Pernikahan kontrak.
Chelsea sudah beberapa kali berada di situasi yang bisa dibilang tidak bisa dilogika. Dia pernah dua kali berada di ambang kematian. Yang terakhir malah membuatnya bisa mengalami keajaiban dengan hidup kembali setelah benar-benar berada di titik kematian.
Jadi, satu hal konyol lain yang mampir ke kehidupannya tidak serta merta membuat Chelsea kaget. Dia hanya sedikit terkejut karena ide itu benar-benar muncul dari mulut Glen, orang yang notabene merupakan alasannya hidup kembali.
"Bagaimana, Chels?" tanya Glen lagi dengan suara lembut.
Chelsea mengembuskan napas panjang. Ketakutan tentang John sirna sejenak. Pandangan wanita itu melekat erat pada Glen yang duduk tepat di sebelahnya.
"Biar aku pertegas lagi," ucap Chelsea alih-alih menjawab pertanyaan pria di hadapannya.
"Kamu minta aku menikah denganmu, dalam hal ini adalah pernikahan pura-pura, untuk menciptakan win-win solution?"
Glen mengangguk.
"Setelah kita menikah, kamu akan mengajakku kembali ke Indonesia untuk menunjukkan pada ayahmu tentang hubungan kita agar tidak digerecoki lagi soal pertunangan dengan Mita?"
Sekali lagi Glen mengangguk.
"Dan sebagai menantu kesayangan keluargamu, aku pasti akan mendapat fasilitas pengawalan pribadi yang bakal melindungiku dari John?"
Untuk ketiga kalinya Glen mengangguk.
Helaan napas berat Chelsea terdengar. Kepala mungil itu menggeleng-geleng.
"Sinting kamu." Hanya itu kalimat terakhir yang berhasil lolos dari kerongkongan Chelsea.
"Chels, dengar dulu …."
"Tidak, kamu yang harus mendengarkan aku." Chelsea memotong perkataan Glen sangat cepat. Dia bersedekap, membuat jarak aman dengan lelaki itu karena Chelsea butuh ruang untuk bernapas.
"Bagaimana caramu membuat pernikahan ini palsu?" Perempuan itu bertanya dengan nada tegas.
Glen menelengkan kepala. "Tentu saja kita akan menikah di Catatan Sipil. Kita tidak membuat pernikahan palsu, Chels. Kita benar-benar menikah di hadapan Tuhan dan negara."
Chelsea mengernyitkan dahi.
"Setelah satu atau dua tahun, terserah berapa lama kamu menginginkannya, kita akan berpisah. Perceraian itu akan dibuat secara alami. Orang-orang tidak boleh tahu jika kita sudah mengatur perpisahan itu sejak sekarang."
Chelsea membeku. Suaranya terdengar sangat dingin.
"Hanya satu atau dua tahun? Bagaimana jika aku menginginkan pernikahan seumur hidup denganmu?"
Glen tertawa kecil. Sinar hangat di mata lelaki itu melumerkan hati Chelsea.
"Tidak akan. Aku tak ingin menjebakmu dalam komitmen yang sangat berat ini. Kamu akan bebas setelah menikah denganku, Chels."
Dini hari itu terasa sangat mencekam bagi Chelsea. Dia sudah kehilangan kata-kata. Ucapan terakhir Glen membuatnya patah hati seketika.
Konsep pernikahan yang dilakukan atas dasar cinta ternyata tidak berlaku bagi Glen. Lelaki itu sangat gampang membuat perjanjian sakral menjadi sebuah perjanjian bisnis semata. Apalagi Glen begitu sok tahu dengan Chelsea sampai membuat keputusan sepihak jika perempuan itu tidak akan bahagia dengan pernikahan permanen.
"Sialan." Chelsea tidak sadar mengumpat.
Alis Glen terangkat tinggi. "Kamu tak setuju dengan tawaranku ini?"
Chelsea langsung memelotot galak ke arah Glen. Bibirnya hendak mengeluarkan serentetan omelan, tetapi perempuan itu mengurungkan niat.
Sebagai gantinya dia malah melontarkan pertanyaan yang disambut Glen dengan jawaban menohok hati. "Apa kamu akan bahagia dengan rencana ini, Glen?"
"Tentu, Chels. Ini adalah solusi terbaik untuk permasalahan kita berdua."
Ada keheningan panjang terjadi. Waktu yang hanya sekelumit itu digunakan Chelsea untuk membuat keputusan. Ada banyak pertimbangan sebelum dia mengiakan atau menolak permintaan Glen.
Perempuan itu kembali ingat pada tujuannya kembali ke dunia ini. Berada di ambang maut, Chelsea telah berjanji sekuat hati, amat sangat kuat hingga Tuhan berkenan mengabulkan permintaannya, untuk membuat Glen bahagia.
Sebab Glen adalah malaikat penolong dalam kehidupan Chelsea.
Perempuan itu menghela napas berat. Dia tidak akan mempermasalahkan jika dirinya yang harus tersakiti. Kali ini Chelsea harus mendukung sepenuhnya kebahagiaan Glen. Dia adalah support system bagi kehidupan lelaki itu.
"Oke, aku setuju," ucap Chelsea akhirnya setelah terdiam lima menit penuh.
Mata Glen berbinar. Senyum tersungging di wajah tampan itu. Spontan Glen meraih Chelsea masuk pelukan.
"Terima kasih, calon istriku."
Bibir Chelsea tersenyum pahit mendengar perkataan Glen. Lelaki itu sangat mudah mengucapkan calon istri tanpa perasaan apa pun. Chelsea meringis perih.
Sepertinya dia sudah bisa menebak pernikahan macam apa yang akan dilakoninya nanti. Sedih, datar, dan mengenaskan.
**
"Tunggu dulu. Apa kau bilang? Menikah?"
Chelsea pura-pura sibuk menata piring-piring kue kecil di rak bawah etalase. Pandangannya tak sedikit pun beranjak dari benda beling yang dibelinya dengan sangat hati-hati itu.
"Chels, jangan bercanda." Diane menarik bahu bosnya. "Ayo, jawab yang jelas pertanyaanku dan Henry."
Di depan etalase, lelaki jangkung yang masih berstatus mahasiswa itu memelototkan mata. Dia membuat gerakan mengiris di depan leher yang ditujukannya pada sang rekan kerja.
Namun, Diane cuek. Dia memang sengaja menumbalkan Henry karena lelaki itu hanya terus diam sejak Chelsea mengumumkan rencana pernikahannya beberapa menit lalu.
"Kalian sudah dengar, kan?" Chelsea balik bertanya. Sorot matanya terlihat letih alih-alih bahagia. "Aku akan menikah dengan Glen."
Kening Diane terlipat-lipat. Instingnya mengatakan sesuatu yang buruk telah terjadi. Pasalnya ekspresi Chelsea saat ini jauh dari raut muka calon pengantin yang berbahagia.
"Chels, katakan apa yang terjadi. Kami akan melindungimu." Henry akhirnya angkat bicara.
Lelaki itu juga merasakan hal yang sama seperti Diane. Aura kebahagiaan pasangan yang berbahagia karena hendak menyongsong hari bahagia sama sekali tak terlihat di wajah Chelsea.
Wanita itu justru terlihat mengenaskan. Raut muka putus asa tergambar jelas di wajahnya. Chelsea bahkan terlihat murung sembari membereskan peralatan jualan.
"Tidak ada apa-apa. Sungguh." Chelsea berusaha memberikan senyum terbaiknya.
Sayang, dua pegawai yang telah menjadi anggota keluarga tidak resmi Chelsea sama sekali tidak mempercayai perkataan perempuan itu. Firasat mereka tidak henti mengatakan sesuatu yang buruk pasti telah terjadi.
"Chelsea?" tanya dua orang itu berbarengan.
Yang ditanya mengerucutkan bibir. Dia menatap ke arah Henry dan Diane. Dua pegawai, dua sahabat, dan dua keluarganya terlihat penasaran. Sejejak rasa khawatir tergambar di wajah mereka.
"Aku baik-baik saja. Serius." Chelsea berusaha mengeluarkan tawa tercekik.
Segumpal rasa panas menyumbat tenggorokannya. Chelsea berusaha keras menahan ledakan air yang mengumpul di pelupuk mata.
"Aku hanya … masih terkejut." Kali ini wanita itu berkata jujur. Pandangannya mendongak. "Tidak setiap saat aku dilamar seseorang. Apalagi aku sudah melajang sangat lama."
Diane dan Henry bertukar pandang penuh arti. Mereka tahu persis kehidupan asmara Chelsea yang teramat gersang. Bahkan sejak bekerja di Cacaote, dua orang itu sama sekali belum pernah melihat bos mereka berkencan.
Tahu-tahu pagi ini mereka mendapat kabar jika Chelsea akan menikah. Seolah belum cukup kekagetan mereka, sang big boss menyatakan jika dia akan menikah dengan Glen si pegawai baru Cacaote.
"Kau tak sedang diancam, kan?" Henry bertanya dengan tatapan menyelidik.
Chelsea membulatkan bola mata. Tawanya pecah berderai. "Astaga, kenapa sikap kalian seperti ini? Harusnya kalian senang karena aku akan menikah." Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Tapi ini terlalu mendadak." Henry masih bersikeras. "Kamu tak terlihat—"
"Dia pacar lamaku," sela Chelsea sebelum lelaki di hadapannya menyelesaikan kalimat.
Dua kepala serentak menoleh saling bertukar pandang. Diane menggigit bibir. Henry mengernyitkan dahi.
"Oke, Chels. Ini mulai tak lucu lagi. Ceritakan pada kami sekarang juga. Jangan ada yang ditutupi."