webnovel

Nilai

Bandung

H-1 pernikahan Hara & Bayu

"Seorang anak dari insinyur yang berbakat. Developer yang sukses. Dia pasti bisa menjadi suami yang tidak mengecewakan, Nak."

"Tapi... Ayah" protesku. "Aku tidak mencintainya!"

"Cinta!" gerutu ayah seperti membicarakan seekor kutu busuk. "Kamu tahu apa tentang cinta? Cinta sesungguhnya baru datang di ranjang pengantinmu, waktu kamu meleyani suamimu dengan penuh pengabdian dan penyerahan diri!"

"Aku masih ingin kuliah, Ayah!" desahku, seperti tikus terjebak di lubang.

"Itu sudah tidak perlukan lagi, semenjak kamu mengandung, untuk apa lagi kamu sekolah tinggi-tinggi? Lagipula, kamu kan tidak perlu bawa kalkulator ke ranjang. Tidak perlu menggantung ijazahmu di dapur!"

"Aku tidak ingin menikah, Ayah"

"Tunggu apa lagi?"

"Aku mencintai Sultan!" gumamku putus asa. "Kami sudah janji akan menikah setelah dia kembali dari Jerman!"

"Sultan," desis ayah sambil tersenyum. "Sampai kapan kamu mau menunggunya? Sampai anak itu lahir dan membawa kesialan bagi kita semua?!"

"Tapi aku rela menunggunya sampai saat itu tiba."

"Pada saat kamu sudah bosa menunggunya, Bayu sudah berpaling pada perempuan lain!"

"Itu haknya. Aku tidak ada urusan dengan dia!"

"Ayah sudah putuskan, kalian besok akan menikah!"

"Ayah!" pekikku kecewa.

"Ayah tidak melihat ruginya menerima lamaran dari seorang lelaki seperti Bayu. Dia kurang apa lagi?"

"Aku tidak mencintainya, Ayah!" tangisku jengkel. "Aku mencintai Sultan!"

"Coba ajari anakmu, Bu." Ayah berpaling dengan kesal kepada istrinya. "Apa dia hanya mau makan cinta?"

"Cinta hanya sebagian dari hidup ini, Nak," kata ibunya separuh terpaksa. "Jangan menyerahkan seluruh hidupmu pada cinta. Kamu akan kecewa!"

Aku ingin menjerit. Menangis. Menggerutu. Tetapi hanya sampai di sana.

Selebihnya, aku tetap seorang perempuan yang lugu. Taat pada orangtua. Tidak punya keberanian untuk membangkang. Apalagi untuk kawin lari. Menikah tanpa restu orangtua tidak ada dalam kamusku.

Sejak kecil orangtuaku telah mendidiku dengan keras. Aku tumbuh menjadi seorang perempuan yang santun, patuh dan teguh memegang etika.

Kalau ayah menghendaki aku menikah dengan Bayu, itu pasti akan terjadi.

***

3 tahun setelah kelahiran Anika

Hara POV

"Kami terpaksa mengeluarkan bayi ibu melalui operasi Ceasar. Bayi ibu melintang. Dan saat ini sudah terlambat untuk memutarnya. Ibu tidak pernah periksa kehamilan?"

Periksa kehamilan. Tidak sadar aku mengeluh. Rumah kami jauhnya tujuh kilometer dari kota. Hanya di kota ada dokter kandungan. Bagaimana aku bisa memeriksakan kandunganku? Siapa yang akan mengantarkanku kalau aku sibuk mengurus Anika sendirian dan suamiku selalu sibuk?

Dan kini aku harus dioperasi! Wanita mana yang tidak gentar mendengar kata itu? Siapa yang tidak takut dioperasi? Apalagi tanpa seorang pun di sampingku. Tanpa orangtua. Tanpa suami. Aku benar-benar seorang diri.... menyambung nyawa di atas meja operasi!

Tapi demi anak ini.... Ya Tuhan! Demi bayi dalam rahimku ini, jangan dioperasi, mati pun aku rela!

***

Sudah lewat tengah malam ketika aku didorong di atas brangkar melalui koridor panjang menuju ke kamar operasi.

"Anak lahiran kok tidak ditunggui bapaknya, Bu?" tanya perawat yang mendorong brangkarku.

"Ayahnya sedang bertugas," sahutku berdusta.

Yah, apa lagi yang mesti dikatakan? Aku tidak ingin suamiku dicela orang. Walaupun sebenarnya Bayu pantas menerimanya.

Aku tahu sekali ke mana suamiku pergi. Dia tidak peduli istrinya sudah hampir melahirkan atau tidak.

"Jangan pergi, Mas," pintaku sebelum suamiku berlalu. "Rasanya sudah hampir saatnya."

Tetapi Bayu hanya mendengus. Menoleh saja tidak. Apalagi menyahut. Dia langsung meninggalkan rumah. Dan tidak kembali lagi meskipun aku sangat mengharapkannya.

Sia-sia menunggu. Bayu tidak muncul. Dan aku tidak dapat menunggu lagi. Aku minta tolong pada Anika. Dan Anika memanggil tetangga untuk membawaku ke rumah sakit.

Hanya diantar oleh Anika dan tetangga, aku terguncang-guncang dalam mobil yang membawaku ke rumah sakit. Dan kami hampir terlambat. Bayiku sudah berada dalam keadaan gawat janin. Kalau tidak segera ditolong, bayi itu pasti meninggal. Karena letaknya melintang, pertolongan itu harus melalui operasi.

"Tolong katakan kepada Dokter, Sus," pintaku sesaat sebelum brangkar mencapai pintu kamar operasi. "kalau harus memilih, jangan ragu-ragu memilih bayiku. Tanpa dia, hidupku tidak ada artinya lagi!"

***

Bali

Kilat menyambar lagi. Gelegarnya lebih keras dari yang pertama.

Mika tersentak dari tidurnya.

Mas Arya menoleh ke arahku. Ketika dilihatnya aku masih tak bergerak juga dari kursiku, terpaksa dia bangkit dan bergegas ke kamar Mika.

Perlahan-lahan aku bangkit. Tapi bukan ke kamar Mika. Ke jendela.

Kuletakkan wajahku ke kaca jendela. Kubiarkan tatapanku melayang ke luar. Mencoba menembusi kegelapan yang pekat mengertikan di luar sana.

Hujan mulai turun. Titik-titik airnya memburamkan kaca. Menambah suram pandanganku yang bertirai air mata.

Mas Arya muncul di belakangku. Setelah sia-sia mencoba menenangkan Mika.

"Anakmu tadi kaget dengar petir sampai menangis, sudah aku coba tenangkan."

Anakmu. Anakmu, katanya?

Yang mana anakku? Yang sedang menangis di dalam sana? Itu bukan anakku!

Anakku berada di luar sana. Dalam kegelapan yang mengerikan! Mungkin dia juga sedang menangis. Dan tak ada orang yang meredakan tangisnya! Tak ada ibu yang melindunginya!

Siapa yang akan menyelimuti tubuhnya jika dia kedinginan? Siapa yang akan mendekapkan kepalanya kalau dia memekik ketakutan menangis tatkala halilintar menyentakkannya dari tidurnya yang lelap?

***

Bertahun-tahun kudustai diriku. Kuanggap Mika sebagai anakku. Selama ini kukira aku telah berhasil. Baru ketika suatu hari aku kehilangan Adena, aku sadar, Mika bukan anakku. Dia anak suami keduaku dengan perempuan lain. Istrinya yang pertama.

Adena anakku yang kedua setelah Anika. Anak yang kulahirkan dari benih Ka Bayu. Dua tahun sesudah Ka Bayu meninggal, aku menikah dengan Mas Arya dan pindah ke Bali. Saat itu Anika berumur enam tahun dan Adena berumur tiga tahun.

Mas Arya baru bercerai dengan istrinya dan dia memenangkan hak asuh Mika, anak mereka yang sebaya dengan Anika.

Saat Anika berumur 18 tahun, keluarga Mas Arya ingin dia sekolah di luar negeri, alhasil Anika harus berpisah denganku dan saudara sekaligus sahabat karibnya, Mika dan Adena.

Kami memperlakukan Mika dan Adena dengan adil, tidak pernah merasa dianaktirikan.

Tetapi memang tidak mudah berlaku adil kepada mereka. Yang satu anak sendiri. Yang lain bukan.

Betapapun Mas Arya mencintai keduanya, pada suatu saat dia terpaksa memilih satu di antaranya. Dan pada saat yang paling gawat, ketika kedua anak itu berada di tapal batas antara hidup dan mati, Mas Arya telah mengikuti nalurinya sebagai seorang ayah. Dia memilih anak kandungnya. Darah dagingnya sendiri.

Aku tak akan pernah melupakan hari itu. Hari yang sangat cerah di pantai. Mas Arya sedang menemani anak-anak kami bermain di pantai. Sulit sekali menjauhkan mereka dari air karena keduanya gemar berenang.

Mika sudah pandai berenang. Sementara Adena yang belum sepandai kakaknya, tidak mau kalah ikut menceburkan dirinya ke air.

"Sejak masih di perut ibunya, Mika sudah pintar berenang." Mas Arya sangat bangga akan prestasi putri kandungnya. "Barangkali mewarisi bakat ibunya, atlet renang nasional."

"Untung hanya mewarisi bakatnya," kelakarku tanpa berusaha menutupi rasa cemburu.

Aku baru saja keluar dari air. Baru melangkah beberapa meter dari bibir pantai ketika petaka itu datang.

Semuanya berlangsung dengan sangat cepat. Ombak yang sangat besar menerjang dari laut. Menggulung Mas Arya dan kedua anak kami.

Aku memekik histeris ketika melihat kepala Adena muncul sekejap di atas permukaan air untuk kemudian hilang ditelan ombak. Tidak jauh dari sana, tangan Mika sedang menggapai-gapai di atas permukaan air. Berusaha dengan sia-sia mengelurkan dirinya dari gulungan ombak.

Sambil menjerit-jerit memanggil anak-anakku, aku menghambur kembali hendak menceburkan diri ke laut. Tetapi seorang pria menangkapku dengan sigap.

"Jangan, Bu." katanya tegas. "Bahaya!"

"Anak-anakku di sana!" teriakku histeris sambil meronta-ronta hendak melepaskan diri.

Setelah sia-sia meronta, aku menjerit-jerit memanggil Mas Arya. Meminta dia menolong anak-anak kami.

Tetapi Mas Arya memang berada di dekat anak-anaknya. Hanya saja pada saat yang sangat singkat itu, pada saat yang sangat menentukan, dia memilih menolong Mika lebih dulu.

Setelah menggendong Mika dan menyerahkannya padaku, dia baru berlari lagi ke laut mencari Adena.

Tetapi saat itu sudah terlambat. Adena sudah lenyap digulung ombak. Dan pergilah anakku!

Sia-sia Mas Arya mencarinya bersama-sama orang-orang di pantai itu. Sia-sia dia berkubang di lautan sampai senja. Sia-sia dia berbasah-basah diguyur air laut dan air mata. Karena Adena tidak pernah ditemukan lagi.

"Maafkan aku," rintihnya di pelukanku. Sesudah itu dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia menangis tersedu-sedu.

***

Mas Arya memang tak dapat disalahkan. Dia ingin menolong kedua anaknya. Bukan salahnya kalau hanya salah satu dari mereka yang bisa diselamatkan. Dan kebetulan .... kebetulan yang satu itu adalah anak kandungnya.

Tapi... benarkah hanya kebetulan dia memilih Mika? Bukan karena insting mendorongnya menyelamatkan darah dagingnya lebih dulu?

Berminggu-minggu aku tidak bisa mengusir pikiran itu dari kepalaku. Mas Arya telah memilih. Dan ketika dia harus memilih, dia telah memilih anak kandungnya!

Dan pikiran itu mengubah sikapku. Merusak hidupku. Menghancurkan ketentraman rumah tanggaku.

Setelah kehilangan Adena, aku tidak mau lagi mengurus Mika. Bahkan melihatnya saja aku sudah enggan. Karena setiap kali melihat wajahnya, aku teringat Adena. Dan hatiku terkoyak kembali.

Aku juga menjadi sangat benci pada Mas Arya. Bukan karena dia tidak dapat menyelamatkan Adena. Tapi karena dia memilih Mika dan mengirim Anika jauh dariku.

Bahkan keluarganya membenciku, karena aku tidak becus menjadi ibu sambung Mika. Bahkan untuk melindungi citra keluarga Hilmar, adik-adiknya Mas Arya; Luna dan Ria dengan teganya menyebarkan rumor bahwa anakku, Adena meninggal karena bunuh diri akibat depresi.

Saat itu Mas Arya sudah sering tidak berada dirumah, pergi entah ke mana. Dan tampaknya dia tidak ingin menggangguku lagi. Membiarkan aku berkubur bersama kedukaan dan kemarahan. Seorang diri.

Saat itu aku baru merasakan duka yang mendalam. Mengidap depresi berat sampai rasanya ingin membunuh diri.

Ketika Adena pergi, aku merasa kehilangan. Tapi kini, setelah Mas Arya dan Adena meninggalkanku, aku baru merasakan artinya tidak punya apa-apa.

Tidak memiliki seseorang tempat menumpahkan kasih sayang. Tidak memiliki tumpuan tempat menyalurkan kesedihan.

Saat itu aku baru menyadari betapa aku sangat merindukan Anika. Anakku yang selama ini aku telantarkan di Jerman demi membangun rumah tangga baru di Bali.

Saat itu aku baru menyadari artinya nilai cinta. Tapi semuanya sudah terlambat. Ketika dengan implusifnya aku mengatakan akan ikut menengok Anika bersama Mas Arya. Dan kecelakaan pesawat itu pun terjadi. Kecelakaan yang merenggut nyawa Mas Arya dan membuatku koma selama satu tahun.

Mas Arya keliru kalau mengatakan sudah tidak ada cinta lagi di hatiku. Cintaku belum padam. Dia hanya terkubur seperti magma dalam perut gunung.