webnovel

Bab 3 - Tidak Menyerah

San memisahkan dirinya, menjauh dari pada siswa dan siswi yang menikmati waktu bermain mereka setelah perjalanan panjang bangku putih abu. Bahu San disentuh seseorang, tampak Rea bediri membawa dua potong red velvet di kedua tangannya. Disodorkan satu potong pada San.

“Kamu nggak makan, San?” tanya Rea menatap khawatir.

“Aku kenyang.” San memandang langit yang begitu luas.

“San, kamu mau dansa sama aku nggak?” ucap Rea lemah lembut. Gadis itu menjulurkan tangannya pada San, sedangkan gadis tomboi di hadapannya hanya diam. San membisu menatap langit yang cerah biru membawa awan putih.

“Kamu nggak capek apa?” tanya San tanpa menolehkan kepalanya pada Rea.

“Aku belum melihatmu menari. Anak-anak begitu bahagia, tapi kamu terlihat berduka. Kenapa, ada apa memangnya? Apa kamu merasa buruk dengan pakaian itu?” beo Rea memegangi pergelangan tangan San.

San menyuapkan sepotong red velvet di tangannya kemudian tersenyum singkat. “Aku hanya ingin melihatmu bahagia, Rea. Aku tau melalui masa sulit susah bagimu. Hari ini cukup melihatmu bahagia, itu lebih baik dari segalanya, Rea.”

“Aku juga pernah melalui masa yang buruk,” imbuh San menarik tubuh Rea ke dalam dekapannya. Terdengar suara napas berembus lega tanpa sadar sedangkan San hanya terdiam.

“San, aku nggak mau bahagia sendirian setelah kamu membawa kehidupan baru untukku. Ayo!”

Rea menarik tangan San, berlari keduanya ke tengah anak-anak menari di bawah chandelier yang mewah nan berkilauan. Rea menggoyangkan pinggulnya, sesekali menarik tangan San untuk bergerak bebas di udara. Menendang ujung sepatu San agar kakinya bergerak. Sadar tak sadar, seluruh tubuh San bergerak menikmati musik yang begitu asyik, menghangatkan setiap jengkal dingin dalam jiwanya. San mendekap Rea, membisikan sebuah kalimat yang melambungkan jiwanya.

“Hidup bahagia bersamaku, Rea.”

Rea mengerjap. “Kamu bilang apa, San?” tanya Rea bingung, musik yang terlalu kencang membuat pendengarnya sedikit terganggu. Tangan San sontak lepas dari tubuh Rea, gadis tomboi itu melengos pergi begitu saja seraya menahan malu. Wajah merah masaknya tampak begitu kepanasan.

San memasuki toilet dengan tergesa-gesa. Terlihat Aurel tengah memperbaiki gaunnya, tampak pula kancing gaunnya terbuka seperti beberapa waktu lalu. San meneguk ludahnya, celingukan ke berbagai arah, dan seluruh pintu kamar mandi tampak terbuka tanda tak ada orang.

“San, bisa kamu bantu aku lagi?” tanya Aurel—dia yang cantik dengan wajah blasteran Indonesia-Eropa. Aurel yang beberapa waktu lalu menganggu waktu minum San.

“Harusnya kamu nggak pakai gaun itu, Aurel. Kurasa kancingnya longgar,” cetus San seraya memperbaiki kancing gaun Aurel.

Aurel hanya memandang dirinya juga San di cermin. San tampak begitu memesona, belum sempat San menyelesaikan kancing terakhir, Auler menoleh, membalikkan tubuhnya berhadapan dengan San. Sontak San mundur hingga menghantam tepian pintu toilet.

“San, apa aku cantik?” lontar Aurel mengerling genit.

“Semua wanita cantik, Aurel,” balas San kini memperbaiki posisi berdirinya. Terasa sedikit sakit di tukang punggungnya. Namun, San berusaha bersikap tenang.

“Dengan Rea, siapa yang paling cantik?”

“Relatif.”

San membubuhkan sabun ke tangannya, menyalakan kran air membilas busa yang timbul dari gesekkan kedua permukaan tangannya.

“Kamu cantik sebagai gadis keturunan eropa. Rea cantik sebagai gadis keturunan sunda. Kan, beda.”

Pintu kamar mandi dibuka, Rea terengah-engah dengan keringat menghiasi wajahnya. Rea sontak menghampiri San, mendaratkan kepalanya di bahu San yang masih mencuci tangannya.

“Kirain kabur, taunya di kamar mandi!” lirih Rea menatap cemas.

Aurel yang bersandar di dinding menatap Rea cermat. Aurel mendesah pelan. “San bisa pergi ke mana pun dia mau, Rea,” celetuknya.

“Eh, kamu. Maaf aku nggak nyapa kamu karena nggak lihat kamu ada di situ.” Rea memperbaiki tatanan rambutnya yang kusut.

“Ah, nggak apa-apa, kok. San makasih, ya, udah benerin kancing gaun aku, kalau nggak ada kamu mungkin bisa melorot!” ucap Aurel melangkahi kedua gadis yang berdiri di depan cermin tersebut.

Rea kontak mata dengan pantulan wajah San di cermin. Akan tetapi, si empunya nama hanya diam saja menunduk mengamati bagaimana busa di tangannya perlahan terbawa air. Rea merasa dadanya dicucuk bara. Rea hendak melangkah, tetapi pergelangan tangannya ditarik San. Dituntun tubuh Rea menghadap ke cermin, sementara San berdiri di belakangnya. Rambut Rea yang tergerai dikumpulkan San dengan kedua tangannya. Kumpulan rambut jagung Rea dibagi tiga bagian, kemudian San kepang dan ikat dengan tali geleng berwarna hitam dengan manik merah delima.

“Rea cantik seperti ini,” puji San saat rambut Rea sudah terkepang rapi menyisakan anak-anak rambut halus yang keluar dari ikatannya. Jepitan yang semula melekat di rambut gadis itu disisikan San, dilempar ke tempat sampah.

“Kenapa?” Rea mengernyit.

“Aku nggak suka. Rea terlihat norak dengan jepit itu. Lebih cantik dikepang, bentuk wajah Rea yang cantik bisa lebih menonjol. Rea cantik jika rambutnya diikat.”

Rea tertawa, diacak-acak rambut San hitam tebal di atas bahu, tidak-tidak lebih tepatnya di bawah daun telinga.

San merasa ada sesuatu yang keluar dari balik jiwanya. San senang memandang leher Rea yang lenjang, putih bersih dan selalu harus aroma kulitnya. San juga senang memainkan rambut Rea yang harum nan lembut serta tebal. Namun, tak suka jika rambutnya digerai. Rea tidak cantik jika berantakan. San suka Rea yang rapi, Rea yang anggun.

San ingin menciumi setiap inci tubuh Rea jika bisa. Namun, hanya dengan begini saja San sudah merasa cukup.

Rea membuka kepangan rambutnya. Mengacak-acak rambut jagungnya kemudian disibak-sibak ke wajah San. Rea tahu, San selalu risi dengan rambut panjang seseorang maka dari itu dirinya tak pernah memanjangkan rambut. Selalu pendek adanya dan yang Rea tahui, jika San tak suka orang berantakan.

San merasakan sesuatu memaksa untuk keluar dari dalam jiwanya lebih ganas dan brutal. San mendorong tubuh Rea berhimpitan dengan dinding kamar mandi. Tubuh mereka yang begitu berdekatan membuat Rea kehilangan setengah napasnya. Sorot mata San yang padam membuat Rea gugup bukan main. San mendekatkan bibirnya ke daun telinga Rea. San berbisik, “Kamu resek!”

Rea mendorong tubuh San, napasnya yang tercekat beberapa saat kini lolos bersamaan rasa kesal. “Kirain aku, kamu mau cium bibirku!” adu Rea sebal.

“Untuk apa aku cium bibir kamu, Rea? Kamu kan cewek, aku juga cewek.”

“Emm,” dengkus Rea.

“Mau, ya?” celoteh San mencubit bibir manyun Rea.

“Nggak lah. Ngapain juga mau, aku tuh takut, ya. Soalnya kamu tuh sewaktu-waktu gantengnya ngalahin Arbain. Kan, jadi takut!”

San tertawa membawa Rea keluar dari toilet. “Meski aku ganteng, aku masihlah cewek sama kayak kamu, Rea.”

Akan tetapi, entah mengapa Rea mendambakan sesuatu yang lebih dari San. Lebih dari sekadar ciuman di bibir. Sesuatu yang lebih hangat dari sentuhan San. Rea ingin San jatuh cinta padanya, Rea ingin San sadar jika perasaan Rea sudah terlalu banyak untuk disembunyikan. Rea tak lagi tahan. Namun, seberapa kuat untuk membukanya, San tetap terlalu dingin. San yang punya dunianya sendiri. Rea mengembuskan napas panjang yang parau tatkala melihat beberapa anak gadis meminta foto bersama San.

Rea menyilang tangannya di depan dada. Melihat Rea merajuk, ekor mata San memicing tajam. Bukan tak mau mengalah dengan gejolak dalam dada. Meski paham betul Rea jatuh cinta dan mendambakan dirinya. San tidak mau terburu-buru. Rea harus mencari apa itu jatuh cinta yang sesungguhnya. Jatuh cinta gadis remaja pada pemuda tampan. Rea tak boleh jatuh cinta pada San, dunia Rea mungkin bisa lebur. San tak mau Rea terluka, atau mendapat pandangan buruk sebagaimana orang-orang memperlakukan San. Membedakan San dari dunia yang ada. San tak mau Rea dipandang berbeda hanya karena jatuh cinta dengan cara yang luar biasa unik dari cinta-cinta yang tumbuh di muka bumi. San akan mati jika Rea terluka.