webnovel

Sixthsense (jiwa-jiwa yang merindu doa)

Kisah perjalanan hidupku bertemu dengan mereka. mahluk tak kasat mata yang sebenarnya adalah jiwa jiwa yang merindu doa. banyak hal diluar logika dan supranatural aku alami di dalam cerita ini. semua cerita di sini adalah kisah nyata. #indigo #sixthsense #indrakeenam #supranatural #horror #thriller

Rini_Fatmawati · Horror
Not enough ratings
19 Chs

Melarikan diri dari mereka.

Di dalam kereta api dari stasiun Gondangdia, bekasi. Sekitar pukul sembilan malam, kalau tidak salah.

"Beneran nggak sih, ini?" tanyanya, sambil menggigit ujung bibir.

"Ya, katanya sih gitu."

"Katanya siapa? jangan maen-maen deh. Lo bilang yang kayak gini bisa bantuin kita. Beneran?" ujarnya gusar.

Aku hanya diam. Bergeming dan hanya berusaha tidak mendengar obrolan mereka.

Kumasukan earphone kedalam lubang telinga lebih dalam. Lalu cek volumenya sengaja ku perbesar, kurasa sudah cukup untuk meredam obrolan mereka. Tapi, sial suara mereka makin terdengar jelas. Aku benar-benar terjebak sekarang.

"Ya, katanya sih. Gue, juga nggak tau. Apa salahnya sih, nyoba. Toh, kita nggak rugi apa-apa."

Kulihat dari sudut mataku, mereka saling menatap kebingungan. Kedua pria paruh baya yang ku taksir usianya sekitar tiga puluhan. Fisik oke nggak ada kekurangan dan yang aneh-aneh. Oke. Meninggal karena penyakit.

"Iya, memang. Nggak salah. Berapa kali coba, kita ketemu yang kayak gini. Banyak. Gak cuma dia doang. Lagian, palingan kayak yang udah-udah," ujar pria itu sembari tangannya, menggigit ujung kuku.

"Banyak dari mereka yang nggak bisa menolong kita. Cuma, kata yang pernah kita temui, ada yang bisa. Nggak salah kan, nyoba?" katanya berusaha menenangkan.

"Capek, gue bro ...." lanjutnya.

"Ya, terus kita bisa apa dong? lo juga, nggak bisa bantu apa-apa kan? kita udah pasrah. Nggak berguna lagi. Eh ... maksud gue, udah nggak bisa ngapa-ngapain lagi. Kalo ngomong menyerah, dari dulu gue udah nyerah. Lagian, siapa sih, yang mau kayak gini. Kayak lo, kayak gue ...." jelasnya tatkala meremas kancing depan bajunya.

Haduh, Volume earphone sialan ini, nggak cukup menutup suara obrolan mereka. Aku menyimak ada kegundahan dan kegelisahan disana. Yah, bukan hal yang baru lagi sih. Rata-rata, mereka yang seperti ini selalu punya perasaan yang sama. Putus asa dan tidak tahu harus bagaimana lagi.

Aku, mencoba untuk tidak mengindahkan mereka. Berusaha tidak menyimak pembicaraan mereka.

"Oke, sekarang menurut lo, dia bisa dengar kita enggak?" tanya pria itu kembali kepada teman di sampingnya.

"Ya, mana gue tahu. Dari tadi sih sikapnya biasa aja, kayak gitu. Nggak kayak, ngerasain kita di sebelahnya. Hmm ... tapi, ada yang aneh deh ...." wajahnya melihatku dari samping.

Oke, aku mulai sedikit panik. Wajah kita hanya berjarak dua puluh centian. Aku, harus bersikap biasa saja. Bersikap netral, sembari mengatur energi supaya tidak terlalu gelisah. Setidaknya, dia tidak melihatku merasa takut ataupun tidak nyaman.

Pria ini, mulai meneliti wajahku. Mulai mengetes dan mulai menebak gelagat yang bakal aku keluarkan.

Tanganku mulai meremas besi pegangan di commuter line. Mulai seperti, meremas gas sepeda motor. Kalau ini, kurasa cengkraman sepeda motor, sudah kecepatan diatas seratus kilometer, kurasa.

Atur napas. Wajah harus terlihat biasa.

Nah, ditahap ini aku mulai menyiapkan beberapa skenario terburuk. Pertama, berlagak tiba-tiba pindah dan beranjak pindah gerbong atau sedikit bernyanyi senandung, walaupun tidak tahu lagu apa yang terdengar di radio. Dan, sepertinya skenario ini adalah yang terburuk dari yang terburuk. Cara seperti ini pasti akan ketahuan, karena aku bisa melihat mereka.

Hmm, harus cara yang terakhir nih. Pasrah Ini langkah terbaik.

"Gimana? Bisa nggak?" Kata pria itu, sembari menepuk bahu teman di sampingnya.

"Bentar deh, ini orang kayaknya bisa, tapi, gue nggak yakin." Sembari menatapku dalam-dalam.

"Yaelah, bisa apa enggak? dimana lagi bisa ketemu yang kayak gini. Temen lo siapa sih, salah ngasih informasi kayaknya ...."

"Berisik! Gue juga lagi mastiin ini anak bisa liat kita apa enggak? nggak bisa lihat tapi, kok kayak bisa. Bisa lihat tapi, kayak pura-pura," selidiknya.

Mataku kembali menatap keluar jendela commuter line. Mengikuti lampu sebuah gedung dari kejauhan. Lagi-lagi aku berusaha tidak mendengar.

"Emang, lo nggak bisa ngeliat aura mereka, yang punya kemampuan lebih kayak dia?" Suaranya parau.

Pertanyaan ini, sebenarnya yang paling aku tunggu jawabannya.

"Enggaklah, gue juga baru 'meninggal' dibawah sepuluh tahunan. Kemampuan gue gak secanggih itu. Lagian, kita juga nggak punya kemampuan kayak gitu. Cuman bisa liat gelagat dan bahasa tubuh mereka aja," jelasnya sambil menatapku sinis.

Nah, betul. Aku setuju. Selama mereka tidak punya kemampuan 'mengenali' kita yang punya kemampuan 'melihat', aku berada diposisi aman. Saat ini.

Aku kembali tenang. Dan tidak bergeming. Santai, lebih tepatnya.

"Terus, gimana dong?" sambungnya.

"Ya udah, kayaknya dia nggak bisa. Atau sebenernya, bisa tapi gak mau digunain," liriknya sinis

Deg! Alisku terangkat kompak. Sembari menahan senyum kecut.

"Udah yuk, kita turun ..." katanya sembari memberi aba-aba dengan jempolnya.

"Yuk ..."

Seketika aku bisa bernapas lega.

Selamat lagi.

----