webnovel

Matahariku

Jakarta

Author POV

"Dokter Devan, kenapa? pusing?" tanya Dara ketika sekilas dia melihat Devan sedang memijat-mijat keningnya.

"Ah, sedikit," sahut Devan sambil mengambil jarum suntik baru.

Tidak sengaja tangannya menyentuh tangan Dara yang juga hendak meraih jarum. Dan Dara tersentak kaget. Bukan karena sentuhan itu. Tapi karena panasnya tangan Devan!

"Gila!" cetus Dara cemas. "Panasmu pasti lebih dari tiga sembilan!"

"Ah, tidak mungkin," Devan pura-pura acuh tak acuh. "Cuma subfebril kok."

"Kata siapa subfebril?" Dara mengulurkan tangannya menyentuh dahi Devan sampai yang disentuh kelabakan sendiri. "Panasmu sudah bisa merebus telur! Jangan-jangan kena malaria!"

"Paling-paling flu," elak Devan rikuh. "Aku sudah minum antibiotik."

"Kita harus pulang."

"Masih ada beberapa pasien lagi."

"Mereka bisa datang lagi besok."

"Mereka pasti kecewa."

"Dokternya sakit. Bukan hanya pasien yang bisa sakit."

Dan Kasih tidak bisa dibantah lagi. Dia memerintahkan menutup klinik darurat mereka. Dan membawa Devan pulang.

Malam itu Devan benar-benar jatuh sakit. Demamnya makin tinggi. Dan dia mulai meracau. Memanggil Mika, yang sedang menginap di rumah Bunda Hara.

"Dia sudah delirium, Dok," cetus Dara cemas kepada dokter pembimbing mereka. "Apa tidak sebaiknya kita bwa ke rumah sakit?"

Sia-sia Dokter Hans mengompresnya. Menyuntikkan obat penurun panas. Bahkan memberi obat malaria. Keadaan Devan semakin memburuk.

Akhirnya dia dibawa ke rumah sakit. Dan dirawat di sana.

Selama Devan dirawat, Dara selalu menyempatkan diri menjenguknya sepulang bertugas. Menemaninya mengobrol ketika Mika sudah selesai menjenguknya.

Devan tidak menyangka, selain istrinya, dia menemukan seorang gadis yang merawatnya dengan telaten seperti seorang ibu.

Sambil mengunyah makanan yang disuapkan Dara, diam-diam diawasinya gadis itu. Dara sudah dia anggap seperti adiknya sendiri.

Tidak ada yang menarik dalam dirinya kecuali pembawaannya yang tenang dan sifatnya yang lemah lembut. Dia introvert. Pemalu. Serba tertutup.

Setelah kisah cinta monyetnya berakhir. Semenjak itu Devan tidak pernah berusaha mendekatinya. Ada sesuatu, yang selalu membatasi hubungan mereka berdua. Ada jurang yang tak mungkin terseberangi di antara mereka.

Dara seperti mengurung dirinya dalam dunia yang diciptakannya sendiri. Dan Devan menyesal karena sampai sekarang dia tidak mampu menarik Dara keluar dari dunianya.

Dara sendiri bukannya tidak menyadari perasaan Devan padanya. Dia tahu, Devan masih menaruh perhatian kepadanya.

Tetapi Dara tidak pernah membalas perhatian Devan. Dia masih menghargai Mika sebagai istri Devan. Dia akan menganggapnya sama saja dengan teman-teman prianya yang lain. Kecuali saat Devan sakit. Saat dia merasa sangat cemas. Saat dia ingin mendampingi pria itu mengatasi penderitaannya. Saat dia merawat Devan dengan cermat.

Kenapa dia begitu memperhatikan Devan? Mengapa tiba-tiba saja laki-laki itu menjadi begitu istimewa? Dan mengapa ... hatinya mendadak menjadi resah? Kenapa ada segurat perasaan bersalah setiap kali memikirkannya?

Kepada siapa dia merasa bersalah? Kepada seseorang yang kehadirannya saja sudah cukup membuat Dara merasa resah ... apalagi kaalu dia sedang berada di dekat seorang laki-laki yang begitu diperhatikannya... seperti Devan ....

***

Gwen POV

Atas kebijaksaan Om Adam, aku diizinkan menemani Kasih kamarnya. Repot sekali kalau harus bolak-balik kemari.

"Bunda! Tidak! Tidak mau tuntik!"

Tiba-tiba saja tangis Kasih meledak membuyarkan lamunanku. Dan aku baru sadar. Seorang perawat memasuki kamar dengan membawa sebuah kotak kecil.

"Jangan, Tante tutel! Jangan tuntik Kasih, ya!"

Kasih masih lucu. Dengan suaranya yang masih cadel, dia sudah bisa merayu perawat!

"Tidak, Kasih, Tidak suntik, ya," bujuk suster itu sambil tersenyum. "Hanya tante ukur sebentar panas badan Kasih. Terus minum obat supaya panasnya turun, ya? Aduh manisnya!"

Kasih memang disukai di rumah sakit ini. Semua dokter dan perawat di sini sayang padanya. Dia lucu. Pintar merayu agar jangan disuntik. Kadang-kadang malah terlalu bawel menawar, tidak mau minum obat ini, tidak mau minum obat itu. Tapi dalam bawelnya pun dia tetap lucu.

Ah, Kasih manis, kalau sedang sakit panas begini, matamu yang bulat bening itu begitu sayu menatapku. Oh, kalau saja dapat kuambil sedikit penderitaanmu, Sayang! Kalau saja bisa, biarlah Bunda saja yang sakit. Jangan kamu, Kasih sayang!

Kubelai-belai kepalanya yang lembut. Begitu panas. Kompres es di kepalanya dan kasa basah yang dicelup alkohol di sela-sela ketiak dan pangkal pahanya seolah-olah tidak berhasil memadamkan api yang sedang membakar seluruh tubuhnya.

Kalau aku tahu bakal sakit begini, takkan kubiarkan dia bermain-main seorang diri di hutan bambu di belakang rumah ketika di Bandung.

Biasanya aku begitu cermat menjaga Kasih. Kulayani sendiri makanannya. Kujaga sendiri waktu ia tidur. Kutemani kalau bermain. Baru akhir-akhir ini, kuakui, aku memang agak kurang memperhatikannya.

Aku sedang pusing. Bingung. Kacau memikirkan Mas Rangga. Dan begitu lepas dari pengamatankku, Kasih langsung jatuh sakit! Polio, lagi! Penyakit yang tidak tanggung-tanggung kejamnya.

Oh, tidak habis-habisnya sesal menggerogoti hatiku. Tak pernah kubayangkan begini trenyuhnya perasaan seorang ibu melihat anaknya sakit.

Awalnya memang hanya seperti flu biasa. Panas. Lesu. Ditambah sakit kepala. Tidak mau makan. Tidak mau main. Lalu Kasih mulai muntah-muntah. Sakit perut. Diare.

Terus terang saat itu aku belum begitu khawatir. Tapi kali ini, diaeranya tidak mau berhenti juga. Jangankan berhenti, berkurang pun tidak.

Sepanjang malam, suhu badannya semakin meninggi. Dan kepanikanku mencapai puncaknya ketika keesokan paginya Kasih mengeluh kaki kirinya sakit. Dia sama sekali tidak dapat menggerakkan kaki itu.

Sudah kugosok dengan bermacam-macam obat gosok. Kuminumi segala macam obat panas yang kuketahui. Tapi tak ada tanda-tanda penyakitnya akan mereda. Malah ketika panasnya mulai menurun, kaki kiri Kasih sudah benar-benar lumpuh...

Aku menangis sejadi-jadinya. Kalau Kasih harus sakit, kalau dia lumpuh, kenapa justru pada saat ayahnya tidak ada di rumah? Bagaimana harus kusampaikan musibah ini padanya? Bagaimana harus kukatakan kepada seorang ayah yang begitu mencintai gadis kecilnya yang lucu dan manis itu akan lumpuh, akan pincang untuk selama-lamanya?

Mas Rangga sangat menyayangi Kasih. Belum dapat kulupakan bagaimana masa-masa penantian yang telah dia lewati demi mendapatkanku dan Kasih kembali.

To Be Continued