"Bawa seluruh berkas yang ada. Jangan sampai kita malu dihadapan Mr. hamingston."
"Saya dengar, Pak Kenan. Anda sudah mengatakan itu berulang kali. Jika Anda melakukannya lagi. Saya pastikan, Anda tak akan mendapatkan piring," ucap Willona sembari memeluk kesusahan pada beberapa berkas penting dan paper bag yang tengah digenggam di tangan kanannya.
"Tidak lucu."
Willona berjalan dengan mata memicing ke arah punggung Kenan yang telah berjalan lebih dulu darinya tanpa membawa apa pun. Ia mendekus kesal, seandainya ia bisa melempari Kenan dengan apa yang tengah ia bawa. Mungkin surga akan menyapanya di detik itu juga.
"Dasar boss sinting!"
"Kau berani sekali, Willona. Bu Zoya saja tidak pernah mengucapkan kalimat seberani itu," kata Zeyn yang telah berjalan beriringan dengan Willona. "Sini aku bantu bawakan."
Willon mengangguk, perempuan itu menyerahkan paper bag pada Zeyn. Karena memang tubuh Willona sedang tidak sehat, ia merasa begitu lelah sejak tidur di depan pintu rumah Kenan.
"Terima kasih, Zeyn."
"Sekali-kali memang harus diberi petuah dari karyawannya. Bukan hanya dari bos saja." Lanjut Willona berucap yakin.
Zeyn tiba-tiba tertawa mendengar kalimat yang dikatakan Willona. Seandainya boss mereka ada di sini, Zeyn tidak akan bisa memastikan perempuan di sampingnya pulang kantor sesuai jam operasional nanti sore.
"Kau memang lucu, Will. Sudahlah tidak perlu membahas pak Kenan. Oh ya, apa kau siap menemui Mr. Hamingston yang sangat banyak maunya ...."
"Kita akan kesulitan memenuhi keinginannya."
Zeyn berkata berdasarkan dengan fakta yang ada. Sudah dua kali perusahaan mereka bekerja sama, dan kedua kalinya beberapa Devisi dibuat pusing dengan kemauan klien mereka tersebut.
"Tidak perlu cemas. Kita lihat saja nanti, ayolah cepat. Jangan sampai terlambat."
Di tempat lain Kenan sudah berada di sebuah ruangan khusus di sebuah restauran terkenal, menyambut uluran tangan lelaki separuh baya yang terlihat begitu tampan di usianya yang telah setengah abad lebih.
"Selamat pagi Mr. Hamingston sudah lama tidak berjumpa," ucap Kenan dengan senyum simpul.
"Selamat pagi, Tuan Kenan. Sangat lama hingga aku lupa apa yang pernah kita lakukan bersama dulu."
"Tapi tenang saja, aku masih memiliki sekretaris yang berotak cerdas, mengingatkan seluruh jadwal dan kenanganku yang terlewat."
Kenan mengangguk-angguk sebagai jawaban pahamnya, meski ia tak peduli dengan sosok wanita seksi yang dipeluk Hamington sedang menatap berani pada Kenan.
"Duduklah Tuan Kenan. Oh ya, aku hampir lupa. Ke mana sekretaris Anda. Aku juga merindukan Bu Willona. Hanya dia yang mengerti kemauan saya seperti apa."
"Selamat pagi, Mr. Hamingston. Maafkan kami terlambat."
Suara lembut itu mendadak membatalkan niat lelaki separuh baya itu untuk meletakkan bokongnya duduk. Bibir Hamington mengulas senyum mengembang menyambut kedatangan Willona.
"Bu Willona ... tidak masalah. Ayo-ayo duduklah. Kita minum kopi sembari berbincang bisnis," katanya bersemangat.
"Terima kasih Mr. Hamingston," balas Willona penuh kesopanan.
Mr. Hamingston tidak menyia-nyiakan waktu. Ia mulai melancarkan seluruh jurusnya untuk memenuhi hasrat berbinis lelaki separuh baya itu. Berbagai permintaan rumit terdengar nyaring di telinga. Willona pun ikut mengangguk dengan tangan yang terus bergerak mencatat apa saja yang diinginkan rekan bisnisnya di depannya.
"Dan terakhir, jangan buat design yang biasa. Aku ingin ada estetiknya. Aku tidak mau sampai sepenuhnya dikuasai design barat. Aku ingin melihat para tamu hotelku tercengang."
"Letakkan juga lukisan paling terkenal yang telah kusebutkan tadi. Soal harga, Bu Willona tak perlu risau."
Hamingston menggerakkan senyum puas pada Kenan, lantas mengarah pada sang sekretaris yang terlihat hanya menerbitkan setengah senyum. Dia hanya cemas jika permintaan kali ini ditolak oleh perusahaan Kenan dan justru membuatnya pusing menuruti kemauan Hamington.
"Mr. Hamington saya telah mencatat semuanya. Tanpa terkecuali."
"Akan tetapi, lukisan yang Anda minta sudah sangat jarang diperjual belikan, bahkan jika di perlelangan ....." Penjelasan Willona sengaja terhenti.
"Jadi, Bu Willona akan menolak permintaanku?"
"Tentu, tidak. Saya akan mendapatkannya untuk Mr. Hamington," jawab Willona yang membuat seluruh orang yang berada di sana ternganga, termasuk Kenan.
'Hah, sudah gila perempuan ini? Dia mau membuatku bangkrut dalam hitungan detik?' batin Kenan.
"Jadi, kita bisa bekerja sama Tuan Kenan?"
****
"Zeyn kau turun di sini," perintah Kenan.
Hah, turun di pertengahan jalan? Apa Pak Kenan sedang bercanda denganku? batin Zeyn.
Mobil telah sempurna berhenti di pertengahan jalan yang sangat jauh dari rumah bosnya. Apalagi rumah Zeyn, semakin tak terjangkau. Namun apa yang ia dengar saat ini, benar-benar di luar dugaan lelaki itu.
"Pak Kenan, ini masih sangat jauh. Apa Anda yakin?"
"Keluar."
Kenan tak lagi ingin berbasa basi untuk hal seperti ini. Amarahnya sudah berada di ujung tanduk, setelah kepulangan dari restauran itu dan melakukan beberapa meeting nyatanya tak membuat amarah Kenan surut pada sosok perempuan yang duduk di samping bangku Zeynz justru semakin membuncah saja.
"Baik, Pak," jawab Zeyn dengan nada terpaksa. Lelaki itu bergerak melepas safebelt-nya seraya diam-diam mencuri pandang pada Willona yang terlihat menggegam erat pengaman yang menahan tubuhnya.
"Tidak perlu cemas, Pak Kenan tak akan melakukan apa pun. Percaya padaku," ucap Zeyn sembari mengusap punggung tangan Willona.
"Ini pasti tentang ....."
Tok!
Tok!
Tok!
"Siapa yang meminta kalian berdua mengobrol di sana? Zeyn cepat keluar, lambat sekali kau," gerutu Kenan semakin kesal ketika melihat Zeyn akan mendekatkan wajahnya pada Willona jika dirinya tidak mengetuk pintu kaca mobil.
Kenan langsung masuk, menggantikan posisi supir yang selalu ditempati Zeyn. Ia menyalakan mesin, dan mulai mengendalikan kecepatan mobil du atas rata-rata. Meninggalkan Zeyn yang berdiri, menatap kepergian sang bos dengan kekesalan.
"Terus aku harus naik apa ini?"
Apa yang dilakukan Kenan jelas membuat tubuh Willona melonjak mengikuti kecepatan mobil, jika Willona tidak memegang pegangan di atas kepalanya, mungkin saja tubuhnya akan benar-benar terpental beberapa kali.
"Pak Kenan, apa Anda ingin membuat saya mati cepat agar Anda bisa menikahi bu Zoya?"
"Ja-jangan pikir rencana licik itu akan terjadi Pak Kenan. Kakek tak akan membiarkan itu terjadi, jadi jangan melakukan hal bodoh. Ayolah sadar Pak Kenan, kita bisa berjalan dengan kecepatan seperti biasa. Kepalaku pusing, perutku mual."
Kenan hanya menoleh dengan tatapan tajam dominannya mendengar celotehan Willona. Hari ini adalah hari terburuk dalam hidup Kenan, perusahaan hampir bangkrut karena menuruti permintaan gila Hamingston. Di sisi lain ia tak suka istrinya disentuh lelaki lain, meski Kenan tak memiliki cinta untuk Willona.
"Pak Kenan, kalau mau mati. Mati sendirian aja, biar saya bisa jadi janda kaya raya. Saya tidak akan lagi begadang setiap malam, cepat Bapak saja yang terjun ke jurang."
Belum juga bibirnya mengantup. Tiba-tiba tubuh Willona kembali berguncang,dan menatap pemandangan dari dalam mobil hanya ada lampu temaram di pertengahan jalan.
"A-apa Anda benar-benar ingin bunuh diri, Pak? Jangan, jangan masukan perkataan saya dalam hati. Itu hanya guyon semata karena kecemasan, sekarang lihat. Saya telah kembali tersenyum," ucap Willona mencoba menahan senyumnya yang tengah menembang.
"Katakan apa lagi rencanamu menghancurkan perusahaanku?"