webnovel

Jauh Lebih Penting Dari Hanya Sekedar Memilih Gaun

Sudah dua hari sejak Arya bicara dengan Sariel diruang keluarga waktu itu. Arya selalu memikirkan Sariel hingga membuat pekerjaannya sedikit berantakan. Bahkan pria paruh baya tersebut kerap melamun saat sedang ada rapat bulanan. Tidak biasanya ia bersikap begini dan tidak biasanya ia memikirkan gadis tersebut.

Kali ini pun ia masih memikirkan Sariel. Ingin rasanya menemui wanita yang hidup bersamanya tersebut, tetapi tidak pernah seatap dengannya. Tetapi ia tidak ingin melihat wajah Sariel yang sama persis dengan wajah istri pertamanya tersebut. Ada kebencian yang melekat didadanya, walaupun wanita itu sudah pergi untuk selamanya.

Berulang kali ia meyakinkan hatinya agar mampu bertatap muka dengan Sariel, tetapi yang ada justru rasa benci dan marah yang menyelimuti dirinya. Tak mampu menampik kalau Sariel memang sangat dibenci olehnya. Sesungguhnya, Arya tidak ingin melakukan semua itu pada Sariel tetapi karena perlakuan istrinya dulu, maka menuai kebencian pada hasilnya.

"Tuan. Jadwal anda setelah ini adalah bertemu dengan klien kita dari Kotim."

Arya terhenyak saat mendengar suara asistennya. Ia tak menyadari masih ada dua orang yang berdiri didekatnya. Bagaimana mungkin ia tidak konsentrasi bekerja begini. Sungguh bukan dirinya sama sekali. Tangannya bergerak mengusap wajahnya pelan.

"Wakilkan pertemuan kali ini. Aku ada pekerjaan yang mendesak!"

Arya langsung berdiri dengan sigap sambil meraih handphone yang tergeletak di atas meja kerjanya.

"Tapi tuan... Pertemuan kali ini sulit untuk diwakilkan karena beliau adalah orang yang sangat cerewet," sanggah Duan.

Arya mendelik tak suka pada bawahannya tersebut karena sudah berani menegur dirinya. Dengan cepat mereka segera menunduk dengan wajah gelisah.

"Memangnya kalian aku pekerjakan untuk apa?" Arya mendesis dengan tatapan dingin sembari membanting pintu ruangan miliknya meninggalkan asistennya yang terpaku ditempatnya.

Langkahnya tampak tergesa berjalan menuju mobil yang sudah terparkir didepan lobi kantornya. Ia bermaksud ingin menyambangi kediaman keluarga Sarmawan. Mempercepat acara pernikahan yang diusulkan oleh istrinya.

Tak ingin menampik, ada sedikit rasa khawatir kalau Sariel justru berlari kearah lelaki yang dinyatakan gembel oleh Rohana. Khawatir akan bisnisnya yang tidak ada penyokong lagi. Biarlah ia dikatakan memanfaatkan anak gadis tersebut. Toh memang benar kenyataannya.

"Selamat pagi, Sarmawan," sapa Arya begitu ia sudah duduk berhadapan dengan Sarmawan. Senyumnya tampak mengembang saat lelaki tua yang seumuran dengannya menunggu dirinya.

"Selamat pagi. Ada apa kamu datang kemari pagi-pagi begini, calon besanku?" sambut Sarmawan dengan wajah cerah. Tak menampik bahwa dia juga sangat senang atas kedatangan Arya padanya.

"Saya hanya ingin membicarakan tentang pernikahan antara Sariel dan Evan," sahutnya tenang.

"Apakah kamu menginginkan sesuatu tentang keduanya? Ataukah ada masalah diantara keduanya?"

Arya menggeleng cepat.

"Saya hanya menginginkan agar pernikahan mereka berdua dipercepat."

Sarmawan tertawa setelahnya. Ia menatap Arya dengan menyipitkan kedua matanya.

"Tentu saja aku juga menginginkan hal yang sama. Aku sudah lama menunggu keduanya untuk mengucap ijab Qabul."

Sarmawan tertawa renyah membuat Arya ikut senang melihatnya.

"Tidak ada orang tua yang tidak menginginkan kebahagiaan anaknya, bukan?"

Arya langsung terdiam, menghentikan tawanya. Ia menyimpan rasa tak nyaman dihatinya.

"Tentu saja semua orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya," sahutnya tenang.

***

Sariel mendapatkan sebuah pesan dari ayahnya, bahwa sore ini ia akan memesan sekaligus mengepas gaun pernikahan dengan Evan. Dan Evan sudah diberitahukan terlebih dahulu untuk menjemputnya sehingga mereka bisa bersama-sama menuju butik tersebut.

Sariel terhenyak mendapat pesan singkat tersebut. Ia sangat terkejut karena mereka akan mempercepat pernikahannya dengan Evan. Sedangkan Sariel baru saja memprotes hubungannya dengan Evan dan berniat ingin membatalkannya.

Segera ia menutup handphone miliknya dan melemparnya sembarang. Ia harus bergerak sebelum pernikahan tersebut benar-benar terjadi.

Tidak lama kemudian handphonenya kembali berdering. Dengan gerakan malas, Sariel kembali meraih dan membuka pesan via WhatsApp tersebut.

Evan memintanya untuk datang sendiri karena ia masih sibuk dengan pekerjaannya. Membuat Sariel menghela napas berat sambil memijit pelipisnya pelan.

"Sariel!"

Leni langsung masuk kedalam kamarnya sambil menatapnya dengan segaris senyum. Membuat dahi Sariel berkernyit penuh curiga. Karena tak biasanya Leni bersikap seperti itu padanya. Terlihat manis dan sopan.

"Ada apa?" tanya Sariel acuh.

"Cepat bersiap. Aku yang akan mengantarmu ke butik. Bukankah papa sudah memberitahumu mengenai pemesanan gaun pengantin hari ini."

Sariel tak menjawab, ia hanya diam menatap Leni penuh curiga.

"Ayolah... Aku yang akan mengantarmu. Jangan menatapku dengan penuh curiga seperti itu. Aku tidak punya niat jahat padamu." Leni berdecak beberapa kali masih diiringi dengan senyum manisnya.

"Baiklah," sahut Sariel berdecak tak suka. Ia bergerak cukup lambat. Sariel tak heran melihat Leni yang cepat tahu kabar tersebut. Ia yakin kalau Evan yang sudah meminta hal tersebut padanya. Lelaki itu bahkan tak segan menganggap Leni sebagai adik iparnya sendiri dan lebih akrab dibanding dirinya.

"Cepat!" gertak Leni menghentakkan sebelah kaki kanannya melihat Sariel yang bergerak lambat. Ia mendorong Sariel kearah kamar mandi. Merasa jengah melihat Sariel yang sangat enggan untuk bersiap-siap.

Setelahnya ia bersorak senang saat menyadari tidak ada lagi penghalang dirinya untuk mendapatkan Andre. Leni segera mengubah sikapnya kembali saat pintu kamar mandi kembali terbuka. Tatapannya tampak biasa dengan bibir yang kembali mengulas senyum. Ia merasa sangat bahagia karena sudah hampir berhasil menyingkirkan rintangan yang menghalangi jalannya untuk mendapatkan Andre.

"Aku akan menunggumu diluar. Jadi, cepatlah bersiap!" ucapnya begitu Sariel sudah berdiri dihadapannya.

Sariel hanya diam mendelik kearah Leni. Ia masih malas untuk bertemu dengan Evan. Apalagi dirinya masih belum menyelidiki hubungan Evan dengan wanita yang dimaksudnya sebagai sepupunya tersebut.

Setengah jam kemudian, Sariel sudah siap dengan penampilannya yang cukup sederhana. Ia berjalan menghampiri Leni yang sedang menunggu dirinya.

Lagi-lagi Leni memberikan senyum yang misterius bagi Sariel, tetapi ia tak menggubrisnya sama sekali karena ia yakin wanita itu sama sifatnya dengan Rohana.

Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit lamanya, mereka akhirnya tiba di butik 'Feiya'. Butik yang sangat terkenal dan sangat besar di kota Banjarmasin. Sariel segera masuk kedalamnya sambil sesekali matanya bergerak memperhatikan gaun-gaun indah yang terpajang di etalase.

Bukannya ia merasa senang melihat gaun tersebut, Sariel justru merasakan kegundahan dan perasaan yang menyesak. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. Bahkan saat ia melihat keharmonisan Leni bersama ayah kandungnya.

"Selamat pagi, Nona Danuarta," sambut wanita paruh baya pemilik butik tersebut. Menatap keduanya dengan ramah dan bergantian. Senyum mengembang di bibir tipisnya.

"Nona yang mana yang akan memesan gaun kali ini?"

"Ini orangnya," sahut Leni cepat sembari mendorong Sariel pelan. Sariel mengangguk seiring dengan senyum yang mekar dibibir merahnya.

"Wah, nona terlihat sangat cantik dengan bentuk tubuh yang proporsional," tambah sang pemilik butik hingga membuat Sariel tersenyum tipis kembali.

"Panggil saja saya Eda," sahutnya sambil meraih bahu Sariel.

"Kalau begitu mari kita kedalam, Nona Danuarta."

"Panggil Sariel saja," sahut Sariel cepat.

"Ya nona Sariel. Nona bisa melihat-lihat dulu didalam sambil menunggu calon suami Nona datang."

Sariel mengangguk pelan sambil matanya berpaling menatap Leni yang tampak antusias memilih gaun pengantin. Bahkan wanita itu terus meraba setiap helai gaun tersebut bergantian. Seperti dirinya saja yang ingin menikah. Hingga melupakan keberadaan Sariel didekatnya dan juga tugas utamanya yang menemani Sariel memilih gaun.

Namun, secara tidak sengaja mata Sariel menatap kearah luar bertepatan dengan sebuah mobil Pajero hitam yang berhenti di halaman butik tersebut.

Sariel sangat mengenal mobil tersebut, itu adalah milik tunangannnya. Tetapi yang membuatnya terkejut justru yang keluar dari dalam mobil tersebut adalah seorang perempuan dengan rambut pirang yang dilihatnya beberapa hari lalu. Evan tampak bersikap manis padanya, membukakan pintu mobil untuk wanita tersebut.

Sariel merasakan seluruh tubuhnya dingin bahkan bergetar. Ia masih tak percaya dengan ucapan Evan tempo lalu. Jelas, ia cukup mengenal perempuan tersebut, dia adalah Lusi temannya sewaktu SMA.

Sariel tak menyangka kalau kesibukan yang dimaksud oleh Evan adalah berkencan dengan perempuan lain. Bahkan dihari mereka memilih gaun untuk hari yang sakral bagi mereka.

Sariel masih melihat kalau lelaki itu tampak menggandeng mesra perempuan tersebut. Kemudian mengecup sekilas bibir wanita tersebut. Mereka terlihat berjalan kearah jalan raya. Evan tampak melambai sebuah taksi hingga berhenti tepat dihadapan mereka. Kemudian ia kembali mengecup dahi wanita tersebut sebelum perempuan itu masuk kedalam mobil.

Sariel tak mampu memalingkan wajahnya saat Evan masuk kedalam butik tersebut. Ia merasa malu sudah dikhianati secara nyata seperti ini. Ia merasa sangat bodoh karena tak berani mengambil langkah sendiri. Sudah seharusnya ia terusir dari rumah tersebut daripada ia menanggung sakit seumur hidupnya.

Lelaki itu cukup terkejut melihat tatapan Sariel yang dingin. Tetapi segera mengumbar senyum manis saat pandangan mata keduanya terpaut. Wanita itu sama sekali tak bergerak dari posisinya.

"Sayang, bagaimana? Apakah kamu sudah menentukan gaun yang mana yang akan kamu pakai?" ucapnya sembari ingin meraih kepala Sariel. Tetapi wanita tersebut justru menghindarinya.

Evan berdehem, melirik kearah pemilik butik yang memperhatikan interaksi mereka berdua.

"Sepertinya Nona Sariel gadis yang pemalu," sahut Eda.

Evan tertawa renyah mendengarnya sambil memperhatikan Sariel yang masih menatapnya dingin. Ia yakin Sariel sudah melihat semuanya. Disatu sisi ia sudah merasa sangat nyaman saat bersama Sariel. Tetapi disisi lain, hatinya justru terpaut pada wanita lain. Sehingga Evan merasa sangat tidak berdaya saat Lusi justru memberikan penawaran untuknya. Penawaran yang justru membuat keduanya melupakan orang yang sudah menjadi tunangannya.

Dering handphone Sariel membuat lamunan Evan buyar. Ia menatap Sariel penuh tanya. Tetapi wanita itu justru mengacuhkan dirinya.

"Angkat dulu telponnya. Siapa tau itu hal yang penting," sahut Eda saat melihat Sariel yang menatap lama handphonenya.

Sariel mengangguk dan segera mengangkat telpon yang berasal dari Dito. Ia sengaja memberi nomor handphonenya tempo lalu atas permintaan lelaki tersebut.

"Ya, ada apa Dito?"

Evan menatap Sariel penuh curiga saat wanita tersebut menyebut-nyebut nama lelaki dalam panggilannya. Tetapi ia berusaha untuk mengontrol emosinya.

"Baik. Saya akan segera kesana. Tolong kamu pastikan dulu dimana keberadaan Bello. Setelahnya beritahu saya. Biar saya yang akan menemui dan membujuknya," sahut Sariel mengakhiri panggilannya. Ia tampak mendesah pelan sembari berbalik menghadap Eda.

"Nyonya, sepertinya saya benar-benar tidak bisa memilih gaun pengantin hari ini," ucapnya melirik pada Evan. Lelaki itu tampak kesal.

"Saya ada pekerjaan mendesak yang lebih penting."

Evan tampak tak terima mendengarnya. Hampir saja amarahnya memuncak. Ia rela meninggalkan Lusi demi Sariel. Tetapi Sariel justru menundanya demi hal yang tidak ia ketahui.

"Semendesak apa hal yang kamu maksud itu. Apakah lebih penting daripada masa depan kita berdua?" Evan menahan emosinya.

"Aku sudah meluangkan waktuku yang sangat berharga untukmu. Lalu semudah inikah kamu membatalkannya?"

Sariel diam sebentar, ia mencoba bersikap lembut pada Evan. Tak ingin memperkeruh suasana yang justru memperlambat dirinya.

"Bagaimana kalau kamu saja yang memilihkannya untukku?" pinta Sariel menatap Evan.

Lelaki itu sama sekali tak menjawabnya, justru ia menarik Sariel ke pojok ruangan.

"Sariel! Siapa yang sudah menelponmu tersebut. Dan siapa yang kamu sebut sebagai Bello!?" tanyanya dengan nada sedikit emosi. Ia tak dapat menahan rasa cemburunya.

Sariel mengernyit mendengarnya, ia heran melihat sikap Evan kali ini. Seharusnya ia tidak memperlihatkan sikap cemburu seperti ini sedangkan dia sendiri sudah memiliki wanita idaman lainnya.

"Kamu tidak perlu tahu siapa dia dan ada hubungan apa antara saya dan dia. Cukup kamu sadar diri saja bagaimana hubunganmu dengan Lusi kedepannya," sahut Sariel membuat Evan terkejut mendengarnya.

"Bagaimana kamu tahu tentang Lusi?"

Sariel menghembuskan napasnya pelan, melirik Leni yang tetap sibuk dengan dirinya sendiri.

"Tentu saja saya tahu. Lusi adalah teman saya sewaktu sekolah dulu. Dan saya tahu bagaimana keluarga Lusi sebenarnya!"

Evan diam tak mampu berkata-kata. Ia tak mampu mencegah kepergian Sariel saat wanita tersebut beranjak dari hadapannya. Tetapi sedetik kemudian ia berlari dan memeluk Sariel dari belakang.

"Maafkan aku sayang. Aku cinta sama kamu. Jadi, jangan kamu batalkan pemesanan gaun pengantin hari ini. Jangan tinggalkan aku, sayang," pintanya lirih.

Sariel geram mendengarnya, ia melepaskan begitu saja tangan Evan yang membelenggu tubuhnya. Tanpa berpaling ia berkata, "saya sedang ada kepentingan lain. Dan jauh lebih penting dari hanya sekedar memilih gaun."

Wanita itu tetap bergerak meninggalkan Evan yang terpaku ditempatnya. Perlahan lelaki itu mengepalkan kedua belah tangannya dengan rahang yang mengeras.

***