webnovel

BAB 7

Saat ini, Olivia sudah ada di dalam kamarku, sedang duduk di atas kasur dengan merapikan rambut hitam panjangnya yang agak berantakan. Alasan kenapa dia bisa ada di sini karena aku memutuskan untuk membawanya pulang, aku melihat dia sangat ketakutan untuk kembali ke rumahnya dan dia pasti membutuhkan tempat yang aman untuk beristirahat dengan tenang.

Jangan bahas pendapat kedua orangtuaku, mereka tentu saja keberatan mengetahui putranya membawa gadis asing ke dalam kamar, tapi aku berhasil meyakinkan mereka untuk tidak perlu cemas, dan menjelaskan situasi yang dialami oleh Olivia. Pada akhirnya mereka ikut bersimpati dan mengizinkan Olivia untuk menginap.

Aku duduk di lantai, menyenderkan punggungku ke tembok, sambil memandangi kehadiran ketua kelasku yang ada di dalam kamarku. Sudah hampir 20 menit kami berada di dalam ruangan yang sama tapi belum saling berbicara sama sekali, aku tidak tahu mengapa dia belum mengatakan apapun, sedangkan alasanku tidak bersuara karena aku ingin memberikannya ketenangan sebab dia pasti membutuhkannya.

"Crowder," Akhirnya Olivia mengeluarkan sebuah suara, dia memanggil nama belakangku. "Terima kasih karena telah memberikan tempat untukku beristirahat, aku tidak tahu harus bilang apa selain berterima kasih sebanyak-banyaknya. Kau menolongku, kau memahami situasiku, aku beruntung bisa sekelas denganmu, Paul Crowder."

Aku hanya memasang wajah datar saat mendengar segala ucapannya. "Lupakan soal itu, sekarang bisakah kau berikan alasan mengapa belakangan ini kau seperti menghindariku? Apakah kau sedang menjaga jarak atau apa? Padahal aku hanya ingin kita kembali membahas masalahmu, aku ingin memecahkannya dan kau malah mempersulit semuanya."

Aku menggaruk bagian belakang kepalaku, sedikit menjambak helaian rambut hitam pendekku karena saking kesalnya mengingat hari-hari kemarin di sekolah saat Olivia menolak permintaanku berkali-kali untuk berbicara dengannya. Lalu situasinya kembali hening, sepertinya ketua kelasku bingung harus mengatakan apa karena mungkin alasannya lebih rumit dari yang kusadari.

"Aku minta maaf, aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu, aku hanya merasa tidak ada lagi yang bisa kita bicarakan soal itu."

"Omong kosong," balasku dengan menatap tajam pada matanya. "Jelas masih banyak yang ingin kau bicarakan denganku, tapi ada sesuatu yang menghalangimu. Sampai akhirnya, teror itu kembali datang, lalu kau ketakutan dan terpaksa meminta bantuanku."

Aku melihat bibir Olivia bergetar, dia seperti mau menangis sekarang.

Tidak ingin membuatnya semakin tertekan, aku beranjak bangun dari posisi dudukku dan berjalan menuju pintu kamar, berniat untuk keluar, memberikannya ruang untuk merenungkan masalahnya sendirian, tapi saat tanganku akan menarik kenop pintu, ia kembali berbicara.

"Kau benar, Crowder," ucap Olivia dengan suara yang sendu. "Sebenarnya masih banyak yang ingin kubicarakan. Tapi di sisi lain, aku juga tidak ingin orang lain ikut campur dengan masalahku, itulah alasan kenapa aku memutuskan untuk menjaga jarak dan menjauhimu belakangan ini."

Bola mataku melirik sedikit ke posisi Olivia berada. "Lalu bagaimana dengan sekarang? Apa kau masih ingin tetap seperti itu?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak, justru sebaliknya. Aku menyadari bahwa aku tidak mampu menghadapi masalah ini sendirian, semakin lama rasanya semakin menakutkan. Aku merasa mereka tidak akan berhenti menerorku. Aku bisa gila jika terus mengalami hal seperti ini."

Aku tersenyum dan membalikkan badan sehingga niatku untuk keluar dari kamar ditunda untuk sementara, Olivia sudah mau untuk kembali membahas masalahnya denganku, dan ini akan jadi informasi yang sangat bagus untuk kuberikan pada organisasiku nanti.

"Oke," Sekarang aku duduk saling berhadapan dengannya di atas kasur, kami saling menatap dengan serius. "Aku tahu masalahmu semakin serius dan aku tidak ingin bertele-tele, karena ini sudah malam. Aku ingin kau tulis nama-nama orang selain rekan-rekan kerjamu, yang pernah kau ajak bicara soal pekerjaanmu?" Aku memberikan buku dan pensil padanya.

Pada awalnya, Olivia terdiam sejenak dalam beberapa detik, ia seperti sedang mengingat keras siapa saja orang yang pernah diajaknya bicara soal pekerjaannya, kemudian dia mulai menuliskan beberapa huruf di buku yang kuberikan padanya. Aku penasaran berapa nama yang dia tulis di sana, tapi aku melihat dia sepertinya sedang kesulitan mengeja huruf-hurufnya dengan benar.

Dalam 5 menit, dia telah selesai melaksanakan perintahku.

"Kemari, biar kulihat." pintaku, dan direspon olehnya dengan mengembalikan buku itu padaku. Aku langsung mengecek hasilnya dan cukup terkejut saat menyadari bahwa hanya satu nama saja yang dia tulis di sana. "Hanya satu, kau serius?"

Olivia menganggukkan kepalanya. "Ya, seingatku, selain dengan rekan-rekan kerjaku yang seprofesi denganku, aku hanya pernah membahasnya dengan seseorang beberapa bulan yang lalu, dan orang itu adalah Bobby, mantan pacarku."

Oke. Ini tidak seperti yang kubayangkan, kupikir aku akan melihat beberapa nama yang ia tulis di buku ini, tapi ternyata hanya satu nama saja. Sebenarnya itu bagus, karena penyelidikanku jadi semakin mudah, tidak memakan waktu banyak karena hanya mencari informasi satu orang saja. Namun, entah kenapa, ada hal-hal yang masih janggal di sini.

"Lalu kenapa kau hanya menulis nama depannya saja? Aku ingin nama lengkapnya, beserta segala informasi yang kau tahu soal orang itu, seperti penampilannya, usianya, alamat rumahnya, atau—"

"Maaf, tapi hanya itu yang kutahu dari mantan pacarku," Olivia memotong perkataanku dengan raut muka yang gelisah.

"Aku berhubungan dengan Bobby hanya sebulan, dan kami bahkan belum pernah melakukan panggilan video, atau bertemu secara langsung, jadi aku belum tahu seperti apa wajahnya, dan dia juga sebaliknya," Di bagian ini aku sangat kaget, itu artinya selama itu mereka hanya melakukan hubungan jarak jauh yang bahkan tidak mengenal wajah pacar masing-masing. "Tapi aku mengakhiri hubungan itu secara sepihak karena dia mulai aneh dan menyebalkan."

Aku mengernyitkan keningku, terheran. "Bisa kau jelaskan lebih detail hal aneh dan menyebalkan apa darinya?"

Olivia menggigit bibir bawahnya, sepertinya dia agak ragu untuk membeberkannya, tapi karena dia tahu informasi itu penting untuk memecahkan masalahnya, mau tidak mau ia harus mengatakannya padaku.

"Setiap hari dia mengirimiku foto penisnya, dia akan marah jika aku tidak memberikan tanggapan pada foto-foto yang dia kirimkan. Dia juga sering memaksaku untuk mengirim foto-foto telanjang, tiap aku menolak, dia akan melakukan spam dengan mengirim pesan atau meneleponku berulang kali tanpa henti. Kehidupanku mulai terganggu dan aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan beracun itu dan mulai memblokir semua akun sosial medianya."

Olivia berhenti sejenak untuk mengatur napasnya kemudian ia melanjutkan kata-katanya. "Aku tidak tahu kalau dia sangat mesum, pemarah dan egois, padahal saat kami pertama kali bertemu di sosial media, dia sangat ramah, lembut, dan sopan. Aku sangat menyesal pernah berhubungan dengan orang seperti itu. Dia menjijikan."

Masih terasa ada yang janggal, aku kembali bertanya. "Ya, kau benar, dia sangat menjijikan, aku bahkan ingin menghajarnya. Tapi apakah kau pernah mengabulkan permintaannya, seperti mengirim foto-foto telanjangmu padanya?"

Dengan cepat, Olivia menjawab. "Tidak!" Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Satupun tidak pernah, itulah kenapa dia selalu marah padaku."

"Bagus," ucapku dengan tersenyum tipis. "Lalu bagaimana tanggapannya saat dia mengetahui bahwa kau bekerja sebagai pekerja seks?"

"Itulah salah satu penyebab kenapa aku putus dengannya, dia mulai berani menghina pekerjaanku padahal aku sudah mengatakan padanya bahwa alasanku bekerja seperti itu karena...," Air matanya langsung menetes. "...harus membiayai pengobatan ayahku yang sedang dirawat di rumah sakit."

Di bagian ini aku sangat terkejut, karena aku juga baru mengetahui alasan yang sebenarnya dari Olivia yang memilih untuk melakukan pekerjaan semacam itu. Ternyata begitu, ya. Aku benar-benar terdiam sekarang, tidak tahu harus bilang apa, terutama saat gadis itu mulai menundukkan kepalanya, menangis tersengguk-sengguk di depanku.

"Maaf, Crowder, aku jadi membasahi sepraimu." lirihnya dengan mengelap air matanya dan mulai menegakkan kembali kepalanya.

Tidak nyaman berada di situasi yang sendu seperti ini, aku langsung saja memberanikan diri untuk menenangkannya. "Aku minta maaf atas apa yang terjadi padamu, tapi sekarang kau tidak perlu takut, kau tidak sendirian lagi. Ada aku di sini bersamamu," ucapku dengan suara yang pelan. Olivia tersenyum melihatku berkata demikian. "Ngomong-ngomong, apakah kau pernah berpikir bahwa semua teror yang kau alami ini, berasal dari mantan pacarmu?"

Dengan suara yang gemetar, Olivia menjawab. "Sebenarnya aku juga berpikir begitu."