webnovel

Perintah pak Satria

Intan, apa yang kamu lakukan?" keluh Rachel.

"Ada pak Satria, singkirkan earphone kamu!" kata Intan yang membuat Rachel dengan cepat menyembunyikan earphonenya.

Rachel merapikan bajunya dan berdiri tegak menyambut kedatangan Satria.

Intan terkekeh melihat tingkah lucu sahabatnya itu.

"Kenapa ketawa?" tanya Rachel melirik Intan yang tak berhenti menertawakannya.

Sejenak, Rachel berpikir. Ia merasa kalo Intan sedang menggoda dirinya.

Perlahan, kedua mata Rachel mulai berputar mencari keberadaan Satria. Tak ada siapapun yang melintas.

Rachel mendesah dan memicing ke arah sahabatnya itu.

"Kamu membohongiku?"

Intan tersenyum seraya mengacungkan jari tengah dan telunjuk hingga berbentuk huruf'v'.

"Kalo bekerja, jangan pakai seperti ini! Kalonpak boss tau, bisa-bisa kamu akan di tendang dari kantor ini. Kamu siap, kehilangan pekerjaan dan setiap hari harus menahan lapar?" gerutu Intan yang menasehati Rachel seperti emak-emak.

"Iya," jawab Rachel santai.

"Trus, mana masker kamu? Bukankah kamu tidak mau pak boss tau siapa dirimu yang sebenarnya?"

"Semua aman. Tenang aja!" kata Rachel tersenyum senang seraya menaikkan alisnya dan membuat Intan semakin bingung.

"Tenang?" gumam batin Intan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Rachel mulai menyelupkan air pada ember.

Intan terbelalak kaget, saat melihat sahabatnya tidak memeras sama sekali alat pel tersebut.

"Rachel, emang Hannum nggak ngajarin kamu ngepel, ya?" tanya Intan meraih pel tersebut dan menyelupkan ke dalam ember kembali.

"Kak Hanum 'kan, mau lahiran, Tan. Masa' iya, aku bertanya tentang bagaimana caranya mengepel?" kata Rachel mengerutkan dahinya.

Intan menghela nafas panjang. Ia tak bisa bayangkan jika seandainya pak Satria jatuh karena ulah Ra chel yang salah dalam mengepel.

Tanpa buang waktu, ia mengajak Rachel untuk membawa semua alat kebersihannya ke ruang kerjanya kembali. Ia ingin memberitahu tentang cara mengepel dengan benar.

Rachel hanya mengikuti apa yang akan dilakukan oleh sahabatnya itu.

Intan memeras alat pel tersebut dan membuang air yang ada di ember.

Ia menyodorkan alat pel itu dengan pembersih lantai yang sudah di kemas dalam botol.

"Gini caranya, semprot dulu ke lantai. Trus, kamu tinggal mengepel. Dan pastikan, alat pel tadi tidak basah. Yang sedang-sedang saja, seperti ini!," tutur Intan mempraktekkan.

Ceklek!

Kedua mata mereka tertuju pada senior yang begitu tampan dan cool.

Farhan Andara merupakan seorang pemimpin cleaning servis di kantor tersebut.

"Da apa, Tan? Kenapa kamu di sini?" tanyanya penasaran.

"Eh, Farhan. Nggak, ini Rachel tidak bisa mengepel. Jadi, aku hanya memberitahu caranya saja." Intan yang mulai memasang senyum manis pada Farhan.

"Kamu nggak bisa mengepel?" tanya Farhan memastikan. Ia terkejut dan tak percaya kalo pihak HRD memilihnya untuk menjadi seorang cleaning servis.

"Maafkan, saya, Mas!" Rachel hanya tertunduk dengan sopannya.

"Ya sudah! Mulai sekarang, kamu harus belajar semua tentang pekerjaan ini. Jika kamu tidak tau caranya, kamu bisa tanya pada saya atau partner kerja kamu," pinta Farhan yang membuat Intan terkesima dengan gaya bicaranya yang khas.

"Ya ampun, Farhan. Ganteng bingit, sih!" gumam batin Intan tersenyum tipis memandang wajah tampan yang terlihat nyata berdiri di sampingnya.

"Kalo begitu, saya lanjutkan dulu, Mas!" kata Rachel melangkah keluar dari ruangan tersebut.

"Ok!" jawab Farhan tersenyum tipis seraya memandang tubuh Rachel dari belakang.

"Baru kali ini, aku mempunyai anak buah yang sama sekali tidak tau caranya mengepel?" gumam batin Farhan membalikkan badannya dan terkejut ketika Intan memandangnya dengan senyum tak biasa.

"Tan, ngapain?" tanya Farhan membuyarkan lamunannya.

"Hem," kata Intan kaget.

"Ngapain masih di sini?" tanya Farhan ulang. Kedua mata Intan berputar mencari keberadaan sahabatnya yang sudah tidak ada di hadapannya.

"Mana Rachel?" tanya Intan.

"Dia melanjutkan pekerjaannya."

"Farhan, ini waktunya jam istirahat. Kenapa kamu menyuruhnya untuk bekerja lagi," gerutu Intan melangkah pergi dengan wajah cemberutnya.

Farhan hanya mengernyitkan dahinya melihat teman kecilnya cemberut seperti anak kecil.

Di ruang kerjanya, Satria menyandarkan kepala di kursi putarnya.

Kedua matanya terpejam dan kedua kaki menempel di atas meja kerja.

Dinda hanya menghela nafas melihat sahabatnya yang terlihat begitu capek dan lelah.

"Sat, kamu makan siang nggak?" tanya Dinda yang membuat Satria membuka matanya kembali.

"Nanti saja, aku belum lapar!" jawab Satria.

"Ya udah, kalo begitu aku mau makan siang dulu. Bener nih, nggak titip sesuatu? Jam dua kita meeting dengan beberapa clien, lho! Pastikan perut kamu tidak kosong supaya bisa konsen nanti," saran Dinda.

"Pergilah! Jangan terlalu mengatur pola makanku. Aku pastikan, perutku akan terisi saat meeting nanti," kata Satria.

"Baiklah, kalo begitu aku pergi dulu." Dinda yang melangkah pergi meninggalkan Satria.

****

"Tan, ternyata enak juga makan di pinggir jalan seperti ini," kata Rachel yang makan begitu lahapnya.

"Tak hanya enak, tapi kantong kita juga aman," sahut Intan.

Drt ... Drt ...

Rachel mengambil ponselnya. Kedua matanya mengerling dan berpikir sejenak ketika melihat nomor yang tak ia kenal tertera di ponselnya.

"Siapa? Kenapa nggak kamu angkat?" tanya Intan sembari menyeruput air minumnya.

"Nggak tau, nomor tak dikenal?" tanya Rachel meletakkan ponselnya dan memilih untuk melanjutkan makannya.

Hampir satu menit, Rachel membiarkan ponselnya bergetar.

Rachel hanya mendesah melihat ponselnya terus bergetar tiada henti hingga membuat selera makannya hilang.

"Siapa sih? Ganggu banget."

"Angkat saja, siapa tau penting?" seru Intan.

Rachel mulai mengangkat telepon tersebut. Intan yang sangat penasaran, dengan seksama memandang ekspresi sahabatnya yang sedikit berubah.

Rachel terkejut, terperangah seraya menahan emosinya.

"Baik, Pak!" jawabnya halus sembari menutup teleponnya dengan kesal.

"Siapa? Pak siapa? Kenapa kamu terlihat begitu kesal?" tanya Intan penasaran.

"Bener- bener, boss rese. Kenapa dia menyuruhku? Bukankah dia mempunyai sekertaris pribadi?" gerutu Rachel kesal.

"Pak Satria?" tebak Intan memastikan.

"Siapa lagi? Bisa-bisanya, dia menyuruhku untuk membeli makanan di restoran depan. Seharusnya, dia 'kan bisa menyuruh sekertarisnya atau salah satu staffnya. Dan tak harus aku," gumam Rachel.

"Kamu itu gimana, sih? Dia kan, boss kamu. Ya, wajarlah jika dia menyuruh kamu. Kamu tau, perintah dari pak Satria itu, merupakan hal yang sangat diinginkan oleh karyawan di sini. Jadi kamu harus bersyukur, bisa di perintah oleh si boss," tutur Intan menggenggam erat tangan Rachel.

"Hah, mana ada sebuah perintah merupakan hal yang diinginkan semua orang. Yang ada kita yang membuat perintah bukan di beri perintah. Emang dasar mereka saja yang mungkin terlalu bucin sama pak Satria itu," gumam Rachel dalam hati.

"Buruan, Chel!"

"Iya," gegas Rachel menuju sebuah restoran yang ada di seberang jalan tersebut.

"Apa mungkin, pak Satria sedikit tertarik ya, sama Rachel? Ya Tuhan, emang sahabatku ini sangat cantik dan wajar saja jika pak Satria tertarik padanya. Tapi, apa iya? Dengar-dengar, pak Satria 'kan sudah mempunyai tunangan?" gumam Intan berbicara seorang diri.

Satria mengelus-elus perutnya yang berbunyi sedari tadi.

Kedua kakinya tak berhenti untuk mondar-mandir kesana kemari menunggu makanan yang ia pesan.

Tok tok tok

Satria menyeringai seraya menatap ke arah suara yang bersembunyi di balik pintu.

"Masuk!" jawab Satria beralih ke kursi kerjanya.

Rachel mengatur nafasnya dan mulai berjalan menghampiri Satria.

"Maaf, Pak. Ini pesanan Bapak," kata Rachel tersenyum seraya menyerahkan kotak makanan itu pada Satria.

Perlahan, Satria membuka kotak makanan tersebut. Kedua matanya mengerling dan seketika mendongak ke arah Rachel.

"Kenapa dia menatapku seperti itu?" tanya batin Rachel