webnovel

BAB 5

Nicholas Smith adalah orang pertama yang berani bersuara dalam menentang keputusanku untuk menangani kasus Olivia, aku belum mendengar dan melihat anggotaku yang lain ikut menyuarakan pendapatnya, tapi aku yakin itu bisa memancing sebuah perdebatan panas di sini.

"Aku senang mendapatkan kritik darimu, Smith," tegasku pada Nicholas Smith yang masih tampak melemparkan tatapan tajam padaku. "Hanya saja, aku keberatan, sebab kau bayangkan saja, akan seperti apa jika segala kasus yang kita bahas mesti dibanding-bandingkan terlebih dahulu, mana yang layak dan tidak layak untuk kita tangani, dengan mengabaikan fakta bahwa ada orang yang sangat mengharapkan bantuan kita di dalam kasus-kasus tersebut. Itu terdengar tidak adil, kau tahu?"

"Tapi jika kita tidak selektif dalam memilih kasus, kita akan mengalami masalah besar, kita bisa ikut terseret dan berakhir dalam penjara!" Nicholas Smith benar-benar panas sekarang, dia sampai berteriak lantang padaku. "Aku tidak peduli soal organisasi atau apapun, aku hanya peduli pada nasib kita di masa depan jika sembarangan dalam memilih kasus."

Aku bisa melihat anggota-anggotaku yang lain terdiam dalam keheningan setelah mereka menyaksikan Nicholas Smith berteriak padaku, sampai akhirnya ada seseorang dari mereka yang memberanikan diri, ikut terlibat ke dalam perdebatanku dengan si perak berkaca mata.

"Aku setuju pada pendapat Nicholas, soal bahayanya jika kita tidak hati-hati dalam memilih kasus, itu akan jadi keputusanku saat aku berpikir secara rasional," Yang kini bersuara adalah Sebastian Emanuel, satu-satunya anggotaku yang sekelas dengan Nicholas Smith di kelas A. Ia terlihat tenang dan pandai mengelola situasi, senyuman tipis selalu tercetak di wajahnya saat berbicara. "Namun jika aku berpikir dengan dasar kemanusiaan, aku akan merasa sangat bersalah jika membiarkan orang lain terus dirundung hanya karena kasusnya terlalu beresiko untuk kutangani."

Datang juga akhirnya, situasi di mana Nicholas Smith ditentang secara langsung oleh anggotaku yang lain, dan kebetulan dia adalah Sebastian Emanuel, yang sama-sama berasal dari kelas para jenius berada. Jujur saja, ini membuatku menggigil karena aku tidak bisa menebak apa yang akan terjadi ketika dua orang dari kelas A beradu pendapat di depanku.

Kulihat, Nicholas Smith mulai jengkel pada kehadiran Sebastian Emanuel di ruangan ini.

"Begitulah maksud yang ingin kusampaikan," Sontak, aku ikut menambahkan dan tersenyum pada Sebastian karena ia telah ikut meyakinkan anggota-anggotaku yang lain untuk bersedia membantuku dalam menangani kasus Olivia. "Aku tahu persis resikonya, tapi apa yang akan terjadi jika kita memutuskan untuk mengabaikan kasus itu? Bagaimana jika siswi tersebut mengalami kekerasan fisik, lalu mulai terkena gejala depresi, dan akhirnya melakukan tindakan bunuh diri, apakah kita sebrengsek itu?"

Sebastian menganggukkan kepalanya, sependapat denganku. Sementara Nicholas Smith memalingkan mukanya, tidak suka dan tampak begitu jengkel mendengar opiniku.

"Aku punya saran," Vino Evonic, si lelaki berambut biru pendek yang di pertemuan sebelumnya kuanggap sebagai seorang pecundang canggung, kini mengacungkan tangan kanannya. "Bagaimana kalau kita lakukan pemungutan suara?"

"Tidak ada prinsip demokrasi di sini," jawabku dengan tegas, yang kelihatannya membuat semua anggotaku kaget saat mendengarnya. "Organisasiku berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan, bagiku hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan tidak pantas dijadikan sebagai objek pemungutan suara."

"Wow! Wow! Wow! Aku suka ini," Barbara Salvador, si gadis tomboy yang berwajah garang, memukul telapak tangannya sendiri saat mendengar penjelasanku barusan. "Aku suka caramu dalam menggerakkan organisasi sialan ini! Meski caramu fasis! Otoriter! Dan Diktator! Tapi semua itu demi kemanusiaan!" Ia menunjuk jari telunjuknya padaku dengan tersenyum lebar. "Sekarang jelaskan saja padaku semua detail dari kasus itu! Apapun kasusnya, akan kuhabisi sampai tak tersisa!"

Perlahan-lahan, anggota-anggotaku yang lain mulai berani untuk bersuara, menunjukkan reaksi dan keputusan mereka masing-masing dalam menanggapi kasus yang kupaparkan

"Aku akan mengubah dunia, jadi aku akan ikut menangani kasus tersebut." Alexander Coldish, si lelaki tinggi berambut abu-abu dan berkulit gelap yang suaranya sangat halus, juga memutuskan bahwa dia sepaham denganku.

"Aku juga ikut! Hihihi!" Cherry Rosemary, si gadis mungil yang sok imut juga setuju denganku. "Semoga dengan menangani kasus ini, kita juga bisa semakin akrab, ya!"

"Jangan tanya padaku, karena Joe Johanes sudah pasti akan ikut!" seru Joe dengan mengacungkan kepalan tangan kanannya ke udara, bersikap seolah-olah dirinya sedang melakukan aksi heroik. Dasar memalukan.

"Apa boleh buat, sepertinya aku juga harus ikut," ucap Angela Ribella, si gadis berambut pirang bergelombang, dengan dua tangannya yang sedang terlipat di dada. "Toh, tidak ada sistem demokrasi di sini, jadi apapun keputusanku, itu tidak penting."

Violetta Beganville, si gadis pemalu berambut ungu yang sekelas denganku, menganggukkan kepalanya dengan sedikit menyunggingkan senyuman kecil saat mataku mulai melirik ke arahnya untuk melihat bagaimana keputusannya pada kasus ini.

"Kupikir akan lebih baik jika dilakukan pemungutan suara, tapi ternyata tidak diperbolehkan, ya," Vino Evonic agak kecewa mendengar sarannya ditolak mentah-mentah olehku barusan. "Tapi tidak masalah, kalau itu diperbolehkanpun, aku akan memilih untuk ikut. Jadi kurasa, sama saja."

Sementara itu, aku melihat Eleanor Romanes sedang cekikikan sendirian di posisinya, lirikan matanya mengarah ke sosok Nicholas Smith yang masih sedang dikuasai oleh amarah. Sepertinya dia sedang menertawakan si perak berkaca mata.

"Eleanor Romanes, berhentilah menertawakannya, itu sudah masuk ke dalam perundungan." Sebastian Emanuel, menegur si gadis berambut merah yang tidak bisa berhenti tertawa sejak tadi.

"Eh? Benarkah? Maaf, aku tidak sadar," timpal Eleanor dengan menahan tawanya, lalu ia kembali memandang ke arah Nicholas Smith. "Jika kau tersinggung, aku minta maaf, ya! Aku tidak membencimu, hanya saja, aku tidak tahan melihat wajahmu yang sedang cemberut, kau sangat lucu dan menggemaskan, tapi di sisi lain kau juga menakutkan, jadi aku tertawa."

"Jangan sok akrab denganku, Jalang." Saat Nicholas Smith merespon demikian, tawa Eleanor Romanes jadi semakin kencang.

"Bagaimana denganmu, Eleanor? Bagaimana pendapatmu soal ini?" tanyaku padanya, penasaran pada keputusan si gadis berambut merah itu yang kelihatannya paling santai dibandingkan anggota-anggotaku yang lain.

"Maaf, Paul, tapi sepertinya aku tidak sependapat denganmu," Aku dan anggota-anggotaku yang lain, terkejut mendengar jawabannya. Aku tidak menyangka Eleanor Romanes berani terang-terangan menentang keputusanku, bahkan dengan sikap yang begitu santai. "Apakah aku sudah terlihat seperti Nicholas Smith sekarang? Ayolah? Aku hanya bercanda, tentu saja aku ikut!"

Sialan. Ternyata dia cuma mempermainkanku.

"Karena sudah bulat, aku akan menjelaskan detail-detail dari kasus tersebut, pertama—"

"Tunggu dulu!" Nicholas Smith kembali berteriak, memotong ucapanku yang hendak menjelaskan lebih lanjut soal kasus yang akan kami tangani. Aku dan yang lain langsung menoleh dan memandanginya, tersentak oleh seruannya. "Aku ingin bertanya satu hal lagi padamu!"

Aku menaikan sebelah alisku, penasaran pada apa yang ingin ditanyakannya. "Silakan." jawabku dengan tegas.

"Kau bilang, tidak ada sistem demokrasi di sini. Lantas, mengapa kau tanyakan satu-persatu pendapat dari anggotamu? Bukankah itu sama saja seperti kau sedang melakukan pemungutan suara?"

Aku menyunggingkan senyuman miring. "Tidak ada demokrasi bukan berarti tidak ada kebebasan berpendapat. Aku tanyakan satu-satu, karena penasaran saja pada keputusan kalian, walau pada akhirnya, terlepas ada perbedaan pendapat, kita tetap bersama-sama menangani kasus tersebut. Kau paham sampai sini, Smith?"

"Itu bodoh," oceh Nicholas Smith dengan menggelengkan kepalanya. "Lalu apa gunanya perdebatan tadi?"

Aku menyeringai. "Oh, itu hanya untuk hiburan saja."