webnovel

Sixthsense (jiwa-jiwa yang merindu doa)

Kisah perjalanan hidupku bertemu dengan mereka. mahluk tak kasat mata yang sebenarnya adalah jiwa jiwa yang merindu doa. banyak hal diluar logika dan supranatural aku alami di dalam cerita ini. semua cerita di sini adalah kisah nyata. #indigo #sixthsense #indrakeenam #supranatural #horror #thriller

Rini_Fatmawati · Kinh dị ma quái
Không đủ số lượng người đọc
19 Chs

Dia yang keras kepala.

Dia kembali menyilangkan tangannya dan terdiam. Berharap segala sesuatu dapat berlalu dengan cepat. Wajahnya datar dan tampak dia tidak ingin memikirkannya lebih lama. Ingin segalanya berlalu.

"Kau, tidak ingin mengucapkan sesuatu?" tanyaku kembali dengan penuh selidik. Mataku sengaja tidak menatap wajahnya. Hanya sesekali.

"Tidak. Nggak mau," Dan bisa kuhitung berapa kali dia mengucapkannya.

Lebih dari lima belas kali kurasa atau lebih sedikit. Dengan jawaban yang sama, tatapan yang sama dan dengan sikap yang tidak berbeda.

"Jadi, kau hanya cerita kepadaku tentang perasaanmu kepada dia. Dan kau tidak sedikitpun ingin dia tahu? Kasihan sekali, dia," kulirik dia dengan sudut mataku.

"Banyak sekali orang atau jiwa ingin di posisimu sekarang. Ketika mereka ingin berkata tentang sesuatu kepada orang lain yang masih hidup. Dan kau menyia-nyiakannya. Kurasa aku bisa memberikan bantuan," untukku sambil membenahi bantal di sekitarku.

"Tak ada yang bisa diucapkan. Dan tidak ada lagi yang dapat diucapkan. Semua omong kosong dan kau tidak bisa membantuku. Apakah dengan aku mengatakannya engkau bisa mengembalikan semua? Tidak 'kan?" Dia memberondongku.

"Yah, emang nggak bisa bantu banyak sih. Dan aku berharap bisa membantu," ujarku.

"Nggak bisa bantu, terus sok mau ngebantu," tambahnya.

"Ya, kalo nggak mau dibantu ya sudah. Kan aku hanya menawarkan. Kebetulan aku kenal dengan temanmu," kataku pelan.

"Kenal bukan berati aku mau kau membantu. Biarkanlah tetap seperti ini. Lagipula aku tidak ingin dia tahu perasaanku padanya. Boleh kita sudahi obrolan ini?" katanya cepat.

Kali ini aku tercekat. Tak ada jiwa yang sekeras kepala ini yang aku temui. Kali Ini ada.

Kau tahu, rasanya jika ada orang yang begitu menggebu menceritakan orang yang dia taksir, ketika kau yakin sekali dengan kemampuanmu bisa membantu 'menyampaikan' nya.

Tetapi dengan tiba-tiba dia menginjak rem dan menghentikan niat tulusku. Huft ... rasanya semua bantuan yang harusnya kuberikan dengan tanpa pamrih menjadi sia-sia.

Dan rasanya tuh nggak enak. Trus maksudnya dia datang tuh apa. Kadang aku harus siap menghadapi hal yang nggak terduga. Seperti ini contohnya.

"Sudah cukup, merenungnya?"

"Em, merenung?" kataku gelagapan.

"Iya, kau dari tadi diam. Belum pernah bertemu yang seperti aku sebelumnya? kau harus membiasakan diri. Aku hanya sebagian dari mereka yang tak ingin semua di ungkap. Maksudku, tidak semua ingin disampaikan. Kau tahu, hanya dengan bercerita saja kami sudah merasa lebih baik. Kami tahu orang seperti kalian tidak bisa membantu."

"Setidaknya, kalian menghargai apa yang kami lakukan. Kadang kami

Bosan hanya mendengar kalian bercerita soal hidup kalian, berceloteh tentang hidup yang dirasa tidak cukup adil. Mengapa aku begini mengapa aku tidak seperti mereka yang bisa hidup lebih lama, mengapa dia bisa aku tidak ...." Akhirnya kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku.

"Sudah, hentikan. Kami tidak semua seperti itu. Kasihan sekali mereka, yang hanya bisa mengeluh dan tidak memaknai hidup. Tidak menganggap hidup ini sebuah pola yang harus bergulir dan akan terus menerus seperti itu. Kau tahu, sebagian dari kami tidak ingin kau tahu masalah yang kami punya? kau tidak tahu 'kan, bahwa kami maksudnya aku hanya ingin semua ini dianggap 'sudahlah'"

Dia menjawab santai.

"Aku, tidak menyangka bisa sesimpel itu. Kau, tahu mereka yang suka datang dan mulai bercerita tentang masalahnya dan ...." aku tidak melanjutkan kata-kataku.

"Kau pun, juga langsung membentuk benteng dan tidak mau berurusan dengan masalah mereka bukan?" Kali ini dia menjawabnya seolah dia dapat membaca pikiranku.

"Maksudmu?" tanyaku.

"Kau, pasti tahu maksudku? kata-kata 'saya tidak bisa membantu banyak hanya sebuah doa dan waktu untuk mendengarkan. Tidak lebih dan tidak mau berbuat lebih' please ... helo? kau berharap bisa membantu apa saat kau sudah berkata seperti itu?!" Lagi-lagi dia memberondongku dengan pernyataannya.

Kali ini, aku benar-benar tercekat dan merasa di telanjangi dengan kata-katanya. Sial. Nggak bisa berkutik lagi. Ingin segera rasanya aku berhenti menulisnya. Sekarang atau tidak sama sekali. Ya aku harus berhenti mengetik bagian 11 ini dan membuat tanda ----- sebagai akhir dari percakapan ini.

"Sudahlah, jangan jadi pengecut. Katakan saja semua kepada teman-teman facebookmu. Biar mereka tahu apa rasanya menjadi dirimu. Menjadi orang yang bingung atas kemampuan. Kadang menjadi orang yang baik tidak selalu bisa membantu."

Aku terdiam.

"Kadang, aku bingung dengan apa yang harus kulakukan dengan mereka. Tanpa harus menjadi seorang pahlawan dan berharap hidup mereka menjadi lebih baik," kataku pelan.

"Kau, tidak harus menjadi seperti itu. Kau tahu, mereka pun eh kita maksudnya. Tidak mengharapkan apapun dari kalian. Kalian berharap bisa membantu kami?" ungkapnya.

"Ya, seperti itu 'kan memang?" ujarku.

"Kadang, kami tidak ingin seperti itu. Memang tidak semua berpikiran seperti itu. Tanpa bantuan kalian pun tahu kami selalu ada di dekat keluarga kami. Tidak bisa diragukan. Hanya saja, mereka tidak menyadarinya. Dan kami memang berharap seperti itu. Kami, di dunia yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan mereka. Kami terputus secara amal perbuatan. Mereka tidak bisa mempengaruhi kami, begitu pun sebaliknya."

"Lalu, untuk apa kalian datang ke kami maksudku kepadaku? tidak hanya sekedar datang dan cuma berkata yah seperti ini ...." kataku sembari memajukan wajahku kearahnya.

"Oh, tidak tidak. Aku, tidak seperti yang lain. Walaupun aku punya keinginan. Tapi yah biarkanlah seperti ini adanya. Tak mau juga aku mempengaruhi pikirannya. Kami ingin tetap seperti ini," katanya sedikit congkak.

"Kau, yakin tak ingin dia tahu perasaanmu padanya? Sombong sekali kau tidak ingin berbagi padanya. Aku bukan sok pahlawan ya. Aku hanya sekedar membantu saja. Yakin tidak mau?" Aku sedikit memicingkan mataku. Sembari berharap dia luluh untuk tidak bersikap sok keras kepala.

"Sudahlah, anggap saja ini ungkapan terima kasihku, karena kau telah menamparku habis-habisan," ujarku lagi.

"Aku tidak mungkin mengakui kalo 'aku sayang padanya'. Aku tidak secengeng itu kawan. Tenang saja. Aku jiwa yang tegar dan bermartabat."

Entah sengaja atau keceplosan dan kuanggap itu disengaja ia ingin aku mengungkapkan kepada orang yang disayanginya. Kapan aku sampaikan pesannya? Tunggu saja. Tidak semudah itu dia bahagia. Hahaha. Dalam hati ku tersenyum puas.

--------