webnovel

Bab 4 - Akankah Waktu Menjadi Tepat?

Rea begitu menikmati hari terakhirnya di bangku putih abu. Gadis yang kini duduk di sebelah kursi kemudi sang kakak yang bernama Segatra Bagas Amardyo itu tampak tak bisa mengendalikan tawa renyahnya saat melihat isi galerinya yang dipenuhi foto-foto candid San yang manis.

“Asyik banget kamu, lagi lihat apa, sih?” tanya Bagas, pemuda yang kini berusia dua puluh dua tahun itu.

“Lagi lihat foto-foto kelulusan tadi, lihat apa lagi?” balas Rea keki.

“Cie, cie, ada yang ditaksir, ya? Sampai nggak ingat orang di sebelah? Ngobrol terus sama hape,” sindir Bagas, si pemilik sikap arogan yang kadang keras kepala dan egois itu.

“Ada.”

“Ganteng, nggak? Kenalin sama aku, dong.”

“Buat apa?” tanya Rea sebal. Kerutan di wajahnya menandakan diri terganggu dengan sikap Bagas.

“Kan, calon adik ipar?”

“Nggak, makasih! Dia pasti jijik punya kakak ipar kayak kamu, Bagas. Kamu, kan, nyebelin.”

“Aku baik, ya.”

Bagas menjitak kepala Rea, pemuda itu tampak santai saja meski Rea menekik sakit. Bagas mendesis tidak tahu malu, membiarkan Rea merasakan sakit di kepala akibat dijitak pakai kepalan tangannya yang bulat dan bertenaga.“Makanya sama kakak tuh harus sopan, Rea. Kena batunya, ‘kan?” sindir Bagas lagi semakin mengembangkan dada pun senyumnya.

“Ckk, kamu nggak berubah, Bagas. Candaan adik nggak pernah kamu balas candaan juga. Giliran aku serius, kamu balasnya lebih serius. Kamu suka main fisik, aku nggak suka!”

“Itu supaya kamu disiplin dan tau batasan kayak gimana sepatutnya kamu bercanda sama orang dewasa.”

“Oh, jadi kamu merasa kalau kamu emang menjijikkan di mata calon adik ipar kamu nanti?”

“Nggak lah.”

“Terus kenapa kamu marah sama aku?”

“Itu kelepasan.” Bagas tertawa terbahak-bahak.

Mobil yang Bagas kemudikan sampai di pelataran mewah tempat keduanya tinggal bersama hiruk pikuknya. Rea membanting pintu mobil sang kakak. Gadis itu berjalan bahagia, berjingkrak menikmati malam yang diselimuti lampu. Angin malam ini begitu sejuk seakan bawa damai yang sebelumnya tak pernah Rea dapatkan. Gadis itu memasuki ruang tamu, terlihat ada ayahnya—Barmantio yang tengah asyik menonton pertandingan antara dua klub papan atas yang kental predikat musuh bebuyutan.

“Aku pulang!” seru Rea masih riang. Mendarat tubuhnya di sofa dengan kaki selonjoran di sofa lainnya.

“Kakakmu?” tanya Barmantio pada anak gadisnya tersebut.

“Ke klub mungkin, pergi lagi soalnya.”

“Klub mulu, kuliah jarang.” Barmantio geleng-geleng kepala heran. Disesap bibir gelas minumannya dengan perlahan. “Kamu jangan ikuti jejak kakakmu.”

“Emm. Aku ke kamar, ya!” pamit Rea melengos menjajaki anak tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai tiga, sementara lantai dua jadi tempat kekuasaan Bagas dan beberapa kamar tamu.

“Kamu udah daftar masuk kuliah kampus yang Mama minta, ‘kan?” lontar Barmantio saat Rea hendak mendaratkan kakinya di anak tangga terakhir di paling atas.

“Aku daftar di kampus lain. Aku mau masuk jurusan DKV.”

“Desain Komunikasi Visual?” Barmantio menatap ragu.

“Iya, kenapa?” tanya Rea memanyunkan bibirnya sambil memicing penasaran.

“Nggak jadi masuk Fakultas Kedokteran?”

“Lihat nanti, deh. Aku masih bingung. DKV atau Seni Murni.”

“Loh, pertanyaan apa kamu jawab apa, Rea?” Barmantio tertawa. “Ya udah, cari-cari referensi atau gambaran kampusnya dulu. Jangan sampai salah masuk jurusan, nanti mogok di tengah jalan lagi kayak Bagas.”

Rea hanya menganggukkan kepalanya, didengar tak didengar ucapan ayahnya tersebut, yang pasti saat ini Rea lelah. Sementara Rea beristirahat dalam rumah mewahnya. San di asrama tengah membantu beberapa gadis membawa koper sebab ada anak baru yang akan tinggal di tempat ini untuk tiga sampai empat tahun ke depan, mereka calon mahasiswa Farmasi yang kampusnya terletak tak jauh dari asrama wanita ini. Bisa dibilang kos khusus wanita lajang.

San duduk di depan teras kamarnya yang langsung menghadap langit malam terletak di lantai empat. Asri datang membawa nampan berisi dua gelas wedang jahe merah dan kue rangin.

“Pasti capek pulang pesta langsung bantu angkat barang? Yuk, ngopi!” ajak Asri seraya menyodorkan nampan pada San.

San yang sudah berganti pakaian dengan kaos hitam tanpa lengan dan celana setinggi lutut tampak memesona; ketampanannya bagaikan putra mahkota bersepatu kaca. Pantas banyak yang salah menyapanya, Asri tertawa dalam hati. Tangan jahilnya menyikut lengan San sambil berdeham. Wanita paruh baya itu menatap lekat-lekat. “Acara tadi seru, nggak?” tanya Asri penasaran.

“Ramai.”

“Apa kata orang tentang penampilan kamu, San?” Asri menatap serius, lipatkan penuh rasa penasaran itu membuat San tersenyum sambil angkat bahu.

“Seperti biasanya.”

“Nggak apa, kamu masih punya banyak waktu untuk belajar mempercantik dirimu, San.”

San mengangguk paham. Disesap bibir gelas wedang jahenya perlahan-lahan. Napas lega lolos bersamaan bahunya yang terkulai ke bawah. San sedikit menumpukan tubuhnya ke belakang menyentuh dinding. Bola mata gadis tomboi itu tampak redup saat menoleh pada Asri. “Makasih, Bude,” ucap San santun.

Kepala Asri menggeleng hangat, wajah teduh khas keibuan itu membuat San terenyuh barang beberapa jenak. Asri mendesah pelan, kemudian berdecak genit. “Adakah yang bakal kamu kangenin dari sekolah atau teman-teman, San. Gebetan, gitu?” goda Asri membuat San tersedak.

“Ah, Bude. Keselek, ‘kan?” San lekas mengecap bibirnya, membersihkan wajahnya yang tercipta wedang dari mulutnya.

“Ada, berarti.”

“San bingung. Kalau San jatuh cinta sama dia, pasti bakal huru-hara, Bude. Secara kita beda derajat,” ucap San lirih mengamati langit.

“Dia kaum konglomerat, San?” Asri melotot penasaran dirinya.

“Ada yang lebih dari itu, Bude.”

“Cinta nggak akan ke mana, San.” Senyum terbit sederhana dari wajah teduhnya. Asri membelai rambut San dengan tulus.

“Tapi, cinta akan selalu jadi pandangan khas dari orang-orang awam.” San menoleh pada Asri seraya tersenyum getir.

Asri tersenyum ramah. Tatapan mata tulusnya menjelma tusukan anak panah bagi San. Persetan dengan hatinya, San mendambakan obrolan bersama mendiang ibunya meski tak pernah bertemu sejak lahir ke dunia.

“Meski aku tau dia mencintaiku, dan kami selalu bersama-sama. Dunia tetap nggak akan ada untuk kami, Bude.”

Asri membelai lembut rambut San, angin malam semakin kencang ia berembus. Permukaan tangan mulai diselubungi bulu-bulu halus yang berdiri mau lari. Asri memeluk tubuhnya sendiri, sementara San kini duduk memeluk lutut. Keduanya dilanda sepi, menerawang wajah langit yang hitam pekat dihiasi lampus dari berbagai tubuh gedung.

“Ingat satu hal, San. Cinta nggak ada batasnya, jika batas itu ada dan terjadi lalu menjadi sekat. Manusia itu sendiri yang membuatnya. Ayo, tidur besok kamu harus lihat-lihat kampus, ‘kan? Sekalian cek rumah kos itu?” Asri bangkit dari duduknya meninggalkan San yang masih betah menerawang langit.

Kembali ke kamar di belahan kota lainnya, Rea sudah tidur menggapai setiap kenangan bahagia bersama San. Detik-detik berharganya adalah bersama San. Namun, Rea sadar itu semua tidak akan berbuah manis padanya atau sosok gadis yang dicintainya siang malam itu. Rea merasakan ponselnya bergetar, dengan mata sedikit terbuka dirinya membacai layar benda pipih tersebut. Beberapa pesan dari San, dari mengatakan selamat tidur sampai mengirimi stiker lucu. Rea menguap panjang, kembali tidur tanpa membalas pesan manis San. Balik ke tempat San, gadis itu mulai beranjak dari wajah langit menuju kamar. Membaringkan tubuhnya, berharap esok ada pesan masuk dari Rea. Matanya mulai terpejam, tetapi sulit sekali untuk tidur. San bangkit, meraih buku catatan yang tergeletak di atas nakas. Tangannya mulai menggambar pola titik-titik yang berubah jadi garis tebal. Teardrop, polkadot, dan lainnya yang dibuat dengan pensil arang bagi San tak ada yang lebih menenangkan dari bentuk-bentuk tersebut. Membuat labirin hitam putih dapat meluruskan pikiran yang jadi beban di kepalanya. Tanpa San sadari, tangannya mulai kehilangan kekuatan, San terkulai dengan mata berat. Kepalanya jatuh ke bantal begitu saja sedangkan catatan dan pensil jatuh ke lantai bawah. San tertidur, menuju lelap.