webnovel

BAB 6

Setelah aku selesai menjelaskan soal kasus Olivia pada mereka, aku melihat ada satu orang yang sangat terkejut mendengarnya, terutama saat aku menyebutkan nama lengkap dari siswi yang terlibat dalam bisnis prostitusi itu. Tentu saja yang kubicarakan saat ini adalah Violetta Beganville, satu-satunya anggota organisasi yang sekelas denganku, pastinya dia sangat mengetahui siapa Olivia Memento yang kumaksud. Namun, kelihatannya gadis itu tidak banyak omong dan lebih memilih untuk jadi pendengar sehingga perhatianku lebih fokus ke anggotaku yang lain.

"Hanya segitu saja?" Barbara Salvador, si gadis tomboy berambut oranye pendek, tampak tidak puas setelah mendengar penjelasanku soal kasus tersebut.

Sebagai respon, aku hanya menganggukkan kepala. Bukan hanya Barbara, aku sendiripun belum puas dengan informasi yang kuterima dari Olivia, tapi sayangnya ketua kelasku tidak memberikanku kesempatan lagi untuk mengorek kasusnya sehingga suka tidak suka hanya itu yang bisa kuberikan pada anggota organisasiku.

"Olivia Memento, ya," Sebastian Emanuel tampak seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. "Kalau tidak salah, dia juga tergabung ke dalam OSIS, aku pernah mendengar namanya di sebut saat rapat, dan melihat sosoknya."

"Ya, benar, dia anggota OSIS," jawabku dengan cepat. "Apakah kau juga anggota OSIS, Emanuel?"

Sebastian tersenyum dan mengangguk. "Ya, aku anggota OSIS, apakah itu tidak masalah?"

Aku menghela napas sejenak. "Tidak masalah selama kau tidak membeberkan informasi-informasi terkait organisasi ini pada komunitas OSIS."

"Itu tidak mungkin, aku bukan tipe orang yang seperti itu."

"Selain Emanuel, apakah ada lagi anggota OSIS di sini?" tanyaku dengan sedikit berseru pada mereka, tapi tidak ada yang menjawab. "Oke, sepertinya tidak ada."

Sebenarnya aku merasa tidak nyaman saat Sebastian Emanuel mengakui bahwa dirinya adalah anggota dari OSIS, karena membayangkan salah satu dari mereka hadir di organisasiku saja, itu cukup membuatku khawatir.

OSIS adalah organisasi yang sangat kuhindari, aku tidak ingin terlibat gesekan apapun dengan mereka, karena itu bisa mempengaruhi organisasiku dan akan sangat rumit jika berhadapan dengan mereka secara langsung. Di sisi lain, aku belum tahu bagaimana sifat asli dari Sebastian Emanuel, karena meskipun dia kelihatan ramah dan tenang, aku tidak bisa menebak arah pemikirannya sama sekali. Dia seperti awan yang bergerak sangat tenang, tapi bisa berubah-ubah bentuk sewaktu-waktu.

Namun, aku mencoba untuk mempercayainya, sekaligus ingin melihat sejauh mana kesetiaan dan pengabdiannya pada organisasiku, karena mau bagaimanapun Sebastian Emanuel masih merupakan anggotaku yang berharga. Lagipula, jika aku memang ingin bersikap curiga, kenapa tidak melakukan itu pada semua anggotaku, agar aku tidak hanya fokus pada satu subjek saja? Sebab, mau anggota OSIS atau bukan, siapapun bisa menjadi pengkhianat di sini.

"Aku ingin bertanya, bolehkah?" Angela Ribella mendadak bersuara, dengan sedikit mengacungkan tangan kanannya. Semua orang langsung memperhatikannya. Aku mengangguk dan dia melanjutkan. "Tadi kau bilang, Olivia Memento juga pernah menerima pesan-pesan ancaman dari anonim di ponselnya, bukan?"

"Ya," Aku merespon pernyataan dari Angela dengan memandang fokus pada sosok gadis berambut pirang yang barusan bertanya padaku. "Memangnya kenapa, Ribella?"

"Jika kau memberikanku bukti nyata dari pesan-pesan itu padaku, aku bisa meretas sistem anonim yang digunakan oleh pelaku dan itu akan membawa kita ke informasi yang lebih lanjut, seperti identitasnya atau di mana lokasi saat dia mengirim pesan-pesan tersebut." Angela Ribella terlihat sangat percaya diri saat mengatakannya, aku bisa melihat kelopak matanya terbuka lebar, menandakan bahwa dia sangat bersemangat dan menantikan momen-momen seperti ini.

"Tunggu," Nicholas Smith menatap tajam ke arah Angela Ribella. "Jangan bilang kau itu—"

Dengan cepat Angela Ribella menyela perkataan Nicholas Smith. "Jangan salah sangka, aku bukan seorang hacker atau semacamnya, aku hanya punya sedikit keahlian dalam meretas sistem. Jangan bandingkan aku dengan para hacker, karena aku tidak ada apa-apanya."

Meskipun gadis pirang itu berkata demikian, tapi semua orang di sini mulai paham bahwa dia memanglah seorang hacker. Aku senang menemukan salah satu anggotaku ada yang ahli di dunia teknologi, kemampuan itu akan sangat bermanfaat untuk organisasi ini jika digunakan dalam menangani kasus-kasus perundungan online.

"Baik, aku akan memberikan beberapa bukti dari pesan-pesan ancaman itu kepadamu jika aku sudah mendapatkannya, Ribella," ucapku pada Angela Ribella yang dibalas anggukan kecil oleh gadis pirang itu. Kemudian, fokusku mulai kembali ke semua anggotaku. "Sekarang, aku ingin kalian juga bersikap seperti Ribella. Aku tahu kalian semua punya potensi, jadi jangan ragu untuk menggunakan kemampuan atau keahlian unik kalian untuk kasus ini. Apapun itu, aku yakin itu bisa sangat membantu."

Tidak terasa, kami sudah melakukan rapat tiga jam penuh, dan itu cukup melelahkan. Belum lagi langit sudah mulai gelap dan gerimis hujan turun begitu saja, membuatku terpaksa harus menutup pertemuan itu dengan cepat. Aku lega karena setidaknya aku telah memberikan tugas penting untuk kami kerjakan bersama, dan aku berharap kami bisa saling membantu dalam menangani kasus Olivia.

Aku sudah membuat grup khusus untuk kami bertukar pikiran di sosial media, sehingga aku tahu bagaimana perkembangan mereka setiap waktu meski kami hanya bisa berkumpul satu hari dalam seminggu. Selain itu, aku juga telah memerintahkan Angela Ribella untuk membuat situs khusus untuk anak-anak sekolah yang mengalami perundungan, agar aku dan organisasiku bisa menolong siapapun yang terkena masalah. Namun, aku syaratkan agar situs itu hanya boleh diaktifan saat kami telah menyelesaikan kasus Olivia.

Sesampainya di rumah, aku langsung membersihkan badanku yang basah kuyup kehujanan dengan mandi air hangat. Ah, itu rasanya sangat nikmat.

Namun, saat aku baru saja memejamkan mata untuk menikmati sensasi hangat dari seluruh tubuhku yang direbahkan di air bak mandi, ponselku yang kuletakkan di pinggir bak, tiba-tiba bergetar. Menahan kejengkelanku, aku terpaksa membuka kembali mataku dan mengangkat telepon. Saat itu aku asal geser saja, tanpa melihat siapa yang menghubungiku.

"Crowder! Crowder! Kau di mana!? Tolong aku!"

Aku terkejut saat mendengar suara ketua kelasku di seberang telepon dan dia terdengar seperti sedang berlari kencang, napasnya bergetar tidak beraturan dan ia juga kedengaran tengah menangis.

"Olivia!? Ada apa!? Kau kenapa!?" Aku langsung berdiri dari bak mandiku dan sangat mengkhawatirkan keadaan gadis itu sekarang.

"Aku sudah ada di persimpangan jalan di depan sekolah! Aku sekarang sedang menuju ke kelas! Aku takut! Tolong aku!"

"Oke! Aku akan ke sana sekarang! 10 menit aku sudah berada di sana!"

Tanpa basa-basi, aku langsung bersiap-siap. Mama dan Mamiku keheranan saat melihatku akan keluar lagi, padahal ini sudah larut dan tidak biasanya aku bepergian di jam seperti ini, tapi aku tidak banyak omong, hanya pamit lalu pergi begitu saja.

"OLIVIA!" Saat sampai di kelas, aku langsung berteriak memanggil namanya, dan aku tidak melihat siapapun di sana. "Olivia! Kau di mana!? OLIVIA!"

Aku bingung sekarang.

"Crowder! Aku di sebelah sini!" Aku mendengar suaranya, dia berada di dalam kelas, dan sedang bersembunyi di bawah meja paling belakang, tepatnya di tempat dudukku sendiri.

Aku menghampirinya dengan cepat. "Olivia! Apa yang terjadi!? Ceritakan!"

"Mereka memburuku, Crowder!" Gadis itu berseru dengan wajah yang dipenuhi air mata, suaranya juga terdengar begitu parau, tidak seperti biasanya. "Mereka... Mereka datang ke rumahku dan mencoret-coret tembok kamarku."

"Apa sekarang mereka masih berada di rumahmu!?"

"Tidak, mereka sudah pergi. Sebenarnya aku tidak tahu kapan mereka datang, aku hanya kaget saat masuk ke dalam kamar dan melihat tembok kamarku sudah dipenuhi dengan coretan. Mereka sudah berani masuk ke dalam rumahku, aku sangat ketakutan sekarang."

Aku menggeram saat mendengarnya. "Itu sudah sangat keterlaluan!"