webnovel

33. Chapter 33: Senja Pertama di Bali

Para petinggi Marion Skin care & Cosmetic sudah berkumpul di sebuah ruangan rapat yang berada di lantai 12 sebuah gedung pencakar langit miliki Marion Group dibawah pimpinan Mama Maryam yang kini datang paling akhir dan duduk di tempat paling sentral.

Ralat!

Sepertinya Mama tidaklah yang terakhir datang. Satu kursi masih kosong.

"Kosong?" Mama memastikan, "Kemana Ibu Dewanti?"

"A-ah~ Ibu Dewanti belakangan ini nggak enak badan, Bu." Jelas salah satu staf dari PT. Cosmetica.

Mama Maryam menyipit sejenak sebelum mengenakan kaca mata sembari mengais hipotesa. Sebab, ia kenal betul sosok Dewanti. Ia selalu banyak bicara dan bercerita di luar pekerjaannya. Apalagi jika sedang merasa tak enak badan, ia akan meminta izin secara langsung.

"Kita akan mengadakan rapat peluncuran produk. Jadi, Bu Dewanti akan Saya wakilkan." Imbuh salah satu staf lelaki tersebut.

Mama Maryam yang masih tampak berwibawa saat sedang bekerja itu menganggu-angguk datar. Pasalnya, rapat kali ini tak sepenting rapat perencanaan dan presentasi produk baru. Jadi, itu tidak terlalu masalah.

"Baiklah. Ayo, kita mulai."

"Ya, Bu."

^^^

Komplek villa milik keluarga Ale memiliki adalah tempat yang tersembunyi. Berada di atas puncak salah satu bukit. Disana terdapat beberapa bangunan Villa yang terbagi dengan beberapa ciri khas dan kenyamanannya masing-masing.

Dan pasangan pengantin baru itu menempati villa paling besar yang berada di paling atas. Pemandangan memukau taman asri dan samudera tak bertepi di seberangnya. Villa ini dilengkapi ranjang nyaman berukuran besar, gazebo ala Bali, dan kolam di mana Anda dapat beristirahat sambil berjemur sepanjang hari.

Seperti yang dilakukan Lynn.

Perempuan ayu berambut sebahu itu senang sekali bersantai di gazebo. Terkadang duduk di kursi gantung di atas kolam renang pribadi yang menghadap ke arah cantiknya samudera biru disana sambil menggulir sosial media. Sesekali ia tertidur lantaran dersik angin yang menenangkan berserta suara ombak yang teduh.

"Aissh! Tidur mulu, sih!" keluh Ale.

Ia keluar dari kamar mengenakan kaos putih tak berlengan yang menampilkan otot-otot kekar pada lengannya. Serta celana boxer. Pria tampan berkulit putih cerah itu berkacak pinggang sambil mengendus kasar saat terus-terusan mendapati istrinya yang sangat pemalas.

Bukankah saat seperti ini, di tempat sebagus ini, setenang ini dan bahkan di momen pertama kalinya menginjak pulau Bali.. seseorang akan sangat bersemangat untuk menikmati liburannya? Paling tidak, untuk berfoto-foto ria.

Tapi Lynn...

Dia benar-benar tak punya kehidupan.

Lynn dan Ale mempunyai banyak sifat dan karakter yang sangat bertolak belakang. Meski begitu, mereka bisa saling mengisi satu sama lain. Bukankah definisi pasangan sejati memang seperti itu?

Dengan jahilnya, Ale menggoyangkan ayunan rotan yang memangku Lynn sampai bergetar. Sontak itu langsung membuat sang istri panik kebingungan. Nyaris tercebur ke dalam kolam.

Bersama wajah kusutnya, Lynn mulai memperotes, "Uhmm? Ale!"

"Ih! Udah tau gue alergi air!" lanjutnya sambil berpegangan pada sisi rotan.

Ale tergelak agak keras, "Alergi.. alergi! Bilang aja lo mager!"

"Berhentiin, nggak?!"

"Nggak!" goda Ale yang membuat Lynn mengeraskan rahangnya.

"Awas, lo!"

Ale melipat tangan di depan dada, "Lagian lo nggak asik banget. Ayo turun ke pantai!"

"Lo aja sendiri, kenapa ajak-ajak gue?"

"Lo nggak menikmati liburan, ya?"

"Kata siapa?" gertak Lynn, "Lo nggak liat gue lagi ngapain?"

"Rebahan."

"Nah.." lantas perempuan itu membentangkan tangan ke arah pemadangan. Cukup berlebihan, "rebahan di bawah langit biru Bali beserta deburan ombak---"

"Udah.. udah.. udah!" tangkis Ale memutus celotehan Lynn yang semakin memuakkan. "Dan kita menyebutnya 'mager'."

Lynn melengos tak peduli. Ia kembali bersantai saat ayunan rotannya tak lagi bergoyang kencang, "Setiap orang punya cara sendiri untuk menikmati suasana. Ngarti kaga lo?!"

Ale menyipit sejenak saat terik matahari menyenggol mata bersamaan dengan ide jahilnya yang terus saja berputar dalam otak. Ia lantas memutar ayunan rotan itu ke tepi kolam yang dihadiahi pekikan Lynn. Tapi Ale tak peduli. Pria itu malah langsung mengangkat tubuh ringan Lynn.

"Woii! Apa-apaan, nih! Turunin Gue, nggak?!" teriak Lynn memberontak agar sang suami kesulitan.

Memang Ale jadi harus mengeluarkan tenaga ekstra.

"Lo nggak boleh pegang-pegang Gue!" teriakan Lynn semakin memekik. "Ngapain lo maksa-maksa Gue!"

"Coba nikmatin aja bentar di bawah!"

"Nggak mau! Ntar ada ombak, Gue keseret ke kerajaan bawah laut gimana?! Gimana kalau Gue jadi tetangga Patrick?!"

Ale menghentikan langkahnya sejenak. Masih terus menggendong sang istri sambil terkekeh kantaran banyak sekali celotehan abstrak darinya.

"Lo takut ombak?"

"Iya, lah! Liat aja! Menggulung-gulung gitu." Lynn menunjuk pergerakan ombak dari atas bukit.

"Kan, ada Gue."

Lynn tertegun dalam beberapa waktu. Menatap bola mata hitam pekat yang sangat jelas. Hanya berjarak beberapa senti saja darinya. Keduanya saling bersitatap.

"L-lo siapa? Larry? Si lobster penjaga pantai?"

Ale lagi-lagi dbuat tertawa, "Uhm.. terserah deh Lo anggap Gue siapa?"

Alih-alih menurut, Lynn semakin berontak lebih parah dengan menggigit lengan Ale yang penuh otot itu yang disambut rintihan kesakitannya. Sampai tak lagi sanggup membawa Lynn dalam gendongannya.

Brukk!

Keduanya lantas terjatuh di atas rerumputan.

"Akhh!" Ale meringis.

Pun dalam jatuh pun, Ale masih memposisikan agar istrinya tak langsung membentur tanah. Apalagi bagian kepala. Jadi, Lynn mendarat di lengan Ale. Betapa sigap pria itu.

"Ih! Sakit, tau!" protes Lynn langsung terduduk mengusap pinggulnya.

"Gue lebih sakit. Semuanya ini! Ngapain juga lo pakai gigit-gigit?"

"Gue nggak mau dipaksa!"

Ale berusaha bangkit sendiri untuk duduk sambil menahan sakit, "Lagian Gue maksa apa, sih? Nggak memaksa Lo buat ngelakuin kejahatan, kan? Gue nggak mau menjerumuskan Lo juga!"

Lynn memutar bola matanya malas, "Di kontrak, Lo bilang kalau Gue bisa melakukan apa Gue mau. Tapi, apa? Lo malah paksa Gue!"

Ale masih berusaha untuk menahan rasa sabarnya dengan kembali menjelaskannya perlahan, "Gue cuma mau ngajak lo menikmati momen-momen aja. Kaya kita di atas pohon itu,"

Perempuan tersebut tampak sedang mencerna kalimat-kalimat yang tersemat dari bibir Ale sambil terus banyak menerka. Mengulas kenangan sederhana di masa remaja saat mereka menikmati momen di atas pohon.

"—bedanya, ini di pantai dan waktu itu.. secara nggak langsung, Lo ngajak gue ke atas pohon. Dan kali ini Gue juga mau menunjukkan sesuatu yang menenangkan lainnya. Kebetulan pas mau senja." tambah Ale lembut.

^^^

Penuturan Ale yang selalu lembut dan terkesan berselipkan makna itu akhirnya membuat Lynn luluh. Ia turun bukit bersama sang suami menuju bibir pantai saat langit biru mulai berubah menjadi jingga. Semburat-semburat warna lain juga tampak menghias atmosfer.

Dersik angin pantai nyiur melambai. Menyambut kehadiran keduanya. Rambut sebahu Lynn sampai ikut terbang-terbang. Begitu juga dengan dress sepanjang lutut dengan lengan pendeknya.

Keindahan pantai tersebut didukung oleh adanya tebing karang tinggi di sekeliling. Ditambah dengan pemandangan ombak yang memecah batu karang. Keduanya duduk bersebelahan di pantai yang lokasinya tersembunyi tersebut.

Sama-sama menatap pemandangan alam yang sangat mengagumkan di penghujung hari. Menikmati menit-menit tenggelamnya Sang Surya diantara semilir angin nan sejuk. Hangat, tapi pekat. Damai dan lekat.

Bagi sebagian orang, senja sendiri memiliki makna magis. Sarat makna. Tapi, satu yang nyata. Senja adalah proses pergantian alam ketika sore menjelang malam. Tak lebih.

"Ale," panggil Lynn tak memandangi sang empu. Ia masih menikmati senja beserta deru ombak.

"Uhmm? Tenang, kan?"

Lynn mengangguk, lalu menoleh. Menatap Ale cukup lekat sembari bergelut melawan angin, "Lo beneran nggak mau nikah setelah kita pisah? Dan kenapa?"

Ale sedikit memudarkan senyumnya di bawah langit senja. Kemudian terkekeh menatap lautan. Hatinya membisik banyak hal yang hanya bisa membuatnya terdiam dalam balutan senyum yang tak berarti.

Lynn memperbaiki posisi duduknya, "Tatap Gue!" ia menyentuh satu lengan Ale yang langsung disambut baik. Mereka saling bersitatap, "Jujur, L-lo... g-gay, ya?"

"Enak aja!" sentak Ale panik.

"Abisnya... Lo nggak ngasih tau apa alasannya, kenapa lo nggak mau nikah dan rela ngontrak Gue demi pernikahan ini. Entah sah atau enggak. Gue juga bingung." Ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

"Kita udah sepakat nggak ikut campur urusan masing-masing, kan?"

"Kenapa Lo suka melanggar kontrak?"

"Gue?"

Perempuan ayu bagai jingga di ufuk barat itu mengangguk, "Lo selalu sentuh Gue. Meskipun itu nggak berarti apa-apa, kita udah sepakat untuk nggak melakukan itu. Tapi.. kenapa Lo melewati batas? Sedangkan Gue nggak boleh ngelakuin itu?!"

"Lynn," panggil Ale lembut, "—tapi kan gue selalu minta ijin kalau mau sentuh Lo. Dan Lo nggak mau. Begitu juga dengan yang terjadi setelah akad."

"Apa itu artinya nggak terhitung melanggar kontrak?"

Ale mengangguk canggung, "Uhmm.. nggak terh--"

Belum sempat Ale menamatkan kalimatnya, Lynn sudah lebih dulu mencondongkan bdannya. Mengecup satu pipi suaminya itu dengan lembut dibawah temaram senja. Seketika membuat Ale tak berkutik. Membeku bersamaan dengan jantung yang bergemuruh hebat. Ia seoalh sedang berada di atmosfer lain.

"Yang ini sudah terhitung, kan? Anggap aja ini yang Lo mau sejak kemarin. Sekarang kita harus impas. Gue juga mau melanggar kontrak." sambung Lynn memandangi Ale dengan gurat rona yang cukup serius.