apa di pasar ini?" Ucap gadis itu yang kemudian duduk dan menikmati rotinya.

"Panggil saja saya Dinata, saya sedang menemani Bibi saya untuk berbelanja, itu dia di sana," tunjuk Pangeran Dinata pada Bibi Sekar yang tak jauh dari sana tengah membeli sayur.

Pangeran Dinata kembali memperhatikan gadis muda yang penampilannya terlihat sedikit kotor dan berantakan, "mengapa kamu terlihat benci sekali ketika menyebut nama bangsawan tadi, Andini?"

Andini tiba-tiba berhenti mengunyah saat Pangeran Dinata menanyakan hal itu padanya, "saya benci pada mereka bukan tanpa alasan, mereka yang membuat hidup saya hancur seperti ini. Delapan tahun yang lalu hidup saya dan keluarga begitu damai walaupun berada di kasta terendah, sampai salah satu bangsawan ingin melamar kakak perempuan saya," Andini kemudian mengunyah kembali rotinya dengan perasa sedih ketika membayangkan kejadian yang begitu tragis.

"Lalu kenapa, bukankah itu hal yang bagus?" Tanya Pangeran Dinata sedikit penasaran dengan cerita gadis kecil yang terlihat cantik ketika tertimpa sinar matahari itu.

"Tidak sama sekali," Andini menaikkan volume bicaranya, "ia bangsawan yang terkenal kejam dan sadis, banyak istrinya yang mati karena kekerasan. Hal itu tentu saja membuat kakak saya menolak pinangannya, sampai membuat dia murka dan menghabisi keluarga kami. Kakak saya direnggut kesuciannya dan memutuskan untuk gantung diri karena tak sanggup menahan aibnya. Ayah yang melihat kakak bunuh diri akhirnya menuntut keadilan dengan bangsawan itu, namun ayah nasib berakhir tragis dibunuh olehnya. Sedangkan ibu," mata Andini tampak berkaca-kaca ketika menceritakan semua ini.

"Apa yang terjadi pada ibumu?"

"Ibu tak sanggup melihat ayah dan kakak mati seperti itu memutuskan untuk pergi hilang entah kemana, meninggalkan saya sendiri di sini."

Pangeran Dinata beusaha menahan air matanya sekuat tenaga ketika melihat mata gadis kecil ini benar-benar telah berlinang. Ia tak mau terlihat lemah jika menangis didepan gadis kecil yang begitu kuat dan tabah ini.

Apa saya terlalu egois hanya memikirkan masalah saya selama ini tanpa melihat sekeliling. Saya terus saja bersedia karena dianggap berbeda oleh orang lain, padahal banyak sekali dari mereka yang memiliki masalah jauh lebih besar yang tak pernah mengeluh. Apakah Andini adalah jawaban yang akan menunjukkan keadilan yang sebenarnya di Neterliandis.

"Berapa usiamu sekarang, Andini?" Pangeran Dinata kembali bertanya setelah melihat gadis kecil ini sudah mulai tenang.

"15 tahun."

"Ah, seharusnya kamu memanggil saya Kakak. Saya 2 tahun lebih tua dari kamu."

"Kakak?" Tanya Andini memastikan panggilan itu.

"Iya, Apakah kamu tidak ikut pendidikan? Bukankah usia ini seharusnya sudah mulai masuk pendidikan?" Tanya Pangeran Dinata kembali menyelidiki tentang ketidak adilan di Neterliandis pada gadis polos ini.

"Tentu saja tidak, pendidikan itu hanya untuk para bangsawan dan orang kaya saja bukan untuk orang-orang miskin di sini. Apalagi untuk saya yang menumpang hidup dengan mencuri ini tak mungkin mengecap pendidikan," ucap Andini yang tampak biasa dengan kata-katanya.

"Apa kamu ingin ikut pendidikan, Andini?"

"Ehm," pikir Andini sedikit bimbang jauh di hatinya memang ingin merasakan seperti apa pendidikan itu, "iya, tak hal itu tidak mungkin. Kakak sendiri bukankah di umur 17 tahun seharusnya sedang mengikuti pendidikan, apa Kakak juga tidak ikut pendidikan?"

"Kakak sudah menyelesaikan pendidikannya, sekarang giliran kamu. Maukah kamu ikut pendidikan dan tinggal di rumah kakak?"

Andini tampak tak percaya dengan apa yang sedang ia dengar, begitu banyak kata-kata yang sulit untuk terima oleh gadis kecil ini.

"Pangeran Dinata," panggil Bibi Sekar yang baru menyadari bahwa Pangeran Dinata tak ada di sampingnya dan sedang berbicara pada orang yang terlihat asing.

"Iya, Bibi sudah selesai membeli sayurannya?" Tanya Pangeran Dinata pada Bibi Sekar yang berada di depanya sedang menatap curiga pada Andini

Gadis kecil ini terlihat begitu tegang, matanya membulat seketika ketika pendengaran orang dihadapannya adalah seorang calon putra mahkota. "Pangeran Dinata? Apakah Kakak putra dari Yang Mulia Raja Indra?"

"Ah, iya. Bagaimana dengan tawaran saya untuk kamu tadi, Andini?"

"Tawaran apa, Pangeran Dinata?" Bibi Sekar terlihat bingung dengan pembicaraan mereka saat ini.

Pangeran Dinata kemudian menjelaskan pada Bibi Sekar tentang keadaan dari Andini yang begitu memprihatinkan ini. Semua kehidupan yang hancur karena keegoisan seorang bangsawan dari kerajaan Neterliandis.

"Kalo begitu bibi setuju keputusan Pangeran Dinata jika Andini ingin ikut bersama kita. Bagaimana Andini, ikutlah bersama kami!?"

"Suatu kehormatan sekali saya bisa ikut bersama Pangeran Dinata, apakah ini benar-benar tidak merepotkan, Pangeran?" Ucap Andini dengan bahasa begitu formal yang sempat diajarkan orang tuanya dulu.

Ah, begini rasanya berhadapan langsung dengan keluarga utama kerajaan, sangat tegang terasa lututku tak sanggup untuk berdiri. Apakah bahasaku benar tadi, kenapa aku tak serius saat mengajarkan bahasa ini dulu dan menganggap takkan berguna. Arghhh... Terserahlah

"Sama sekali tak merepotkan, saya senang bisa membantu gadis secerdas kamu untuk menggapai keinginannya."

"Baiklah kalau begitu, terima kasih banyak, Pangeran Dinata. Saya tidak pernah menyangka kisah hidup saya bisa bagus seperti ini," ucap Andini sangat senang akan ikut ke istana Neterliandis.

"Nah, sekarang mari kita pulang, Bibi juga kan sudah selesai berbelanja. Saya tak sabar mendaftar kamu ikut pendidikan dan melihat kamu menjadi gadis tercerdas nantinya."

***

Tok..Tok..

Suara ketukan pintu dari luar ruangan pribadinya membuat Raja Indra sedikit kaget karena tengah fokus dengan berkas ekonomi kerajaan.

"Ayah, boleh saya masuk?"

"Iya, masuklah, Dinata," ucap Raja Indra yang sangat hafal dengan suara putranya.

Pangeran Dinata membuka pintu dan masuk dengan wajah senang, kemudian menutup rapat kembali pintunya.

"Ayah, aku meminta izin untuk mengikut sertakan seorang anak perempuan dalam pendidikan formal kerajaan Neterliandis, Ayah."

"Siapa dia, Dinata? Sampai kamu sendiri yang merekomendasikan dia ke sana?"

"Ah, namanya Andini, dia gadis kecil yang cerdas namun bernasip buruk yang kutemui di pasar Bantar Serajo tadi pagi. Dia sangat kuat dan tegar mengingatkan saya dengan cerita-cerita Ayah tentang Ibu."

"Yah, kalau begitu terserah kamu saja, Dinata. Oh iya mengenai pencabutan bara kristal merah dari tangan kirimu, ayah dan paman Gandara telah berunding untuk melakukannya setelah seleksi tahap dua pemilihan putra mahkota. Bagaimana, apakah kamu sudah siap, Dinata?" Raja Indra menatap serius putranya.

"Iya, kapanpun saya siap. Seleksi tahap dua juga akan dilaksanakan besok, berarti pencabutannya besok atau besok lusa, Ayah?"

"Besok, Dinata. Malamnya setelah seleksi temui ayah di ruangan ini, ayah dan paman Gandara sudah menyiapkan hal-hal yang diperlukan. Ayah harap kamu akan baik-baik saja nanti."

"Iya, Ayah. Semua akan baik-baik saja jadi tenanglah. Oh iya, saya harus mengantarkan Andini ke tempat pendidikannya siang ini. Saya pamit pergi dulu, Ayah."

Pangeran Dinata kemudian keluar dari ruangan itu menuju tempat Andini yang tengah menunggunya.

Dalam ruang yang sangat tertata rapi, Andini tampak menatap setiap sudutnya dengan teliti. Gaun yang ia gunakan sekarang berwarna biru tua dengan motif abu-abu dan putih, tampak begitu anggun di tubuh Andina sangat cocok dengan rambut hitam terurainya.

"Andini, ayo kita pergi!!" Ucap Pangeran Dinata yang membuat gadis kecil cantik ini berdiri, berjalan membututi langkah Pangeran Dinata.

Tak banyak ucapan yang keluar seperti di pasar utama tadi dari mulut gadis cantik ini. Ia hanya diam dan memandang sekeliling. Hal ini membuat Dinata sedikit heran dengan apa yang ia pikir, "kamu kenapa diam saja, Andini?"

"Ah, tidak. Saya hanya sedikit gugup apakah saya bisa tahan hidup beberapa tahun dengan para bangsawan yang saya benci saat pendidikan nanti."

"Tentu bisa, kamu hanya perlu mengikhlaskan semua yang sudah terjadi dan bersyukur dengan apa yang kamu miliki sekarang. Tak usah ingat masa lalu yang sulit, teruslah melangkah ke depan, Andini."

"Yah, saya akan melakukan yang terbaik dan tidak akan mengecewakan Pangeran yang telah baik pada saya."