***
Saat Balges datang bersama tabib, mereka menemukan kamar yang kosong tanpa ada seorang pun di sana. Balges hanya menampakkan wajah sabar walaupun di dalam hatinya dia sedang mengumpat dengan menggebu-gebu.
"Tuan, Yang Mulia tidak ada?" tanya tabib yang membawa perlengkapan kesehatan. Sebenarnya Balges hanya ingin meminta obat tidur saja, tapi saat tersadar dengan kondisi pangeran selama beberapa hari ini, dia memutuskan untuk membawa tabib juga agar pangeran bisa diperiksa secara langsung.
Balges terkekeh masam dan menoleh ke arah tabib sambil tersenyum manis.
"Seperti yang anda lihat. Pangeran satu itu melarikan diri seperti belut yang amat licin."
Tabib itu terkejut dengan perkataan Balges.
"Be-belut ...?"
"Ya, belut. Dia benar-benar licin dan licik.
Astaga ... dia benar-benar menyusahkan."
Tabib itu menganga di tempat. Bagaimana bisa seorang ksatria mengucapkan hal seperti itu yang ditujukan untuk tuannya?
"Apa?" Balges menatap sengit pada tabib. Dia meluruskan wajah saat menyadari apa yang dipikirkan oleh pak tua itu. Dengan kekehan samar Balges menjawab, "Sayangnya kami berteman sejak kecil dan sudah terbiasa mengumpat satu sama lain."
Tiba-tiba matanya tertarik pada pena bulu yang diletakkan begitu saja di atas meja. Balges menaruh curiga dan menghampiri meja tersebut dengan tergesa-gesa.
Dia menemukan secarik kertas yang diletakkan di atas sana. Balges menarik sudut bibirnya sambil meremas kertas tersebut.
[Jangan rewel. Aku akan kembali, nanti.]
"Nantinya dia itu kapan? Saat Yang Mulia Raja kembali ke sini?" Balges mengacak-acak rambutnya dengan gemas.
"Tuan Ivan?"
Balges menatap tabib itu dan mengibaskan tangannya, mengusir sang tabib.
"Silakan kembali. Saya akan tetap berada di sini untuk menunggu pangeran."
"Baik, Tuan Ivan." Tabib itu berbalik untuk keluar dari kamar Gasendra.
"Oh!" seru Balges. Tabib itu memutar tubuhnya untuk menghadap Balges.
"Rahasiakan hal ini atau kita akan mati." Dia menggerakkan gesture tebasan di leher dan membuat sang tabib lari terbirit-birit memeluk erat perlengkapan kesehatannya.
***
Bruk!
Kedua insan itu terjatuh dengan saling mendekap. Wajah Arunika terlihat sangat terkejut dengan kejadian yang baru saja di alaminya, sementara Gasendra tetap santai dan masih bisa tersenyum dengan sialnya.
"Kau tak apa?"
"Hah?"
"Kau tak apa?" Gasendra menatap Arunika dengan sedikit khawatir. Takut-takut jika Arunika terbentur terlalu keras.
"... iya, tak apa."
Mereka saling bertatapan sebelum akhirnya terkekeh dengan kejadian tadi.
Tok, tok, tok
Mereka menoleh ke pintu kamar Arunika dengan terkejut.
"Anda baik-baik saja, Nona?"
Itu suara Gray. Arunika panik akan hal itu, bisa dilihat dari pupil matanya yang bergetar.
"Dijawab, Arunika," bisik Gasendra di telinga wanitanya.
Arunika bergidik geli dengan embusan napas Gasendra yang terasa jelas dan nyata di telinganya. Mata mereka kembali bertatapan dan Gasendra memberikan kode mata untuk segera menjawab pertanyaan dayangnya itu sebelum dia membuka pintu dan memastikannya secara langsung.
"Ya, a-aku baik-baik saja! Hanya ... tersandung karpet!" teriak Arunika dengan sedikit tergagap.
"Astaga! Akan saya panggilkan tabib. Nona tunggu sebentar."
Gasendra tertawa kecil mendengarnya. Namun, bibirnya segera ditutup dan diberikan delikkan mata oleh Arunika.
"Tidak! Ti–ahh!" Arunika semakin mendelikkan matanya saat Gasendra malah menjilat tangan yang menangkup bibir Gasendra.
"Nona?"
Arunika mencubit keras pinggang Gasendra dengan tangannya yang bebas.
"Aw!"
Dia menoleh ke arah pintu dan kembali berteriak, "Tidak usah! Tidak sakit sama sekali!"
"Hngh!" Arunika mengerang saat tangannya digigit dan dijilat lagi oleh Gasendra.
"Nona, apa benar anda baik-baik saja?" Kali ini Eni yang bertanya.
Arunika mengatupkan bibirnya dan memasang wajah galak pada Gasendra. Memperingatinya agar tak berbuat ulah terlalu jauh jika tak ingin tertangkap basah dan diusir oleh ayahnya.
Gasendra langsung menurut. Hanya saja ... tangannya yang menahan tubuh Arunika sejak tadi, mulai nakal merambat ke punggungnya.
"Baik! Tinggalkan aku!"
Setelah memastikan Gray dan Eni pergi dari depan kamarnya dengan situasi yang sulit, Arunika mendesah lega. Dia segera mencubit pinggang Gasendra dengan kencang sampai membuat pria itu berteriak dalam diam.
"Nakal!" kesal Arunika yang ditanggapi dengan kekehan kecil.
Pluk!
Gasendra menjatuhkan tubuhnya di atas Arunika dan menghirup wangi tubuhnya dengan puas.
"Maaf."
"... tidak ku maafkan," jawab Arunika. Dia berpikir jika Gasendra meminta maaf karena kenakalannya. Padahal maksud Gasendra bukan itu.
"Aku minta maaf karena baru datang sekarang," ulang Gasendra dengan suara yang mendecit. Dia khawatir jika Arunika benar-benar menunggunya karena janji yang waktu itu ia bisikkan.
Arunika terdiam sebentar. Dia tersadar dengan penantiannya menunggu Gasendra beberapa hari ini.
Menyadari Arunika yang tak menjawab permintaan maafnya dan malah diam menatapnya dengan kosong. Gasendra pun bergeming, kemudian melanjutkan kembali ucapannya.
"Aku sulit keluar karena ritual sebelum pernikahan dan juga penjagaan yang sangat ketat. Yang Mulia Raja memerintahkan pada mereka untuk menjagaku agar tak kemana-mana, apalagi untuk menemuimu."
Arunika mengangguk dan berkata, "Lanjutkan." Dia ingin mendengar cerita Gasendra yang berpisah dengannya selama beberapa hari ini.
"Itu terasa sesak karena aku selalu dibatasi di manapun dan kapanpun. Bahkan saat mandi pun ditunggu oleh para pesuruh."
Hal itu membuat Arunika menaikkan sebelah alisnya. Bukankah hal itu wajar untuk para bangsawan? Gasendra menyadari wajah bertanya Arunika, kemudian segera menjawab.
"Aku selalu mengusir para pesuruh yang menungguku mandi. Memangnya aku masih anak kecil?" sungut Gasendra dengan wajah frustasinya.
Terdengar kekehan kecil dari wanita yang berada di bawahnya. Gasendra makin bersungut-sungut karena ditertawakan oleh wanitanya.
"Lalu bagaimana kau bisa datang ke sini, Tuan?"
Gasendra tidak menjawab, dia malah mengecup kedua pipi Arunika yang membuat empunya terkekeh geli karena terkena rambut halusnya.
"Aku berpura-pura sakit dan meminta Balges memanggilkan tabib. Lalu saat penjagaan mengendur, aku melompat lewat jendela dan kabur." Gasendra menjatuhkan dirinya di atas Arunika. "Untuk bertemu dirimu saja terasa sulit. Seperti sedang menjadi tawanan perang saja."
"Dasar licik. Lalu tawanan perang apanya? Kita kan hanya sedang dipingit," ejek Arunika tersenyum lebar.
"Hngg, sepertinya hanya kau yang senang dipingit."
"Tidak juga," jawab Arunika dengan pelan. "Omong-omong kau berat, Gasendra. Bisakah kita berpindah tempat?" Arunika menarik pakaian Gasendra dari balik pelukannya. Dia melakukan hal itu untuk mengalihkan perhatian Gasendra agar tak bertanya lebih lanjut.
Dia tersenyum nakal dan menjawab, "Tentu saja bisa."
Tanpa aba-aba Gasendra memeluk Arunika dan memutar tubuhnya untuk bertukar posisi dengan Arunika. Dan puff! Dalam sekejap, Arunika yang masih terkejut sudah berada di atas Gasendra dengan posisi wajah yang bersembunyi di balik dada Gasendra.
Arunika mendongak dengan cepat, bersiap untuk protes.
"Kau gila, ya ...?" Dia tambah terkejut saat wajahnya dengan Gasendra yang hanya berjarak beberapa senti saja. Ditemani dengan remang-remang cahaya bulan yang masuk lewat jendela dan sunyinya keadaan, Gasendra mengecup pelan bibir Arunika.
Sang gadis terkejut dan menutup rapat-rapat bibirnya. Matanya membola, menatap Gasendra yang berada di bawahnya.
"Kau terkejut?" tanya Gasendra di sela-sela keheningan mereka. Gasendra mempertahankan seringai nakalnya sambil menatap sang gadis. Posisi mereka sangat sempurna untuk melakukan itu dan tentu saja Gasendra tak akan melewatkan kesempatannya.
Mata Arunika berlarian ke sana-ke mari. Dia menjawab dengan terbata-bata. "Wa-walau sudah sering, ta-tapi aku tetap terkejut tau!"
Gasendra tertawa lebar-lebar saat mendengarnya. Itu tak berlangsung lama karena Arunika meletakkan jari telunjuk di bibir Gasendra dan mendelikkan mata padanya.
"Jangan tertawa terbahak-bahak atau Eni dan Gray akan memergoki kita!" peringat Arunika padanya.
Gasendra membuka mulutnya dan menggigit ujung jari telunjuk Arunika yang bertengger di sana. Tangannya menjadi gemetar dengan perbuatan kekasihnya.
"A-a-apa yang kau lakukan?" Arunika memprotes setelah menarik telunjuknya.
"Hanya menggodamu saja," jawab Gasendra cepat.
Arunika mendesah kasar dan bersembunyi di balik dada Gasendra.
"Dasar penggoda wanita," cibir Arunika dengan suara bergetar.
"Hanya padamu, Sayang ...," bisik Gasendra yang diikuti dengan tangannya yang menjalar ke punggung dan pinggang Arunika.
Arunika mendongak dan menatap Gasendra dengan wajah yang sudah memerah.
"Berhenti menggodaku, Gasendra!"
Dia terkekeh kasar. Melancarkan serangannya, Gasendra mengusulkan sesuatu yang gila dan mungkin akan membahayakan mereka jika tertangkap oleh orang-orang Arya.
"Jadi, bisakah kita tidur bersama malam ini?"
———