webnovel

Start Point

Aksi dan fantasi. Kedua kata itulah yang paling cocok untuk mendeskripsikan satu permainan khusus yang dirilis oleh Bum Corp. perusahaan pengembang Game terbesar di Indonesia. Ini merupakan permainan MMORPG tanpa batasan imajinasimu. Start Point adalah permainan dimana kau bisa menemukan dunia fantasi dan dunia modern menyatu menjadi satu. Suatu hari, Dimo Ramadhan, pemuda yang bertahun-tahun telah mengidap amnesia tiba-tiba diajak oleh sahabat dan teman masa kecilnya, Zakaria "Zaki" Maulana untuk mengikuti sebuah turnamen. Turnamen ini adalah sebuah pertandingan khusus tertutup yang didedikasikan untuk merayakan pre-perilisan permainan Start Point. Disini kesembilan peserta yang dipilih secara acak dari ratusan atau bahkan ribuan pendaftar akan bertarung membunuh satu sama lain tanpa pandang bulu hingga satu pemenang berhasil mendapakan hadiah uang puluhan juta rupiah. Meski awalnya menolak, karena sebuah kesepakatan antara keduanya Dimo menerima ajakan sahabatnya untuk terjun ke dalam turnamen ini. Namun, apakah cerita ini hanya berakhir dengan turnamen ini dan Dimo bisa kembali ke kehidupan normalnya? Ataukah ada hal yang jauh lebih gelap tersembunyi di baliknya? Ikuti kisah Dimo yang ditarik masuk ke dalam dunia yang akhirnya mengungkap masa lalunya.

IzulIzuru · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
25 Chs

Chapter 05 : Ukiran Di Pohon - 01

Kudorong pintu depan Bum Corp. dan melangkahkan kakiku keluar dari dalam bangunan ini. Silaunya mentari yang dikelilingi langit merah keemasan langsung menyambar retina mataku sesaat setelahnya.

Begitu membutakan hingga memaksaku untuk menutupi mataku dengan tanganku.

Aku meninggalkan ruangan turnamen sesaat setelah pertarungan antara Leila dan Zaki berakhir. Lagipula aku sudah tak memiliki urusan lagi di tempat itu. Aku juga tidak tertarik dengan alat yang disebut Login Device itu.

Intinya, turnamen dimenangkan oleh Leila, Zaki di posisi ke-dua lalu Sindy di posisi ke-tiga. Sedangkan diriku? Yah, aku adalah orang yang pertama menyerah, jadi tak heran kalau aku berada di posisi ke-empat.

Ya sudah lupakan saja. Itu tidaklah penting.

Yang lebih penting, ingin rasanya cepat-cepat pulang dan melanjutkan tidurku.

Oh iya, kalau aku ingat-ingat di parkiran masih ada motor milik Paman Tedi yang Zaki pakai untuk membawaku ke sini. Tch, sayangnya aku tidak memiliki kunci untuk menyalakan mesinnya.

Aku membuang napas pasrah sembari menggaruk-garuk belakang rambutku.

Sepertinya aku harus berjalan kaki.

△▼△▼△▼△

Sudah sepuluh menit berlalu sejak aku meninggalkan Bum Corp.

Suara serangga menemani tiap langkah yang kuambil.

Keringat deras membanjiri sekujur tubuhku. Panasnya suhu di sore hari ini membuatku merasa seolah berjalan di atas panggangan. Aku bahkan bisa mencium aroma daging yang matang.

Saat kupandang ujung horism, kubisa lihat lekukan molekul dari aspal yang panas. Itu membuatku tersadar, bahwa semakin aku berjalan, terasa semakin panas aspal yang kupijak. Seperti ada kaca pembesar berukuran raksasa yang diarahkan langsung kepadaku.

Apalagi, kausku terasa semakin berat karena basah setelah menyerap keringat di tubuhku. Tenggorokanku kering dan kakiku terasa letih. Sedikit langkah lagi dan aku akan berakhir seperti Johnny Joestar.

Jalan yang kulalui saat ini adalah komplek perumahan, karena itulah tempat dimana aku bisa berteduh sangatlah minim. Deretan rumah terlukis sejauh mata memandang. Masing-masing rumah dibatasi dengan pagar yang tingginya setinggi orang dewasa.

Ditambah lagi, sedikitnya pohon membuat tempat ini sepanas berada di tengah-tengah gurun pasir.

Kalau ini terus berlanjut, bisa-bisa aku mati karena dehidrasi.

"Air... aku butuh air....

Dan juga... dimana ini? Jangan-jangan aku tersesat...." Kuedarkan pandanganku ke penjuru komplek, tak ada satupun rumah, jalan ataupun belokan yang aku kenali.

Aku terhenti lalu bersandar di tembok. Dengan punggungku yang masih menempel pada tembok, aku meluncur ke bawah dan duduk di tanah. Kuistirahatkan kedua kakiku yang rasanya bisa langsung terlepas bila aku mengambil langkah lagi.

Aku tidak perlu panik bila tersesat. Lagipula aku bisa langsung melihat peta di smartphone-ku.

Tapi sebelum itu aku akan mencoba mengingat arah berdasarkan ingatanku.

Baiklah, Bum Corp. berada di distrik empat, distrik yang sama dimana aku tinggal. Seingatku letaknya dekat dengan perbatasan distrik empat dan tiga, karena aku tidak mengenali tempat ini, kemungkinan saat ini aku berada di distrik tiga. Karena aku jarang sekali meninggalkan distrik empat, itu membuat distrik lainnya terasa asing bagiku.

Bila memang benar begitu, jarak perbatasan paling dekat dengan Bum Corp. mengarah ke selatan. Maka dari itu aku hanya harus berjalan ke arah sebaliknya, yaitu utara lalu berbelok ke arah timur. Dengan begitu aku bisa kembali memasuki distrik empat.

Tapi ada kemungkinan kalau aku salah ingat. Untuk jaga-jaga sebaiknya aku beristirahat sebentar sambil melihat peta dan mencari tahu lebih lanjut mengenai lokasiku saat ini.

"Kalau begitu sebaiknya aku membuka gps—" Tanganku yang sebelumnya hendak merogoh saku terhenti. Pikiranku yang penuh dengan keinginan untuk mengambil smartphone dari kantungku langsung kosong.

Mataku tidak berbohong, ini bukanlah fatamorgana. Bibirku bergetar, kutelan air liur yang bersarang di mulutku.

Aku melihat sebuah mesin penjual otomatis terletak di sebuah belokan berjarak lima belas meter dariku.

Ini adalah keajaiban! Aku selamat!

Tanpa berpikir panjang aku langsung melompat berlari menuju mesin penjual otomatis tersebut.

Di tiap langkahnya aku bisa membayangkan air minum yang dingin nan segar mengalir turun di tenggorokanku. Seperti menemukan oasis di tengah gurun.

Sedikit lagi, hanya butuh beberapa langkah lagi hingga aku bisa merasakan segarnya air....

Bletang!

"Ghh—"

Ketika berlari dan tiba di hadapan mesin penjual otomatis, kakiku menabrak sebuah lubang di jalan. Akibatnya wajahku harus mencium tubuh logam dari mesin penjual otomatis lalu terkapar di hadapannya.

Tanpa memikirkan wajahku yang memerah akibat benturan tadi, aku langsung berdiri dengan tangan kiriku bersandar pada mesin itu sementara tangan kananku mengambil dompet.

"Ayo cepat! Aku hanya butuh dompetku—"

Tubuhku terhenti. Seolah kilat baru saja menyambarku.

Api semangat yang sebelumnya membakarku langsung padam setelah aku menyadari kebodohanku. Tangan kananku terhenti pada kantung belakang celanaku yang kosong, seakan tak mau menerima kenyataan yang menjatuhiku.

"Aku tidak membawa dompet..."

Suara penuh kekecewaan yang keluar dari mulutku memecah kesunyian di sekitarku. Yang bisa kulakukan meratapi minuman-minuman kaleng yang bersemayam di dalam mesin di hadapanku.

Padahal sedikit lagi... Sedikit lagi dan aku bisa merasakan air turun membasahi tenggorokanku...

Tapi kenapa malah begini...?

Oh tidak, kenapa tiba-tiba mataku terasa berair?

Tidak Dimo, tahan! Jangan biarkan dirimu menjadi sentimentil! Ini hanya air. Sekalinya aku pulang ke rumah, aku bisa meminumnya sebanyak yang kumau.

"Benar! Persetan denganmu mesin penjual otomatis!" Aku melepas tangan kiriku dari mesin itu lalu mengetuknya sekali sembari berbalik membelakanginya.

"Sekarang...." Sekali lagi, aku kujulurkan tanganku memasuki kantung celanaku.

"Ah....—" Lagi-lagi tanganku membeku di dalam kantung celanaku. Jari-jemariku menolak menerima fakta dan terus mencoba meraih benda yang tidak ada.

Aku tidak percaya ini. Betapa bodoh dan naifnya aku....

Aku juga tidak membawa smartphone.

Dengan penuh kekecewaan, aku menjatuhkan tubuhku pada mesin penjual otomatis di belakangku. Sekali lagi aku duduk bersandar seperti gelandangan di jalan yang sepi ini.

Sekarang bagaimana caranya bagiku untuk pulang?

Tanpa adanya smartphone aku tak bisa memastikan lokasiku. Aku bahkan tak tahu apakah saat ini aku menghadap utara atau selatan.

"Mungkin sebaiknya aku menanyakan arah...."

Kudorong tubuhku untuk berdiri.

Aku menengok kesana-kemari, mencari penduduk setempat untuk menanyakan arah. Tapi kondisi komplek ini begitu sepi. Aku tak bisa menemukan satupun orang sejauh mata memandang. Yang ada hanyalah kucing liar yang berkeliaran di sekitar komplek.

Sekarang mungkin sudah sore, tapi belum waktunya untuk pulang kerja. Itulah kenapa tempat ini begitu sepi.

Itulah yang kupikirkan, sampai aku melihat sosok perempuan berambut hitam yang berjalan memasuki sebuah gang sempit.

Sosoknya yang berjalan seperti sekelibat bayangan. Aku bahkan tak menyadari kehadirannya sampai aku melihat rambutnya ketika hampir seluruh tubuhnya sudah tertutupi tembok yang mengapit gang sempit yang dilaluinya.

"Anu, permisi!"

Suaraku tak mencapainya. Sosoknya semakin memasuki gang itu tanpa sedikitpun mengindahkan panggilanku.

Yah, mau bagaimana lagi...

Aku berlari kecil mengejar perempuan itu menuju ke dalam gang sempit.

Gang sempit yang kulalui saat ini mungkin hanya cukup untuk menampung satu orang dewasa. Gang ini tidak terurus dan gelap, lumut hijau tumbuh pada tembok yang mengapitnya. Rumput-rumput tinggi membelai kakiku. Semakin dalam aku berjalan di gang ini, semakin tenggelam kakiku pada rerumputan itu. Dibalik rerumputan tinggi ini, tanah yang kuinjak begitu kering dan penuh retakan.

Aku merasakan perasaan aneh.

Perasaan ini, bagaimana aku menjelaskannya ya...

Entah mengapa hatiku terasa sesak sesaat setelah aku melihat gang sempit ini dan rumah-rumah di sekitarnya.

Pada awalnya aku mengabaikan perasaan ini, namun di tiap langkahku ketika berjalan di dalamnya, perasaan ini semakin membesar.

Aku merasa terikat. Aku memang tidak mengenal tempat ini, namun firasatku mengatakan kalau ini bukan pertama kalinya aku menginjakkan kaki di komplek perumahan ini. Seolah ada pesona di dalamnya.

Perasaan nostalgia yang begitu samar, seperti asap yang keluar dari mulut ketika bernapas di tempat dingin. Perasaan yang hanya bertahan untuk sesaat lalu lenyap tanpa jejak.

Ini pertama kalinya aku mengalami perasaan ini sejak aku mengidap amnesia. Sudah lama sekali sejak aku mengalami amnesia. Begitu lama hingga aku tidak ingat kapan aku pertama kali tak bisa mengingat apapun.

Satu-satunya hal yang kuingat hanyalah namaku. Dimo Ramadhan.

Hingga saat ini, fakta itu belumlah berubah.

Bahkan sejak Paman Tedi mengurusku, aku masih tidak bisa mengingat siapa diriku. Mungkin aku takkan pernah bisa.

Sejujurnya aku sudah tidak peduli lagi dengan masa laluku.

Dimo Ramadhan akan selalu menjadi Dimo Ramadhan. Dan itu takkan berubah.

Cahaya merah keemasan bersinar dengan sangat indahnya menerangi ujung gang. Terangnya menelan gelapnya gang.

Sesampainya aku di ujung gang, hembusan angin sejuk yang sangat kencang meniupku. Ketika kubuka mataku, sebuah taman kecil dengan rumput tingginya yang hijau menyambut kehadiranku. Di tengah taman itu terdapat sebuah pohon tua yang tingginya jauh melampaui rumah-rumah di kompleks ini. Aku berani bertaruh bahwa banyaknya ranting yang dimiliki pohon tua itu bisa menyaingi banyaknya rumah di area itu.

Dedaunan dari pohon itu satu persatu rontok tertiup angin. Mereka jatuh perlahan dengan sangat elegan. Tak jarang ada dedaunan yang mendarat pada rambutku.

Dibalik taman tersebut, terlukislah pemandangan bagian kota.

Pemandangan ini, aku mengenalnya. Itu adalah distrik empat. Dengan kata lain, saat ini juga aku sedang menghadap tepat ke arah utara.

Warna kemerahan yang dipancarkan mentari sore melengkapi suasana yang ada. Cahaya itu menciptakan bayangan dari dedaunan pohon, baik yang terjatuh maupun yang masih menempel pada pohon.

Rerumputan juga menari ditiup angin, seolah tak mau kalah dari dedaunan.

Pantulan cahaya yang tercipta dari gedung-gedung pencakar langit di distrik empat menyilaukan mata. Aku juga bisa melihat betapa aktifnya lalu lintas di distrik itu yang padat dengan kendaraan namun lancar tanpa macet sekalipun.

Di ujung taman terdapat pagar tinggi yang terbuat dari logam. Sebagian dari pagar itu sudah berkarat, menunjukkan bahwa benda itu hampir sama tuanya dengan benda-benda di sekitarnya.

Di ranting yang paling rendah, terikatlah dua buah tali yang menopang sebuah ayunan yang terbuat dari kayu. Tali yang mengikat ayunan itu sudah tua namun masih kokoh menahan ayunan. Sama seperti tali yang mengikatnya, kayu ayunan itu juga tak kalah tua. Bahkan beberapa bagian di kayu itu sudah lenyap dimakan rayap.

Tapi bukan itu yang paling menarik perhatianku, namun sosok perempuan yang terduduk di atasnya.

Rambut hitamnya yang panjang melambai-lambai tertiup angin. Kemeja putih polosnya yang disinari mentari terlihat begitu anggun. Entah mengapa aku merasakan kesepian dari keanggunan itu.

Sungguh pemandangan yang mempesona.

Ini seperti sebuah lukisan yang dilukis oleh pelukis terkenal. Begitu indah sampai membuat pandanganku melekat padanya.

Ingin aku memanggilnya lalu menanyakan arah pulang, tetapi aku tak ingin merusak pemandangan indah ini.

Apa yang sebaiknya aku lakukan?

Crek

Sebuah ranting tak sengaja kuinjak ketika kulangkahkan kakiku. Perempuan itu sedikit menoleh menyadari kehadiranku.

Aku tersendat. Tubuhku sedikit ditarik ke belakang bereaksi atas dirinya.

Apa yang aku lakukan? Bukankah aku hendak ingin menanyakan arah?

Aku mungkin tahu kalau saat ini aku menghadap utara, tapi sebaiknya aku memastikannya dengan menanyakan arah.

"Permisi—!" Kata-kataku terhenti di tenggorokanku. Bibirku membeku setelah melihat benda yang berada di sisi perempuan itu.

The White Cane, itu adalah tongkat khusus yang biasa digunakan oleh tunanetra. Tongkat itu membantu tunanetra untuk mengenali medan, jalan, ruang dan kondisi di sekitarnya.

Kalau begitu artinya dia...

Perempuan itu menggenggam tongkatnya lalu bangkit dari ayunan yang didudukinya dan menghadapku. Parasnya cantik, kulitnya seputih salju dan kedua matanya dipejamkan. Bibir kecilnya terlihat lentik. Poni rambutnya juga terpotong rapih hingga tidak menutupi matanya. Poni bagian kanan rambutnya menutupi telinganya sedangkan tidak di bagian kirinya.

"Apa ada yang bisa aku bantu?" Kata-kata keluar dari bibir kecilnya. Suaranya yang terdengar lembut benar-benar memanjakan telinga.

"Ah, um... tidak, maaf kukira kau orang yang kukenal."

Kebohongan itu langsung keluar dari mulutku lebih cepat daripada apa yang kupikirkan. Mungkin aku tidak ingin melukai perasaannya.

"Begitu ya." Balasnya dengan senyun.

Dirinya terdiam sesaat, lalu kembali membuka bibirnya...

"Um, ini mungkin terdengar aneh, tapi apa aku pernah bertemu denganmu?"

Perempuan itu sedikit memiringkan kepalanya dengan tangan kirinya yang memeluk dagunya.

"Uh, tidak, ini pertama kalinya kita bertemu." Balasku langsung.

"Begitu ya, maaf karena sudah bertanya yang aneh-aneh." Dia kembali tersenyum ramah.

"Kalau begitu, aku permisi." Sambungnya tanpa menunggu tanggapanku.

Perempuan itu berjalan memasuki gang sempit yang menghubungkan taman kecil ini dengan jalan utama. Sosoknya yang semakin tenggelam dalam bayang-bayang gang perlahan menghilang.

Dia meninggalkanku sendirian di taman kecil ini.

Aku bahkan tidak tahu siapa namanya dan apa yang dia lakukan di tempat seperti ini.

"Haah...."

Aku menghembuskan napas berat penuh kecewa.

Maksudku, pemandangan ini memang sangat indah, namun aku sedikit kecewa karena aku tidak mencapai tujuan utamaku.

Dengan kekecewaan di hatiku, aku berjalan mendekati ayunan yang sebelumnya detempati perempuan itu. Ketika aku sedang melihat ayunan itu, tak sengaja aku menemukan sebuah tulisan yang terpahat di tubuh pohon tua itu. Letak pahatan itu benar-benar bersebelahan dengan ayunan.

Berdasarkan tingginya letak pahatan itu berada, mungkin saja pahatan itu ditulis oleh anak-anak. Apalagi bentuknya yang kurang rapih dan kasar. Selain itu pahatan ini juga sudah sangat usang.

"Ani dan Dimo....—"

Kepalaku langsung terasa sakit sesaat setelah membaca tulisan itu.

Pandanganku kabur dan keseimbangan tubuhku hancur. Rasanya seperti dunia berputar di hadapanku.

Perlahan tubuhku jatuh, bak bulu yang tertiup angin.

Ketika aku menjulurkan tanganku pada pohon, semuanya sudah terlambat. Hal selanjutnya yang kusadari adalah diriku yang sudah tenggelam dalam rerumputan.

(Sakit, sakit, sakit, sakit, sakit, sakit.)

(Rasanya seperti kepalaku dilubangi dengan menggunakan mesin bor. Lalu melalui lubang itu, potongan-potongan klip dipaksa masuk ke dalam otakku.)

(Lalu, otakku dicampur aduk seperti bubur menggunakkan sebuah sendok. Diaduk, diaduk, diaduk, diaduk. Tiada henti.)

"Khhhaaakkh!!!"

(Hentikan! Hentikan! Hentikan! Hentikan!)

(Semakin aku ingin semua ini berhenti, semakin sakit kepalaku. Rasa sakit itu tidak kunjung henti.)

(Hingga akhirnya aku lupa atas segalanya.)

△▼△▼△▼△

Aku melihat pemandangan. Pemandangan yang terasa seperti sebuah mimpi yang amat sangat panjang.

Semakin aku menyadari lamanya mimpi itu, semakin aku tenggelam di dalamnya. Seolah, itu adalah mimpi tiada akhir.

Aku melihatnya.

Seorang pemuda kecil berjongkok dengan memegang sebuah ranting. Anak itu tenggelam dalam lamunannya. Dirinya tak memikirkan apapun, pikirannya kosong. Seperti sebuah ruangan serba putih.

Di sampingnya duduklah seorang anak perempuan. Rambut hitamnya panjang hingga sepanjang pinggang. Perempuan kecil itu duduk manis sembari berpegang teguh pada tali yang mengikat ayunan yang didudukinya.

Dia berusaha berkali-kali memanggil temannya yang melamun, namun tidak ditanggapinya. Hingga panggilan ke-tiga, akhirnya pemuda kecil itu menanggapi panggilan temannya.

Senang karena akhirnya temannya menanggapi panggilannya, perempuan itu tersenyum ramah nan tulus. Senyuman yang amat sangat polos.

Perempuan itu terdiam sejenak, lalu dari bibir kecilnya dia berkata...

"Hei, apa kau... punya impian?"

Chapter yang pendek. Ini adalah aftermath setelah turnamen dan kita sedikit menyelupkan ujung jari kita ke dalam masa lalu Dimo.

Terima kasih sudah mau membaca. Apabila kalian suka dengan novel ini, pastikan masukkan cerita ini ke dalam library kalian untuk bisa terus mengikuti chapter terbarunya :)

Dan bila berbaik hati, power stone bakal gw appreciate banget. See ya later

IzulIzurucreators' thoughts