webnovel

Tawaran Menarik

Hansel meberitahuku ia akan menunggu di rumah sakit. Ini sudah larut malam. Membangunkan Lux dan meminta izin agar diperbolehkan keluar adalah hal yang harus aku hindari. Aku memesan taxi secara daring. Setelah mereka tiba aku meminta petugas keamanan di perumahan mengizikan taxi itu untuk masuk.

Aku mengambil tas dan ponsel. Aku tak terpikir untuk meninggalkan pesan untuk Lux.

"Nyonya, bukankah ini sudah malam?" tegur pengemudi kepercayaan Lux. Ia mengawasi setiap gerakanku.

"Aku mengerti. Aku tak akan lama"

Ia tak bisa mencegahku. Tidak dia, tidak juga Lux. Aku segera masuk ke taxi yang sudah menungguku.

Semoga Lux tidak mencari gara-gara kali ini.

Sesampainya di rumah sakit, aku melihat Hansel menunggu di lobi. Kami segera bergegas menuju ruangan Tuan Budayana dirawat.

"Bagiman kencanmu?" tanyaku sepintas.

Hansel terlihat datar. "Kita bicarakan nanti"

Kami tiba di ruangan. Suster yang mengantar kami memperingatkan agar kami tak terlalu berisik.

"Ini sudah sangat larut. Dan kalian tahu bukan aturannya."

Suter itu segera pergi. Kami mendekati Tuan Budaya yang terlihat depresi.

"Paman, bagimana perasaanmu?"

Tuan Budayana menoleh ke arahku. "Vina? Apakah itu sungguh kau?" tanyanya.

"Benar ini aku Paman. Aku yang menabrak paman. Maafkan aku."

Tuan Budayana berusaha untuk bangun. Hansel dengan cekatan menaikkan sedikit tempat tidurnya.

"Terimakasih, Kau ?"

"Saya Hansel. Teman Nona Vina." Kata Hansel memperkenalkan diri.

Tak ingin menganggu, Hansel meninggalkan kamar dan memberi ruang untuk kami berbicara.

"Paman, apakah benar bibi telah?" kata-kataku terhenti seketika. Tuan Budayana memberikan isyarat agar aku diam. Terlihat jelas kesedihan masih menyelimuti wajahnya.

"Aku mengerti, maafkan aku"

"Vina" tuan Budayana membuka pembicaraan. "Kau tak perlu minta maaf." Katanya.

"Kau tidak bersalah. Istriku meninggal, karena putra semata wayang kami meninggal. Ia adalah harapan kami. Jika kau menjadi seorang ibu, kau akan tahu bagaimana pedihnya perasaan itu. Hari ini pun, kau tidak bersalah. Aku memang sengaja ingin membuat diriku celaka."

"Paman, apa maksud paman?" tanyaku.

"Vina, aku mencoba bunuh diri. Aku sudah tak memiliki siapa-siapa lagi. Aku merasa tak ada gunanya lagi aku hidup. Aku sudah tak menginginkan apapun juga saat ini. Aku yakin, kau pasti mengerti apa yang kumaksudkan."

Aku meraih tangannya dan memberikan genggaman. Berharap ia tak seputus asa itu.

"Tadi saat paman masih pingsan, ada seseorang yang menelpon." Kataku untuk mengalihkan kesedihannya.

"Oh ya? Siapa?" tanyanya. Aku mengambilkan ponsel miliknya dari meja. Ia segera membuka kunci dengan sidik jarinya, dan melihat panggilan.

"Maaf aku mengambil sidik jari paman dan menganggkatnya."

"Tak masalah bagiku." Jawabnya santai. Ia segera mengecek satu persatu.

"Apa yang mereka katakann?" tanyanya padaku.

Aku menarik kursi sebelum bicara. Ini akan menjadi cerita yang panjang. Jadi lebih baik aku membuat diriku nyaman.

"Mereka bilang minta maaf karena tak bisa hadir di pemakaman bibi."

Tuan Budayana segera meletakkan ponselnya. Ia terlihat tak bersemangat.

"Mereka adalah keponakanku. Aku tak pernah membayangkan mereka akan seperti itu. Mereka aku sayangi dan kuanggap anak sendiri. Tapi, siapa sangka kau telah membesarkan seekor rubah dan kawannya.

"Aku tak mengerti, paman."

Tuan budayana membuka ponsel dan menunjukkan foto mereka padaku sembari bercerita.

"Mereka mengincar perusahaanku. Anakku mati, aku juga sudah seperti ini. Mereka mengincar posisi startegis. Jika aku mati, mereka akan secara otomatis mendapatkan semua warisan ini. Dan sayangnya, mereka terlalu tamak. Mereka lakukan banyak hal sejak berkerja di perusahaan. Memecat orang, berkata kasar dan tidak mengenal belas kasihan. Tak kusangkan, bahkan mereka tak mau menghadiri pemakaman istriku dan hanya menelepon. Mereka benar-benar hanya peduli pada hari kamatianku."

Aku menyilangkan tanganku. Aku bisa melihat ia seperti orang yang jatuh tertimpa tangga.

"Aku turut prihatin."

"Vina, mereka adalah keponakanku. Aku juga salah mendidik mereka. Harusnya, aku tak memberikan posisi strategis. Saat itu, aku merasa kasihan. Mereka lulus kuliah dari Amerika dan hanya bekerja sebagai pegawai outsourcing. Karena tak tega, aku membawa mereka ke perusahaan. Tak kusangka, itu membuat mereka lupa diri."

Aku tertawa. "Sudahlah. Semua sudah terjadi. Apakah akan menjadi masalah jika paman tak memiliki semua perusahaan itu lagi?"

"Jangan salah sangka. Aku peduli dengan karyawan-karyawan baikku. Mereka sangat baik dan aku memiliki tanggung jawab moral terhadap kehidupan mereka. Jika kau memiliki sebuah bisnis, jangan hanya mengharapkan uang. Tapi kau juga harus bertanggung jawab terhadap semua karyawan dan anak buahmu. Jangan sampai kau berlaku seperti seorang penjajah. Memperkerjakan dengan sewanag-wenang dan membuat mereka sakit hati. Jika itu terjadi, enatah berapa orang akan mengutukimu."

Aku tersenyum dam memintanya untuk tenang.

"Paman belum berakhir. Anda akan sembuh, dan lakukan sesuatu pada perusahaan itu."

"Apagunanya sekarang? Aku tak memiliki apapun. Sejak anakku meninggal, aku terlalu sering meninggalkan pekerjaan. Orang lain telah mengambil alih dan membuat kebijakan baru."

"Maka, kembalilah dan tunjuukan siapa Bosnya!"

Tuan Budayana spontan tertawa. Aku melihat sedikit sinar di wajahnya.

"Kau sendiri bagimana Vina? Ku dengar kau menikah dengan pendiri Sleep and See Coorp? Apa itu benar?"

Aku tak menyangkalnya karena memang itu keadaanya.

"Aku tak menyangka, kau jauh lebih rumit dari yang aku bayangkan."

"Dalam lautan bisa kita ukur, tapi hati manusia siapa yang tahu?" jawabku santai.

"Kalau begitu, aku ingin mengukur hatimu. Apa kau mencintainya?"

aku tertegun dan tak bisa menjawab. Satu kata pun tak keluar. Keheningan mendadak menguasai kamar ini. Aku dan Tuan Budayana sama-sama diam.

"Jika tidak bagimana jika kau tinggalkan dia dan menikah denganku. Aku yakin, kau bisa mengurus perusahaanku dengan baik sebelum aku mati!"

Aku tersenyum. Masih bisu tak bisa bicara. Entah apakah Hansel mendengarnya atau tidak. Tapi apakah seorang pria memang selalu seperti ini?

Aku melihat jam, sudah cukup lama aku bicara. Matahari pun sudah bersinar cukup terik,

"Aku harus kembali. Nanti aku akan urus semuanya. Jaga diri paman baik-baik."

"Kau juga. Dan tawaran ku itu, bukan main-main. Tidakkah kau berfikir, kita bertemu karena takdir?"

Aku segera keluar dan menutup pintu. Suster yang berjaga datang. Aku memintanya mengabari jika sesuau terjadi. Aku juga meminta agar Tuan Budayana menadapat penanganan kejiwaan juga.

"Hah, menikahlah denganku? Benar-benar membuat sakit telinga." Sindir Hansel.

Aku berjalan keluar. Tak bicara apapun dan mengabikan gerutuan Hansel. Entah kebetulan atau apa, aku melihat Lux berjalan ke arahku.

"Masalah datang!" gumam Hansel. Ia segera menjauh saat Lux berhenti di depanku.

"Lux, apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku datar. Tanpa banyak bicara, ia memintaku pulang bersamanya.

Tiba di rumah, kami ulai berdebat di kamar. Ia terlihat sangat kesal. Ia menanyakan banyak hal. Mendesakku terus. Ia terus mengomel tanpa habisnya.

"Lux Hemel Immanuel, aku tak pernah memintamu untuk menikahiku."

Seketika itu juga bak keruntuhan Candi Borobudur. Lux diam. Dan mulai mendengarkan aku. Wajahnya tampak tak puas. Tak lama, ia mengambil setumpuk dokumen. Aku mengambil dokumen-dokumen itu. Ini tak baik, ia menemukan masala laluku.

"Aku bisa membantumu untuk balas dendam, hanya saja. Cobalah mencintaiku"