webnovel

Start Point

Aksi dan fantasi. Kedua kata itulah yang paling cocok untuk mendeskripsikan satu permainan khusus yang dirilis oleh Bum Corp. perusahaan pengembang Game terbesar di Indonesia. Ini merupakan permainan MMORPG tanpa batasan imajinasimu. Start Point adalah permainan dimana kau bisa menemukan dunia fantasi dan dunia modern menyatu menjadi satu. Suatu hari, Dimo Ramadhan, pemuda yang bertahun-tahun telah mengidap amnesia tiba-tiba diajak oleh sahabat dan teman masa kecilnya, Zakaria "Zaki" Maulana untuk mengikuti sebuah turnamen. Turnamen ini adalah sebuah pertandingan khusus tertutup yang didedikasikan untuk merayakan pre-perilisan permainan Start Point. Disini kesembilan peserta yang dipilih secara acak dari ratusan atau bahkan ribuan pendaftar akan bertarung membunuh satu sama lain tanpa pandang bulu hingga satu pemenang berhasil mendapakan hadiah uang puluhan juta rupiah. Meski awalnya menolak, karena sebuah kesepakatan antara keduanya Dimo menerima ajakan sahabatnya untuk terjun ke dalam turnamen ini. Namun, apakah cerita ini hanya berakhir dengan turnamen ini dan Dimo bisa kembali ke kehidupan normalnya? Ataukah ada hal yang jauh lebih gelap tersembunyi di baliknya? Ikuti kisah Dimo yang ditarik masuk ke dalam dunia yang akhirnya mengungkap masa lalunya.

IzulIzuru · Fantasy
Not enough ratings
25 Chs

Chapter 05 : Ukiran Di Pohon - 02

"D....mo.....

H..i...

Dimo....

Dimo....!"

Suara itu menarik kesadaranku. Menghancurkan tembok yang bernama mimpi dan membawaku kembali ke dunia nyata. Setelah kubuka kedua mataku. kulihat sekitarku dengan mataku yang redup.

Tubuhku masih terasa lemas, aku tak memiliki tenaga yang cukup untuk bangun dan duduk.

Lagipula.... Kenapa aku bisa terbaring di sini?

Aku tidak bisa mengingatnya, itu semua hanyalah sebuah blur. Semakin aku menyelam memasuki ingatanku, semakin tidak jelas bayangan yang kulihat. Seolah tekanan air menolak tubuhku untuk menyelam lebih dalam lagi.

Turnamen Start Point telah berakhir. Hari jum'at yang amat sangat panjang ini pun ikut berakhir, dan esok hari semuanya akan kembali seperti semula. Meskipun aku gagal membantu Zaki menang dan memenuhi kesepakatan kami, setidaknya semua ini berakhir dengan akhir yang bahagia.

Yah, satu-satunya hal negatif yang akan kudengar mulai besok adalah ajakan Zaki yang tiada hentinya mengajakku bermain. Tapi kurasa takkan ada hal yang lebih buruk muncul dari itu.

Selagi aku terbaring berdiam diri, perlahan-lahan penglihanku kembali seperti sedia kala.

"Syukurlah, akhirnya kau siuman..."

Kulit putihnya dan paras cantiknya yang seperti malaikat menyambut diriku. Senyuman ramahnya yang penuh rasa syukur ketika melihat diriku yang siuman, rambut hitamnya yang tergerai panjang tertiup angin, juga mata birunya yang seperti laut.

Kh, untuk sesaat kukira aku sudah mati. Bila aku membawa smartphone-ku saat ini, mungkin aku sudah memfoto momen langka ini.

Sedikit demi sedikit tenaga kembali pada tubuhku. Meskipun masih terasa agak lemas, aku paksakan tanganku untuk membantuku kembali duduk.

Setelah itu aku buka bibirku yang kering dan bertanya pada perempuan yang duduk berpangku di sampingku;

"Sindy...? Sudah berapa lama aku pingsan?"

"Mungkin.... sekitar satu jam." Balasnya dengan mulut yang memangap-mangap dengan napas pendek. Wajahnya berkeringat, dan mulutnya sibuk mengatur napasnya.

Kenapa napasnya terengah-engah? Juga, tubuhnya basah penuh keringat. Tunggu dulu, sejak awal bagaimana dia bisa berada di sini? Jangan-jangan selama satu jam ini dia berlari mencariku?

Sindy terdiam menatapku yang terheran-heran. Lalu dia membuka bibir tipisnya dan bertanya...

"Sebenarnya apa yang terjadi? Terakhir kali kulihat kau pergi meninggalkan pertandingan sendirian dan sekarang tiba-tiba kau terbaring tak sadarkan diri di tempat seperti ini."

Dia mengedarkan penglihatannya ke seluruh penjuru taman kecil ini. Kedua matanya berbinar-binar ketika melihat pemandangan indah yang disuguhkan. Tak ada sedikitpun bagian yang luput dari pandangannya.

Pipinya juga sedikit merona.

Rasanya seperti melihat anak kucing yang terpukau ketika pertama kali melihat bola benang.

Sejujurnya ini sedikit imut. Bolehkah aku tidak menjawab dan membiarkannya tetap seperti ini?

Ehem, kembali ke pokok permasalahan.

"Entahlah... sejujurnya aku tidak ingat.

Kau sendiri? Kenapa kau bisa ada di sini?" Aku bertanya balik.

Sindy terdiam sesaat lalu mengambil smartphone miliknya dari saku celananya. Dia membuka sebuah pesan lalu menunjukkan pesan itu padaku.

"Zakaria meminta bantuanku untuk mencarimu karena dia tak bisa menemukanmu di rumahmu. Sebenarnya dia juga ingin meminta bantuan Leila, tapi saat ini Leila tak bisa membantu karena harus kembali menjaga adiknya."

"Maaf, aku malah merepotkanmu."

"Tidak perlu dipikirkan." Sindy mengusap keringatnya lalu tersenyum ramah.

Tidak, ini sepenuhnya salahku. Ini semua terjadi karena kecerobohanku.

Aku tak bisa terus-terusan bersantai di sini dan segera kembali. Pemandangan di tempat ini memang indah dan permai, tapi sepertinya sekarang sudah waktunya untuk pergi.

Aku mengangkat tubuhku—perlahan aku berusaha untuk berdiri. Kedua kakiku sedikit gemetar, keseimbanganku juga masih belum pulih sepenuhnya.

Tapi bila aku berusaha aku pasti bisa—

Disaat aku berpikir kalau semuanya sudah terkendali, kaki kiriku tergelincir. Untuk yang kesekian kalinya tubuh ini akan mencium tanah.

Tapi, Sindy dengan cepatnya langsung menangkap tubuhku bahkan sebelum aku mulai terjatuh. Kedua tangannya yang cepat seperti ular langsung menangkap bahuku seolah itu adalah tikus. Dia cengkram pundakku erat-erat, memastikan agar keseimbanganku kembali seperti sedia kala.

"Te, terima kasih....

Hm, itu...?"

Aku menyadari benda yang menggantung pada pergelangan tangan kiri Sindy. Sebelumnya aku tidak memperhatikan, tapi bila melihatnya di jarak yang sedekat ini, meski hanya sesaat aku pasti langsung menyadarinya.

Benda yang menggantung itu adalah sebuah kantung plastik yang transparan. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah benda yang ada di dalamnya. Di dalamnya terdapat sebuah benda, aku tak menduga akan melihat benda itu sekali lagi.

"Ini Proto Device. Kau juga mendapatkannya kok, meskipun benda itu saat ini berada bersama Zakaria." Sindy sedikit mengangkat tangan kirinya untuk menunjukkan benda yang berada di dalam kantung plastik itu.

Ah, kalau tidak salah mereka memang bilang kalau tiap peserta akan mendapatkannya di akhir pertandingan.

Entah melupakan hal itu merupakan hal baik atau tidak bagiku. Sungguh, aku tidak butuh benda itu. Bila kulihat sisi positifnya, mungkin aku bisa menjualnya di internet.

"Ooh..." Balasku datar sedatar tembok yang mengelilingi taman ini.

Kesunyian menyelimuti kami berdua. Cahaya mentari sore mewarnai sosok perempuan yang berada di hadapanku ini. Mata biru lautnya berbinar seperti permata. Rambut hitamnya diterangi oleh cahaya kemerahan yang indah.

Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya bagiku dan Sindy benar-benar mengobrol santai. Biasanya, baik ketika di sekolah maupun di luar sekolah, situasi antara aku dan dia begitu canggung dan dingin. Itu membuat baik aku ataupun dia tidak tahu harus berbicara apa. Seakan kami berdua membatu di tempat.

Tidak, kurasa aku juga salah. Aku tidak pernah benar-benar memperhatikan orang-orang di sekitarku. Mungkin karena itu jugalah aku tidak pernah bisa benar-benar dekat dengan siapapun.

Dan setelah mengalami ini semua, akhirnya kedua mataku terbuka.

Sindy sedikit melirik ke arahku lalu membuang pandangannya. Pipinya sedikit merona dan tatapannya agak malu-malu. Sesekali dia menatap kedua tangannya seolah memberi sinyal kalau dia sudah mulai lelah menahan tubuhku.

Eh?! Sial! Aku terlalu sibuk tenggelam dalam lamunanku sampai tanpa kusadari aku malah menciptakan situasi canggung diantara kami berdua.

"Ka, kalau begitu ayo kita pergi dari sini."

"I, iya..." Balasnya dengan suara sedikit tertahan.

Tangannya dengan telaten perlahan melepas pundakku.

Aku sempat sedikit kehilangan keseimbangan dan membuat Sindy kembali siaga, namun aku menghentikannya.

Kami berjalan kembali menuju satu-satunya jalan keluar dari taman ini.

Tetapi, aku hentikan langkahku sebelum aku berjalan memasuki gang sempit yang gelap itu.

Sebelum aku meninggalkan tempat ini, kurasa aku harus benar-benar menyampaikan ini.

Aku berbalik menghandap Sindy. Dia sedikit terkejut atas tindakanku. Pundak dan alisnya sedikit tertarik ke atas dan kedua matanya menatap lurus ke arahku.

Ketika aku melihatnya, seolah terdapat sebuah tanda tanya keluar dari tatapan polosnya.

Kukepalkan tanganku, lalu menarik napas dalam.

"Sindy... Terima kasih. Aku tidak tahu bagaimana jadinya bila kau tidak menemukanku."

Kata-kata itu berasal dari lubuk hatiku yang paling dalam. Tak ada tipuan maupun kebohongan di tiap kata yang keluar dari mulutku.

Aku benar-benar berhutang padanya. Bila Sindy tidak menemukanku, aku mungkin masih tersesat di distrik tiga. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padaku bila itu terjadi.

Sindy membalas kata-kataku dengan sebuah senyuman tulus. Tatapannya melembut dan kepalnya sedikit dimiringkan.

"Sama-sama."

Senyuman dan kata-kata lembut yang diberikannya terasa begitu hangat. Di nada bicaranya yang lembut itu, bisa dirasakan rasa bangga sekaligus syukur yang tulus.

Rasanya seperti berbaring di dalam kotatsu. Hangat, nyaman dan membuatku tak ingin pergi dari posisi itu. Semua rasa letih dan haus yang kurasakan sepanjang perjalanan benar-benar sudah kulupakan.

Tanpa kusadari wajahku ikut tersenyum. Seakan tubuh ini ingin membalas senyuman yang telah diberikan olehnya.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku bersyukur memiliki teman.

Sungguh, ini adalah kenyataan yang indah untuk mengakhiri hari yang panjang ini.

Kelanjutan dari chapter pendek sebelumnya. Chapter yang mengakhiri hari Jum'at yang panjang itu. Chapter berikutnya adalah dua chapter terakhir untuk mengakhiri Arc 1 ini

Terima kasih sudah mau membaca. Apabila kalian suka dengan novel ini, pastikan masukkan cerita ini ke dalam library kalian untuk bisa terus mengikuti chapter terbarunya :)

Dan bila berbaik hati, power stone bakal gw appreciate banget. See ya later

IzulIzurucreators' thoughts