webnovel

Takut Dokter

Sang Bunda segera pergi karena tidak ingin mendengar perdebatan antara Sang anak dengan Dokter Tampan itu. Ia juga menghindari segala hal yang menyangkut perasaan yang Dokter terhadapnya.

Bunda memang telah menikah dengan seorang laki-laki. Pernikahan itu hanya status untuk sang anak.

Kruuuuuk

Kruuuuuk

Kruuuuuk

Bunyi sebuah tong dalam tubuh. Kalau karung biar dipukulpun gak akan ada bunyinya kecuali karungnya sudah ada isinya.

Tong itu berbunyi sangat jelas, karena dipukul dengan aroma bau masakan yang sangat sedap dan sangat menggugah selera. Makin lama aroma itu membuat orang tak bisa menahan air liur yang bisa menetes.

Jangan ditanya bukan hanya satu tong yang berbunyi tetapi ada dua tong. Gadis dan Dokter itu pun langsung segera bersiap-siap menuju ruang makan.

Bunda datang mengajak keduanya makan di ruang makan. Kakek sudah menata makanan tersebut di atas meja dengan tatanan yang cukup baik.

Ada sesuatu yang kurang dirasa seorang gadis muda belia itu yang baru duduk di ruang makan dengan dipapah. Gadis itu hanya memandangi makanan yang tersaji dengan mengerutkan keningnya.

Taak

Sebuah sentilan dikening pun mendarat hingga terasa sakit. "Auh... Sakit!" Teriak Gadis itu.

"Itu makanan bukan untuk dipelototin, tapi untuk dinikmati!" Kata Sang Dokter.

"Kenapa hem?" Tanya Bunda pada Sang Anak.

"Ada yang kurang Bun." Jawab Yasna.

"Apa?" Tanya Dokter itu.

"Kurang Cinta." Lanjut Dokter Hendra setelah pertanyaan itu.

Hening

Hening

Hening

Perasaan tak enak hadir di hati Sang Bunda. Bunda tahu perasaan Dokter Hendra padanya hingga sampai saat ini dokter itu tidak menikah.

Bunda Azka lebih memilih menikah dengan kakak Dokter Hendra walaupun hanya status saja. Hal itu untuk memberikan dan melindungi anaknya. Bunda Azka sudah tidak mau bermain dengan perasaan.

"Kakek piringnya kurang." Kata Yasna agak sedikit keras untuk memecahkan keheningan.

"Sepertinya tidak." Kata Bunda.

"Apa Bunda tidak tahu di sini masih ada satu makhluk lagi?" Tanya Yasna.

"Makhluk luar angkasa yang lagi menyamar datang ke sini." Sambung Yasna.

"Heh, anak kecil yang banyak untungnya aku Om do'ain juga kamu bakal jadi makhluk luar angkasa biar semakin membuat bangga Bunda mu!" Kata Dokter Hendra agak keras.

"Amin." Kata Yasna.

"Masak penduduk pribumi tidak makan makan bersama kita." Lanjut Yasna.

"Mulut lu anak curut, bahasa mu itu sama orang tua sopan dikit kenapa?" Kata Dokter Hendra mengingatkan.

"Lha itu Dokter tahu." Kata Yasna.

"Kasih contoh dulu buat yang muda." Kata Yasna mengingatkan.

"Kalian ini kapan akurnya, tiap kali ketemu pasti tinju." Kata Bunda sambil lalu menghampiri sang kakek untuk mengajak makan.

"Ya udah lah aku sebagai yang muda mengalah saja, dari pada berlama-lama bisa kelaparan ini gentong." Keluh anak gadis itu.

Bunda sudah melangkahkan kaki menuju dapur untuk mengambil piring lagi. Ia mencari keberadaan Kakek yang sedang mendekorasi taman agar enak dipandang mata.

"Kakek ayo ikut makan bersama kami seperti biasa." Ajak Sang Bunda.

"Kalian saja yang makan. Kakek masih kenyang." Tolak Kakek halus.

"Nana kalau gak ada Kakek gak makan juga tu." Rayunya.

"Baiklah." Kata Kakek ragu.

Bunda dan Kakek berjalan menuju ruang makan. Mereka duduk dan menikmati kebersamaan mereka.

Berbagai macam menu sudah terhidang di meja sejak tadi. Membuat semua penghuni yang ada di situ ingin segera melahapnya.

Terlihat ragu-ragu sang kakek mengambil makanan itu. Yasna pun mengambil inisiatif untuk mengambilkan makanan pada piring orang tua itu.

Di meja makan mereka sangat menikmati makanan mereka. Hanya suara dentuman sendok dan garpu yang beradu terdengar nyaring.

_____

Di rumah sebelah Bella merasakan kakinya semakin membaik seperti apa yang dirasakan saudara kembarnya Yasna. Aneh yang ia rasakan, akan tetapi dalam pikirannya Bibi Ratih yang mengurangi sakit karena kompresan tersebut.

Selama Bibi mengompres kakinya justru pikirannya ada pada gadis yang beradu mulut tadi saat bertemu. Ia mulai berjalan walaupun dengan tertatih-tatih.

"Sudah Bi, sudah mendingan." Pinta Bella sopan.

"Bener Non, Non Bella tidak perlu dipanggilkan dokter?" Tanya Bi Ratih.

"Memang aku terlihat selemah itu, apa-apa dikit harus panggil dokter." Kata Bella.

"Bukannya begitu Non. Cuma akan lebih baik jika Dokter sendiri yang memeriksa mu." Jelas Bibi.

"Kalian ini sama aja." Keluhnya.

Bella pun sama alergi dengan yang namanya Dokter atau baubau obat dan rumah sakit. Ia selalu menghindar jika sakit.

Bersembunyi ketika dokter datang saat dipanggil ke rumah. Itu berlaku hingga ia tumbuh menjadi sekarang yang sudah remaja. Lebih parahnya sampai sekarang pun ia masih suka bersembunyi.

''Kalau begitu saya permisi dulu Non.'' Pamit Bi Ratih.

Bi Inna Ratih berdiri dan meninggalkan kamar Bella. Ia menatap punggung Sang Bibi yang mulai keluar dari ruangan kamarnya.

Ceklek

"Bi tunggu!" Panggil Bella pada Bi Ratih yang sudah memegang gagang pintu hingga terbuka.

"Non membutuhkan sesuatu?" Tanya Bi Ratih dengan memutar setengah anggota badan atas menatap gadis itu.

"Tidak." Jawab Bella.

"Tunggu." Panggilnya lagi ketika Sang Bibi mulai melangkahkan kakinya keluar kamar.

"Huuuf." Suara Bi Ratih membuang Nafasnya kasar karena sudah jengkel dengan apa yang dilakukan oleh Nonanya hanya sekedar memanggil tetapi tidak mengutarakan apa keinginannya.

Melihat Sang Bibi sudah jengkel dengan apa yang ia lakukan, Yasna tersenyum cengar cengir agar Bi Ratih tidak marah. Ia pun mulai bercerita tentang apa yang ada dalam pikirannya saat ini.

"Bi, aku mau tanya sesuatu." Kata Gadis ini terjeda karena ragu.

"Tanya apa Non? Kata Bibi mendekati Gadis yang terlihat masih ada keraguan untuk bercerita padahal sejak dulu Bella selalu terbuka padanya dalam hal apa pun.

"Bi, Bibi pernah.... Kata Bella yang menggantung lagi. (Bibi bisa- bisa mati nih karena kata- kata Bella).

"Pernah apa?" Tanya Bibi.

"Pernah LOPE- LOPE an? Tanya Bi Ratih lagi dengan gaya bicara ala kadalnya.

"Ceeek ceeeck ceeeck." Keduanya tertawa ria melepas rasa penat mereka.

"Serius ini Bi." Kata Bella dengan wajah sedikit memelas.

"Makanya kalau mau cerita cepat mumpung ada pendengar setia gelombang suara fals." Ledek Bi Ratih.

"Kejam sekali kau Bi!" Kata Bella.

"Bi di kampung ini ada tidak gadis yang parasnya seperti Papa?" Tanya Bella penasaran.

"Oh.... Kirain lagi LOPE-LOPEAN sama cowok. Sampai-sampai sering melamun." Ledek Bi Ratih.

"Emang kenapa Non?" Tanya Bi Ratih dengan wajah yang seakan-akan berusaha mengingat semua orang yang tinggal di kampung ini.

"Gimana ya Non, Bibi rasa gak ada di kampung ini. Bahkan di saat pada tempat keramaian seperti di pasar pun Bibi gak pernah lihat." Jelas Bi Ratih kemudian yang panjang kali lebar.

"Kenapa aku selalu teringat dengannya ya Bi? Seperti ada sesuatu yang lain yang mengganjal." Kata Bella.

"Seperti aku tu udah kenal lama." Lanjut Bella.

"Mungkin karena kamu kangen sama Papa kamu." Jelas Bibi.

"Dia kan Seorang gadis sedang kan Tuan Besar kan laki-laki. Masak mirip sih?" Lanjut Bibi.

"Mungkinkah Nona perlu kaca mata?" Ledek Bi Ratih lagi.