"Dasar suami brengsek!"
"Kenapa juga aku harus menikah dengan suami tak berperasaan seperti dia," dengkus Willona sembari menpuk-nepuk beberapa inci tubuhnya yang terbalut piyama tidur.
Kedua mata perempuan itu memicing pada daun pintu besar yang seperti disiram api yang telah berkobar hebat di pantulan mata Willona.
Kenan menguncinya. Ya, itu benar. Tidak ada lelaki pun yang mempunyai sikap seburuk Kenan, pikir Willon. Sudah bertahun-tahun lamanya ia tak pernah tidur di luar rumah setelah kejadian dulu di rumahnya.
Dan sekarang apa? Dengan kekauasaannya Kenan justru mengunci rumah megah ini dan telah memasang tiga body guard di depan ambang pintu.
"Katakan pada pak Kenan, dia sebentar lagi akan mati dan dijemput malaikat dari Neraka!" teriak Willona yang hanya mendapatkan respon pandangan dingin dari mereka, tak ada bedanya dengan Kenan.
"Cih, mau-maunya kalian diperbudak Kenan." Tambahnya.
"Nona, pelankan suaramu. Jangan buat tuan Kenan semakin marah. Bukankah kita sama-sama bekerja di bawah tuan Kenan, jadi nona Willona juga budak tuan Kenan bukan?"
Willona mengumpat tak karuhan setelah mendengar perkataan salah satu body guard Kenan. Sialnya ia tak bisa mengatakan statusnya di rumah ini sebagai Nyonya Besar. Jika hal itu terjadi, ia berjanji akan mengganti dia dengan seribu lelaki yang lebih kekar dan tampan.
"Dasar tak berguna," balas Willona yang kembali menidurkan tubuhnya di atas lantai beralaskan potongan koran lama yang sudah habis dibaca Kenan.
"Astaga, kenapa bisa nasibku semenyedihkan ini."
Willona masih menepuk-nepuk nyamuk yang menghinggap di tubuhnya. Perempuan itu meringkuk kedinginan, mulai memejam, ia hanya bisa berharap jika langit gelap ini akan cepat berlalu.
Di tempat lain, seseorang sedang menatap melalui kaca tebal balkon kamarnya. Pandangannya melurus ke bawah tanpa halangan. Wajah dingin itu perlahan bergerak, menarik garis senyum menghiasi rahang tegasnya.
"Itu salahmu, jika kau menurut dan setuju padaku, pasti ini semua tak akan terjadi."
Jarum jam memutar dengan begitu cepat, tetapi hal tersebut tak berlaku pada Willona pagi ini. Mentari bersinar begitu cerah. Namun tak seperti keadaannya sekarang.
Perempuan cantik itu berjalan gontai masuk ke dalam dengan kantung mata menghitam setelah dibangunkan oleh salah satu pelayan.
"Ck, sialan. Kenapa bisa cepat banget paginya ...."
"Segera mandi dan kutunggu di mobil. Kita ada rapat dengan klien."
Suara bariton tersebut sontak membuat tubuh Willona berbalik, menatap tajam pada sosok lelaki kekar yang sedang mengoleskan selai pada lembaran roti tawar.
"Satu hal lagi, kita diundang untuk makan malam di rumah baru Tania. Tentu dengan mantan kekasih bodohmu juga, persiapkan dirimu. Jangan buat aku malu."
Willona menarik napas sangat dalam. Ia yang hendak mengeluarkan umpatannya seketika tertahan di tenggorakan.
"Saya tidak bisa, ada janji. Anda bisa datang dengan bu Zoya."
"Dia sangat sibuk. Hanya kau yang tidak sibuk, jangan coba membodohiku, Willona," tanggap Kenan cepat.
Willona mengedarkan pandangan. Ia melihat beberapa pelayan dapur yang tadi berdiri di depan dapur dengan cepat berjalan ke tempat lain setelah mendapati pandangan Willona mengarah pada mereka.
'Hissh, apa-apaan mereka, kayak lihat hantu aja,' gumam batin Willona.
"Cepat ganti wajah jelekmu itu, dan segera menyusulku ke mobil," kata Kenan seraya memundurkan kursi, beranjak pergi dari meja makan.
"Pak Kenan, jangan memaksa saya. Katakan saja is ... em-anu itu, sekretaris Pak Kenan sedang banyak proyek," tanggap Willona tanpa pertimbangan.
Beruntung Willona bisa menjaga mulutnya untuk tidak mengungkapkan identitas sebenarnya.
"Saya permisi, mau mandi."
Willona membungkukkan tubuh di depan punggung kekar Kenan yang masih membelakangi dirinya. Perempuan itu sedikit senang karena tak ada lagi bantahan ataupun paksaan keluar dari mulut Kenan.
'Sepertinya aku harus berendam dulu. Aku benar-benar ngantuk.'
Langkah itu mulai terngkat, tetapi Willona tak kunjung bisa beranjak dari tempatnya saat ini berdiri.
"Eh, kenapa ini?" Monolog Willona yang seketika menoleh ke belakang.
"Mandi di kamar mandi bawah. Aku tau kau sedang ingin mengacau lagi," ucap Kenan jelas menukik di gendang telinga Willona.
"Hah, Pak Kenan jangan membuat lelucon!"
"Ini sama sekali tidak lucu. Saya tidak tidur sepanjang malam, dan sekarang harus mandi di kamar mandi pelayan? Pak Kenan jangan terlalu kejam," tolak Willona yang masih bersikekeh ingin berendam bathup miliknya.
Kenan tidak menjawab. Tubuh lelaki tampan itu telah berubah posisi. Ia sengaja tidak membalas ucapan Willona, dan jika hal itu terjadi ia pastikan pagi ini akan dipenuhi dengan pertengkaran yang luar biasa.
"Pak Kenan lepaskan saya. Saya bukan anak kucing, saya bisa berjalan sendiri," protes Willona memberontak pada piyama tidur belakangnya yang ditarik Kenan seiring langkah lelaki itu berhenti pada sebuah kamar berukuran kecil yang tertutup.
"Kau mandi di sini. Jangan banyak bicara, aku tidak mau sampai rapatku sampai terlambat."
"Tapi, Pak—"
"Cepat masuk!"
Kenan mendorong tubuh Willona untuk masuk ke dalam kamar mandi, menguncinya dari luar.
Dogh!
Dogh!
"PAK KENAN KELUARKAN SAYA DARI SINI ...."
Kenan mengusap keningnya yang berkerut. Ia menggeleng dengan garis lengkung pada bibirnya, jelas tergambar merekah.
"Aku seperti sedang memaksa sapi untuk mandi," gumam Kenan.
Kenan berjalan ke arah luar rumah, tetapi sebelum hal itu terjadi. Ia melempar kunci pada seorang pelayan dari jarak yang lumayan jauh.
"Buka ketika dia sudah selesai. Jangan biarkan dia tidur."
"Baik, Tuan Kenan," jawabnya dengan nada hormat.
Di sisi lain, Willona sedang menangis sembari berteriak sekencang-kencangnya ketika air shower mengguyur seluruh tubuhnya yang terasa begitu sakit karena tidur di atas lantai.
"Kapan aku bisa bercerai dengan lelaki busuk itu. Jika dia yang menceraikanku, aku pasti akan jadi janda kaya. Aku akan membangun perusahaanku sendiri."
Willona bersumpah akan hal tersebut. Namun ada satu hal yang membuat tangis Willona terhenti ketika mengingat anak. Iya, anak. Jika dirinya berhasil melahirkan dua anak dari Kenan. Kakek Bimo berjanji akan menyerahkan seluruh sertifikat rumah dan seluruh hartanya termasuk perusahaan pada Willona.
Dan juga, bercerai dengan Kenan.
"Aku harus bisa hamil anak dari pak Kenan. Aku juga penasaran kenapa pak Kenan selalu tak pernah ingin membiarkan benihnya bersemi di perut bu Zoya ...."
"Apa dia benar sedikit berbelok? Atau memang nggak pernah mencintai bu Zoya?"
Willona menyandarkan punggungnya menyentuh dinding kamar mandi yang terasa begitu dingin menyusup kulit mulusnya.
Ketukan pintu sebanyak tiga kali membuat lamunan Willona tersabar dan sedikit menyipit perih karena sisa buih sabun ternyata masih ada di wajahnya.
"Bu Willona, Anda sudah ditunggu tuan Kenan."
"Ya, sebentar lagi saya selesai!" balas Willona yang juga ikut berteriak.
Di depan pintu kamar mandi pelayan itu menggerakkan kepala, menoleh takut-takut pada sosok berkuasa yang masih berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam saku.
"Apa jawabannya?"