webnovel

Pangeran Berkuda Putih

Chelsea akhirnya menceritakan awal mula pertemuannya dengan Glen. Perempuan itu sudah memantapkan diri jika dia harus mengorek luka lama yang ternyata masih belum kering.

Rasanya sangat menyakitkan saat harus mengingat kembali perlakuan ayah tirinya yang biadab. John yang sengaja mendekati mendiang ibu Chelsea demi bisa mendapatkan Chelsea sebagai miliknya sendiri. Pelecehan yang hampir saja terjadi padanya, hingga memaksanya kabur dari rumah.

"Kamu kabur setelah mengira ayah tirimu mati?" Henry bertanya dengan nada ngeri yang tidak ditutup-tutupi. "Dan kamu ditabrak kendaraan sampai terpental?"

Chelsea mengangguk. Bayangan kematian yang dirasakannya saat itu masih terasa sangat nyata hingga kini. Dia kembali melanjutkan cerita tentang Glen yang menemukannya dan membawanya ke rumah sakit.

Sejak itu mereka jadi dekat dan memutuskan berkencan. Itu awal mula hubungan mereka, hingga Chelsea memutuskan berpisah. Untuk kedua kalinya dia menceritakan tentang proses perjuangannya berada di antara hidup dan mati. Dan Glen-lah jangkar bagi Chelsea untuk kembali ke dunia ini.

"Oh, astaga. Kisah cintamu dramatis sekali." Diane terperangah takjub setelah Chelsea menyelesaikan ceritanya.

"Begitulah." Chelsea mengembuskan napas panjang.

Aneh. Ada perasaan lega saat dia berhasil menuntaskan cerita yang bertahun-tahun dipendamnya seorang diri. Seolah beban berat perlahan terangkat dan membuat hatinya terasa nyaman.

Kelegaan Chelsea makin menjadi saat dia melihat reaksi dua sahabatnya. Mereka menerima tanpa melakukan penghakiman. Bahkan pelukan dari Diane sontak membuka bendungan air mata Chelsea.

Isak lirih terdengar dari dekapan Diane. Seragam kerja Diane basah oleh air mata. Namun, perempuan itu tidak peduli. Diane terus mengusap-usap punggung Chelsea, sama sekali tak menyangka jika pemilik kafe dan bakeri tempatnya bekerja ternyata menyimpan beban sangat berat.

Lewat ekor matanya, Diane menyuruh Henry pergi. Lelaki itu patuh. Henry butuh melakukan sesuatu untuk meluapkan rasa sesaknya sendiri.

Cerita Chelsea mengguncang jiwa lelaki muda itu. Selama ini Chelsea Halderman yang dikenalnya adalah sosok periang dengan kehidupan serupa malaikat, yang jujur saja sempat membuatnya iri.

Masih berusia muda, cantik, mampu memiliki rumah toko di wilayah strategis Brisbane, bahkan mampu menggaji dua pegawai dengan nominal yang relatif tinggi. Henry selalu mengira kehidupan Chelsea baik-baik saja.

Langkah Henry terus terarah ke luar kafe. Dia menuruni tangga kecil dari papan kayu. Sepatu ketsnya segera bertemu batu-batu alam yang digunakan untuk menghiasi jalan setapak Cacaote.

"Di mana si brengsek Glen itu?" Henry berkacak pinggang.

Beruntung pagi hari itu belum ada pengunjung kafe. Henry jadi punya kesempatan untuk mempersiapkan diri guna menginterogasi Glen.

Pandangannya menyapu sekeliling. Jalan raya tidak banyak dilewati kendaraan bermotor. Namun, trotoar sudah mulai dipenuhi pejalan kaki. Cuaca sejuk dan angin yang berembus semilir merupakan surga bagi wisatawatan Brisbane yang ingin menikmati keindahan pagi di salah satu kota tertua Australia itu.

"Chels bilang, calon suaminya sedang belanja di minimarket dekat sini. Hah, lelaki itu pasti sedang mencoba menghindariku dan Diane. Pengecut."

Henry kembali mengedarkan pandangan ke sekitar. Dia bertanya-tanya di bagian mana Glen mencoba kabur dengan alasan tengah berbelanja ke minimarket.

Saat itulah Henry melihat sosok jangkung dengan wajah dan kulit khas Asia Tenggara berjalan santai ke arah Cacaote. Dua lengannya memeluk satu kantong kertas besar. Sementara dua tas plastik tergantung di salah satu siku.

Semakin mendekat ke arah Henry, siulan Glen juga makin terdengar keras. Henry tidak mengenal lagu yang didendangkan pria itu. Namun, dari melodinya dia tahu jika lagu tersebut berjenis riang penuh semangat.

"Hai, Henry," sapa Glen ramah. "Sudah ada pelanggan?"

"Belum." Yang ditanya menggeleng. "Kita perlu bicara."

Langkah Glen terhenti di tengah jalan. Dia mengamati ekspresi serius di wajah rekan kerjanya. Satu pemahaman melintas di benak lelaki itu.

"Soal Chelsea?" tanya Glen lembut.

Henry mengangguk. Wajahnya murung. Lelaki itu mengedikkan dagu ke arah jalan raya. "Kita bicara di luar."

"Kafe bagaimana?"

"Ada Diane. Jam seperti ini pelanggan belum terlalu banyak. Dia bisa handle sendirian."

Glen memberi isyarat untuk minta waktu meletakkan belanjaan. Henry menganggukkan kepala. Tidak sampai semenit kemudian dua lelaki itu sudah berjalan meninggalkan Cacaote.

"Apa kau ingin menanyakan keseriusanku pada Chelsea?" tanya Glen blak-blakan dalam bahasa Inggris.

"Rupanya kau sudah tahu." Henry memasukkan tangan ke saku celana jin.

Langkahnya panjang-panjang dengan sorot mata lurus ke depan. Musim gugur kali ini terasa menyenangkan dengan aroma daun yang mulai hancur terkena injakan kaki orang-orang.

"Aku menyadari interaksi kalian bertiga. Chelsea beruntung karena memiliki teman-teman seperti kalian."

Henry menghentikan langkah. Dia segera menepi saat serombongan orang yang memanggul tas ransel besar berjalan berlawanan arah dengannya.

"Kau melihat hanya sepintas," ujar Henry murung. Pria itu menghadap ke arah lawan bicaranya. "Kau belum melihat kami secara tuntas."

"Memangnya ada bedanya?" Glen menaikkan alis. Dia bersandar nyaman ke tembok satu toko pakaian.

"Banyak. Salah satunya adalah Chels bukan hanya bos bagiku dan Diane," ujar Henry tegas.

Senyum di wajah Glen pudar. Lelaki itu mulai berdiri tegak. Dadanya tanpa sadar membusung. "Kau sedang mengancamku, Brother?"

"Bagus jika kau langsung sadar. Aku tak perlu repot-repot mengajari orang bebal tentang arti Chels bagiku."

Henry maju selangkah. Posisinya semakin dekat dengan Glen. Mata lelaki itu berkilat-kilat. "Jangan pernah sakiti hati Chels."

Rahang Glen mengencang. Lelaki itu berusaha memberikan sedikit senyum pada Henry yang menguarkan hawa kelewat dingin.

"Apa ini artinya acara bicara kita sudah selesai?"

"Brengsek kau, Glen." Lelaki asli Australia itu meeradang. "Kenapa kau datang seperti badai? Apa kau tahu bagaimana perasaan Chels sekarang?"

"Aku sangat tahu. Jauh lebih tahu dibanding kalian." Glen menganggukkan kepala. "Karena itu aku berani meminta dia jadi istriku. Chelsea lebih aman bersamaku."

"Apa maksudmu aman? Apa kami tak bi—"

"Ya, kalian tak bisa memberi jaminan keamanan pada Chelsea." Lelaki itu memotong dengan nada suara datar. Intonasi Glen masih tetap santai, meski sorot matanya berubah tajam dalam hitungan detik.

"Dengarkan aku, Glen. Ada bahaya di luar sana yang mengancam jiwa Chelsea. Aku asumsikan, kau dan Diane sudah mendengar tentang buronan yang kabur dari salah satu penjara Australia."

Henry bengong. Mulutnya terbuka lebar membentuk huruf o besar. Untuk beberapa detik, lelaki itu tidak mengeluarkan suara. Sampai kesadaran menghantamnya telak.

"John Smith," desisnya pelan.

Glen mengangguk. "Benar. Ayah tiri Chelsea kabur dari penjara. Mengingat alasan dia dijebloskan ke jeruji besi, aku yakin John akan memburu Chelsea sampai dapat."

Wajah Henry dengan cepat memucat. Dia bergerak hendak meninggalkan tempat itu. Namun, Glen lebih dulu mencekal tangannya.

"Jangan pergi ke tempat Chelsea sekarang," pinta Glen dalam nada lebih lembut. "Selama ada orang di dekatnya, Chelsea masih aman. Ada Diane di sana, kan?"

Henry menepis cengkeraman Glen. Lelaki itu menatap sengit ke arah lelaki yang digadang-gadang akan menjadi calon suami bosnya.

"Karena kau sudah tahu apa yang terjadi, aku butuh bantuanmu, Henry." Lelaki itu berkata sungguh-sungguh. "Apa kau bersedia mengabulkan permintaanku?"