webnovel

32. Chapter 32: Bali

Lynn yang semula berdebar dan merasakan suasana hangat saat mengusap sisi kepala Ale mendadak berubah. Ia panik. Jantungnya sudah berdetak di atas rata-rata sembari mematung. Tak tau harus berbuat apa saat mendapati tangannya dalam genggaman Ale.

Perempuan ayu itu hanya bisa menggigit bibir bawahnya yang bergetar. Jadi, Ale tidak benar-benar tidur?

Selanjutnya terdengar suara-suara kecil yang tak jelas dari bibir Ale. Entah dia berbicara apa. Yang jelas matanya masih sembari terpejam. Lynn berusaha untuk tetap bertahan dan memastikan keadaan. Sampai akhirnya tangan Ale yang sempat menggenggam itu menyingkir lemah.

Lynn menghempaskan napasnya secara kasar. Rasanya sangat lega saat mengetahui fakta bahwa suaminya itu hanya mengigau. Ia langsung berlari menuju kamar.

Masih sama. Jantungnya berdebar. Merasakan sesuatu yang lebih menegangkan dari apapun. Menutup kamar dan bersandar di balik pintu sambil memegangi dadanya yang tampak naik-turun tak keruan.

Pelu membercak di sekitar kening.

"Kenapa ngigaunya sampai pegang tangan Gue?" Lynn bertanya-tanya dengan nada bergetar, lalu memandangi tangannya. Masih terasa kehangatan dan kelembutan genggaman sekilas dari Ale, "Apa dia setengah sadar?"

"Yang lucunya lagi, kenapa Gue gemeteran?" lanjutnya memejamkan mata sejenak untuk mentralkan suasana hati dan pikirannya yang abu.

"Mungkin karena Gue emang nggak pernah ada sentuhan sama Ale kali, ya." Lynn berusaha meyakinkan diri dengan kemungkinan lain.

Terkadang ada rasa yang tak ingin kita percayai. Misalkan rasa cinta yang begitu kuat dengan teman sendiri. Lynn sedang merasakannya. Ingin terus mendustai berulang kali, nyatanya ia sudah memebiarkan perasaan itu mengendap lama.

Ya, terkadang pula, kita tak sadar jika telah jatuh cinta pada seseorang.

^^^

Kabut pegunungan terbentang sepanjang jarak mata memandang di awal hari yang menenangkan. Merdu kokok ayam saling bersahutan. Tetes bening air jatuh dari setiap ujung dedaunan. Tawa matahari di muka bumi.

Sungguh kedamaian semesta.

"Makanan sudah siap!"

Ibu datang bersama pekerjanya membawa ayam panggang. Ya, sekarang ibu sudah punya pekerja.

Mata berbinar menjadi respon terbaik dari Mama Maryam, Ayah, Naufal dan Afkar. Mereka berkumpul di pagi hari untuk makan besar.

Memang. Rasanya agak aneh menikmati pagi dengan makanan yang berat. Tapi, itu tak menjadi masalah, karena agenda pagi ini akan membahas tentang restoran ayam ibu. Seperti menu apa saja yang akan dijajakan. Bagaimana konsep dari resto tersebut.

Nyatanya masakan ibu memang juara. Mama Maryam sudah mengakuinya entah untuk ke berapa kali. Wah, mereka adalah besan yang sangat kompak satu sama lain.

"Kalau masakan kaya gini emang nggak boleh dianggurin, loh, Bu Olin." celoteh Mama Maryam memuji sambil terus menikmatinya yang disambut dengan senyum merona ibu kandung dari Lynn tersebut.

"Jadi, apa aja Bu Maryam, makanan yang layak kita jual nanti?" Ayah Haris ingin memastikan.

Khmm.. Mama Maryam berdeham sejenak untuk menetralkan tenggorokan, lalu meneguk segelas air sebelum memulai pembicaraan terkait bisnis tersebut.

"Kalau soal menu, sebenarnya semua yang ada di atas meja ini juara. Betul?" Mama Maryam menatap satu-persatu keluarga Lynn disana yang disambut anggukan pasti, "Jadi, dari pada kita bingung-bingung mau jual apa, lebih baik kita buat dulu konsep rumah makannya itu gimana."

Semua mengangguk-angguk kompak sembari terus menyimak dengan baik.

"Saya boleh saran?" tanya Mama Maryam.

"Atuh, sok!" Ibu Olin sangat antusias.

"Jadi, untuk bisnis awal, dari pada buka restoran besar, gimana kalau kita mulai dari kios-kios kecil. Kita buat waralaba?"

"Franchise?" Naufal memastikan.

Mama Maryam menjentikkan jemarinya, "Bingo! Kita buat kios-kios lucu dengan harga menu terjangkau dan juga nanti akan berada di bawah bisnis Marion Food and Baverege. Jadi, kita bantu pemasarannya dan lain-lainnya juga."

"Dan menunya saya rasa juga harus kekinian. Entah dari segi pengemasan ataupun lainnya." Lanjutnya.

Naufal mengangguk paham, "Kalau menurut saya.. soal menu bisa aja pakai masakan Ibu kaya gini. Semacam ayam panggang, bakar, goreng. Semua menu ayam dalam balutan cita rasa yang Indonesia banget. Tapi.." ia memberikan penekanan di akahir agar yang lain tetap menyimak dengan baik, "—kita buat konsep pengemasan yang kekinian. Kita bungkus ala-ala chicken kekinian, tapi cita rasa tetap Indonesia."

"Bagus!" Mama Maryam langsung menyetujui, "Ide brilian anak muda!"

Pembicaraan itu cukup dalam. Namun, tetap santai sambil makan-makan bersama dan sesekali saling melontarkan candaan, hingga tanpa sadar, waktu berlalu begitu cepat.

"Okey.. kayanya kita tinggal rapat aja ke Jakarta sama tim yang lain." kata Mama.

"Ok, Bu."

"Makasih banyak, loh, Bu." Ibu merasa tersentuh.

Mama Olin langsung mengusap punggung tangan ibu, "Anak kita kan sudah memutuskan untuk sehidup semati. Jadi, kita keluarga. Lynn anakku, Ale anak Ibu." Lalu menatap dua jagoan, "—begitu juga dengan Naufal dan Afkar."

"Omong-omong soal Ale dan Lynn.. mereka lagi ngapain, ya?" Ayah menatap pemandangan. Melampiaskan rindu yang terpendam semenjak putri kecintaannya itu tak lagi tinggal bersama mereka.

"Yang lagi saya pikirin, mereka udah bikinin kita cucu belum, ya?" celetuk Mama Maryam membuat gelak tawa.

"Mereka lagi di Bali." imbuh Afkar sambil mengulas percakapannya dengan sang kakak dan juga kakak iparnya.

"Serius?" Para orang tua membelalak.

"Mereka nggak ngasih tau kalian?" Afkar memastikan yang disambut gelengen kepala mereka.

"Heii~ mereka pasti malu. Nggak mau digoda-godain," Naufal menengahi. "Honey moon."

Ibu tertawa, "Tenang.. tenang! Pasti nanti pulangnya bawa cucu."

^^^

"Lynn!" teriak Ale mengetuk pintu kamar berkali-kali, "Aissh!" lantas menggerutu.

Pria itu kesal saat Lynn memilih untuk bermalam di kamar lain yang ada di sebuah villa minimalis milik keluarga Ale tersebut.

Lynn yang jengah, membuka pintu kamar, "Apaan, sih, ribut-ribut? Gue jetlag, tau!"

"Masa kita kepisah, sih? Ayo tidur di kamar utama!"

"Apa lagi? Nggak ada Mama! Nggak ada juga orang tua Gue disini! Jauh!" protes Lynn. Sejatinya ia sedang tidak waras setelah kejadian malam itu. Pisah kamar dengan Ale akan membuatnya setidaknya sedikit lebih tenang.

"Ada Pak Adi."

Lynn mengusap wajahnya kasar, "Lagian lo ngapain bawa-bawa Pak Adi? Katanya honey moon."

"Kalau honey moon, berarti kita satu kamar, dong!" kata Ale jahil. Sempat membuat Lynn kehilangan kata-katanya. Kemudian pria itu berdeham dan membisik pelan agar tak terdengar, "Pak Adi itu asisten Gue. Harus ada disamping Gue."

Lynn memutar bola matanya malas, "Terus?"

"Seenggaknya kita nonton film dulu, dong! Masa jam segini udah mau tidur?" lanjut Ale mengedipkan satu mata sebagai sebuah isyarat. "Kalau Pak Adi lapor Mama gimana?"

"Aissh!" keluhnya malas.

Lantas mereka memutuskan untuk menonton bersama di hari pertama kedatangan mereka di Bali. Ale memilih series yang kisahnya kerap diusung dalam beberapa versi. Karya William Shakespeare.

Aktor Inggris Josh O'connor dan Jessey Buckley mengambil peran dalam salah satu versi tersebut yang kini sedang ditonton pasangan suami-istri tersebut.

Tampak Ale sangat tenang menyaksikannya. Mengikuti segala alur dengan baik. Dan baru tersadar jika istrinya itu terlelap. Kepalanya beberappa kali tumbang.

"Ternyata dia beneran capek banget." gumam Ale tersenyum sekilas, lalu mendorong kepala Lynn untuk bersandar di bahunya yang lebar agar tak terjatuh.

Ale benar-benar tak bisa menyembunyikan senyumnya. Pipi putih itu merona kemerahan. Lalu terkekeh kecil, "Lucu banget, sih."

Lantas kembali melanjutkan tontonannya. Membiarkan Lynn terlelap di bahu. Namun, saat film tersebut hampir berada di penghujung, Ale baru tersadar akan akhir dari Romeo dan Juliet yang selalu berkahir tragis.

Ale tercenung cukup lama. Ia seolah berada di atmosfer yang berbeda kala menyadari bahwa ia juga kemungkinan memiliki akhir serupa mereka. Sebab, Ale hanya akan mempertahankan cintanya pada Lynn dalam setahun kedepan.

Sisanya... entah Ale masih diberi kesempatan untuk bernapas atau tidak.

Meski begitu, ia masih mengharapkan agar kisahnya tak serupa Romeo dan Juliet. Setidaknya biarkan Romeo yang berakhir tragis. Tak ada alasan untuk Juliet mendapatkan hal serupa.

Dalam heningnya, Ale menatap Lynn yang masih memejam pekat bersamaan dengan cairan bening itu menetes. Meluncur begitu lambat melewati pipinya.