Perlahan, Satria membuka kotak makanan tersebut. Kedua matanya mengerling dan seketika mendongak ke arah Rachel.
"Kenapa dia menatapku seperti itu?" tanya batin Rachel.Perlahan, Satria membuka kotak makanan tersebut. Kedua matanya mengerling dan seketika mendongak ke arah Rachel.
"Kenapa dia menatapku seperti itu?" tanya batin Rachel.
Tenggorokannya pun kering dan seakan tak mampu menegak salivanya sendiri.
"Kenapa kamu masih di sini?" tanya Satria mengagetkan Rachel.
"Ya," lirih Rachel datar.
"Keluar!" usir Satria.
"Tapi, Pak. Uang gantinya mana?" tanya Rachel yang membuat Satria tersenyum sinis akan tingkah dari Rachel tersebut.
"Maaf, Pak. Jika saya lancang sama Bapak. Tapi, jika Bapak tak menggantinya, nanti saya nggak bisa pulang. Uang saku saya habis buat beli makanan untuk Bapak," kata Rachel dengan polosnya.
Tanpa banyak bicara, Satria dengan cepat menyodorkan beberapa lembar uang untuk Rachel.
"Ambillah! Jika uang itu lebih, kamu bisa memakainya," kata Satria melihat ekspresi Rachel yang begitu girang menerima uang darinya.
"Serius, Pak. Sisanya buat saya? Tapi, sisanya banyak banget, lho, Pak?" tanya Rachel.
"Kenapa kamu banyak tanya?"
Seketika senyum Rachel memudar. Baru kali inii ia bertemu dengan cowok nyebelin seperti Satria.
"Kalo kamu tidak mau, kasih saja pada orang lain. Pergi sekarang!" ketus Satria.
"Baik, Pak!" Rachel pergi.
Rachel menutup pintu secara perlahan. Senyumnya kembali mengembang saat melihat beberapa uang yang ada di tangannya.
"Ya Tuhan, kenapa aku senang banget mendapatkan uang sebanyak ini. Lumayanlah! buat jajan," gumam Rachel meringis seraya memasukkan uang dalam sakunya dan melangkah pergi.
Di lift, Rachel selalu tersenyum saat berpapasan dengan beberapa staf yang baru selesai makan siang.
Tatapan mereka hanya tertuju pada Rachel yang mulai masuk ke dalam lift.
"Bukankah cewek itu yang menimpa pak Satria kemarin?" tanya Agnes yang menatap Rachel dengan tatapan sinis.
"Iya, memang dia orangnya," sahut Retno menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Mungkin cewek itu temannya pak Satria," sela Leo dengan wajah imutnya.
"Kayaknya iya, di lihat dari penampilannya. Dia seperti cewek kelas atas," kata Farel yang membuat semua teman menatap ke arahnya.
Tawa renyah merekapun membuat suasana kantor itu menjadi ramai.
"Kenapa kalian ketawa? Emang ada yang lucu?" tanya Farel seraya mengernyitkan dahinya.
"Cewek kelas atas? Hello! Mana ada cewek kelas atas mau bekerja sebagai cleaning servis. Ada-ada saja!"
"Iya, tak mungkinlah cewek kelas atas bekerja sebagai cleaning servis. Kebetulan saja, dia itu cantik dan bodynya memang sangat bagus," kata Retno.
Dinda hanya menggelengkan kepalanya saat melihat beberapa staf yang terkenal akan rempongnya itu, mulai bergosip dan menghalangi jalannya.
"Ngapain kalian?" tanya Dinda yang mengagetkan mereka.
"Eh, Bu Dinda. Enggak, kami cuma lagi membahas tentang persiapan untuk meeting nanti," kata Agnes yang sangat pandai beralasan.
"Apa harus membahasnya di jalan seperti ini?" tanya Dinda seraya menopangkan kedua tangan di dada.
"Iya, maaf, Bu. Ini kita mau masuk!" sahut Leo merangkul teman-temannya untuk masuk ke ruang kerjanya.
"Ada-ada saja," kata Dinda melangkah menuju ke ruang kerjanya.
****
Dinda terkejut saat sahabatnya keluar dari ruang kerja tanpa harus ia panggil terlebih dulu.
"Tumben, sudah siap?" tanya Dinda menata berkas-berkas yang akan di bawa untuk meeting.
"Kita percepat meeting hari ini dan usahakan sebelum jam lima, kita sudah selesai!" kata Satria yang mengejutkan sahabatnya.
"Emang ada urusan lain?" tanya Dinda penasaran.
"Bukankah kamu senang jika pulang lebih awal? Buruan!" seru Satria pergi dengan langkah yang pasti.
Dindapun tersenyum mengikuti langkah sahabat sekaligus atasannya itu.
Rachel bersiap untuk pulang. Dengan langkah yang pasti, ia mulai keluar meninggalkan perusahaan yang memperkerjakan dirinya.
"Mumpung masih sore, alangkah baiknya kalo aku jalan-jalan sambil melihat keindahan kota ini," kata Rachel menyetop taksi untuk mengantarnya pergi ke mall.
Betapa senangnya hati Rachel saat ini, akhirnya ia bisa menuruti keinginan untuk jalan-jalan dengan uang pemberian Satria.
Sesampai di mall, kedua matanya berputar melihat pemandangan yang hampir sepekan tak ia liat.
"Ya ampun, akhirnya aku bisa menghirup udara segar seperti ini," gumam batin Rachel terhenti saat melihat anak kecil berjalan menghampirinya.
Anak kecil yang cantik dan lucu tersenyum ke arahnya sembari membawa boneka barbie.
Tangan kecil itu menarik tangan Rachel dan mengajaknya bermain di salah satu permainan anak-anak yang di sajikan oleh mall tersebut.
"Siapa anak ini? Kenapa mengajakku kemari?" tanya batin Rachel bingung seraya melihat tangan kecil itu selalu menggenggam erat tangannya.
"Tante cantik, Olivia mau main," ujar Olivia dengan wajah polosnya.
"Jadi nama kamu Olivia?" tanya Rachel mulai berjongkok di depan tubuh kecil itu. Anggukan kepalanya sungguh menggemaskan hingga membuat Rachel tak mampu menolak keinginan Olivia yang cantik dan lucu.
"Baiklah, tante akan bermain sama Olivia. Tapi, tante ingin tau dulu. Olivia ke sini sama siapa?" tanya Rachel memegang pundak kecil yang tertutup dengan sweater rajut berwarna coklat.
"Sama mama dan papa," jawabnya lugu.
"Trus, kenapa Olivia ke sini?" tanya Rachel penasaran.
Di tempat lain, Monica dan Darwin selesai melakukan pertemuan dengan salah satu produser yang menginginkan dirinya untuk menjadi model.
"Makasih, ya, Win. Kamu sudah mau menemani aku untuk menemui pria hidung belang itu. Jika kamu tak ikut, mungkin dia akan terus memaksaku," kata Monica yang menutup wajahnya dengan masker.
"Iya, memang itu sudah menjadi tugas saya, Bu," kata Darwin yang begitu santun pada atasannya.
Sesaat, langkah mereka terhenti ketika sadar tak melihat Olivia dan baby sisternya tak ada bersama mereka.
"Win, Surti mana?" tanya Monica panik tak melihat baby sister yang membawa anaknya.
"Saya akan menghubunginya, Bu. Ibu tenang saja!" kata Darwin mencoba menghubungi Surti tapi tak jadi.
Pandangan mereka tertuju pada Surti yang berlari dengan nafas terengah-engah seorang diri.
"Surti, mana Olivia? Kenapa kamu sendirian?" tanya Monica memegang pundak Surti dengan wajah yang begitu penuh kekhawatiran.
"Maaf, Bu. Saat saya membuat susu, tak tau kenapa non Olivia lepas dari pantauan saya," kata Surti tertunduk.
"Kamu ini bagaimana? Olivia masih kecil, bisa-bisanya kamu teledor seperti ini," ketus Monica marah.
"Tenang, Bu. Kita bisa mencari Olivia lewat pengeras suara yang ada di mall ini. Ibu tenang! Saya janji akan mencari Olivia sampai ketemu," kata Darwin bergegas ke bagian announcement.
Tapi, langkahnya kembali terhenti ketika mendengar pengumuman yang memberitahukan tentang anak kecil hilang. Wajah Monica kembali berbinar ketika mendengar nama putrinya terucap dari pengeras suara tersebut.
"Darwin, itu Olivia," gegas Monica berlari menuju bagian announcement.
"Syukurlah," ucap Darwin mengikuti atasannya yang sudah berlari terlebih dulu.
Rachel duduk seraya memangku olivia. Kedua matanya berputar menunggu kedatangan orangtua Olivia.
"Olivia ...," teriak Monica menghampiri putrinya.
Rachel terkejut saat olivia turun dari pangkuannya secara tiba-tiba.
"Mama ...," teriak Olivia memeluk mamanya.
Rachel tersenyum senang melihatnya. Tapi, senyum itu kembali redup saat ia melihat Darwin, mantan kekasihnya.
"Darwin!" kata Rachel dalam hati. Tatapan matanya berbinar memandang mantan kekasihnya itu yang berdiri memakai style yang sangat berbeda di bandingkan saat berpacaran dulu dengannya.
Tegakkan salivanya seketika meluncur dengan paksa saat mantan kekasihnya itu berjalan menghampiri anak kecil yang ia tolong.
Kenapa dia tersenyum ke arah anak kecil itu? Apa dia?