webnovel

Cinta Butuh Waktu

Kampus

Satya melirik Anika sekilas. Rasa bosan mulai mekar dalam dirinya.

Bagaimana tidak? Sejak setengah jam lalu Satya hanya berdiam

diri sambil duduk manis di samping Anika yang membaca buku.

Satya sempat melirik judulnya tadi. Itu semcacam buku untuk pengusaha, berbahasa Inggris.

Satya tersenyum saat mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang bisa

membuat Anika mengalihkan perhatian padanya. Ia memiringkan

posisi duduknya, kemudian memajukan badannya, menatap wajah

Anika yang sedang serius. Lama sekali Satya menahan badan sampai

Anika mengalihkan perhatian padanya.

Anika menoleh pada Satya. Jantungnya berdebar keras saat Satya

berada di posisi itu. Tadi dia memang meminta Satya menemaninya

ke taman. Pemuda itu mengangguk saja tanpa tahu diajak Anika

ke taman belakang sekolah untuk menemaninya baca buku.

"Kamu itu, kenapa?!" tanya Anika ketus. Ia menunduk, pura-pura membaca buku saat menyadari pipinya merona.

"Aku dicuekin," ucap Satya lantang dengan nada menyedihkan, seolah membuat diri terlihat semakin memprihatinkan. Dia mengembalikan posisi badannya ke semula, duduk di samping Anika.

Anika menatap Satya sekilas. Perasaan bersalah mulai menyapa.

Terlebih melihat Satya memasang tampang pilu. Sepertinya pemuda

itu terjebak di dalam lubang hitam yang sangat lama. "Aku kan

lagi baca," jawab Anika pelan, mencoba memberi pengertian.

Saat itu jam kosong. Siapa juga yang tak mau memanfaatkan

jam kosong? Anika memanfaatkannya dengan membaca, demi

mendalami perusahaan keluarga Wardana.

Satya tersenyum manis ke arah Anika. Saat mengacak rambut gadis itu, ada perasaan nyaman yang luar biasa, hingga dia tak ingin melepaskan sentuhannya. Jantungnya berdebar keras.

Anika merengut saat Satya mengacak rambutnya. Bukan karena Satya mengacak rambutnya, tapi karena ada perasaan lain yang

merasuki sanubarinya, perasaan yang tak bisa dia jelaskan dengan

kata-kata.

Perasaan aneh yang hanya muncul saat dia berada di dekat Satya.

Anika berdeham. Sadar akan satu hal: dia tak boleh mendekati Satya, sesuai janjinya kepada Tina. Ia mengalihkan pandangan, menatap lurus ke depan. Kalau terus-terusan begini, bisa-bisa Tina menangis di depannya, seolah Anika telah merebut mainan paling berharga miliknya.

Satya sadar akan perubahan sikap Anika. Ada sesuatu yang

dipikirkan Anika.

"Anika, kenapa? Tidak suka aku di sini?"

Anika mengalihkan pandangan pada Satya. Pemuda itu menatapnya dalam, membekap Anika dalam tatapannya hingga Anika tak bisa mengalihkan pandangan.

"Kamu mimpi? Jelas-jelas aku yang ngajak kamu ke sini tadi," ucap Anika gelisah, menahan hawa panas dari dalam dirinya gara-gara tatapan Satya.

Satya terkekeh pelan. "Aku bosan, Anikaaaa...."

Anika mengangguk-angguk, kemudian menutup buku. Dia menggeser tubuhnya agar sedikit menjauh dari Satya, membentuk jarak di antara mereka. Anika tahu, sedikit lagi dia berada dalam jarak sedekat itu dengan Satya, hatinya akan menggembung dan meledak, persis balon gas kena panas.

Satya mengernyit. "Anika, kenapa jauh-jauhan? Kayak musuhan aja," tegur Satya tak suka, menarik lengan Anika, menyuruh Anika mendekat.

Anika yang merasakan sengatan dalam dirinya menurut saja. Sensasi aneh itu datang lagi. Anika tertegun. Apa dia benar-benar menyukai Satya? Satya menggeser duduknya pelan, kemudian memiringkan kepala, bersandar di bahu Anika, membuat gadis itu membeku, tak mampu bergerak, bahkan berhenti bernapas.

Anika merasakan debaran jantungnya semakin keras. Dia berusaha menarik bahunya, tapi kepala Satya terus menahan.

"Satya, jangan manja deh," ucap Anika, "Tina nggak suka kita dekat."

Satya menarik kepalanya, menatap Anika dengan pandangan tidak suka.

Anika menggigit bagian dalam bibirnya. Apa dia sudah membuat Satya marah?

"Apa dia punya hak larang-larang kamu?" tanya Satya.

Anika mengernyit. "Satya! Dia masih ada rasa sama kamu!" ucapnya keras. Mencoba membuka mata Satya pada kenyataan yang ada.

Satya kaget. Ucapan Anika yang blakblakan itu membangunkannya. Dia tahu Tina masih mengharapkannya.

Satya menatap kosong. Terbayang olehnya saat dia memergoki Tina berselingkuh dengan Kevin. Hatinya perih.

"Aku sama dia udah berakhir. Perasaanku sama dia udah tidak ada sejak dia selingkuh," ucap Satya pelan.

Anika tak berkomentar. Dia pernah mendengarnya, dulu Satya sangat menyayangi Tina tapi sayangnya gadis itu malah mengkhianati kepercayaan Satya.

Omong-omong soal mengkhianati kepercayaan, Anika tahu benar rasanya dikhianati.

Satya menoleh, kemudian tersenyum pada Anika. Sadar bahwa dia menyebabkan kecanggungan itu. Ia menghela napas. "Dulu aku sama Tina benar-benar dekat. Sampai aku mengira dia adalah segalanya." Satya tersenyum miris membayangkan hal tersebut.

Anika memilih diam, tak tahu maksud Satya menceritakan hal itu. Namun pandangan pemuda itu... tatapan lembutnya... Darah Anika berdesir. Entah kenapa, dia tak suka Satya menceritakan tentang Tina terang-terangan.

"Bahkan setelah tahu dia selingkuh, aku masih tetap pacaran sama dia, masih menyayangi dia. Sampai detik ini pun aku masih mau menyayangi dia," ucap Satya lirih.

Anika tertegun mendengarnya. Satya jelas-jelas mengatakan bahwa dia menyayangi Tina. Lalu kenapa dia masih merasakan jantungnya berdebar keras saat menyadari hal itu? Bersikaplah masa bodoh, Anika, pintanya dalam hati.

"Sekarang aku sadar dia bukan lagi kebahagiaanku." Satya menatap Anika.

"Kebahagiaanku, sekarang ada di depan mataku."

Anika terperangah mendapatkan pernyataan tersebut. Baru saja dia menekankan bahwa apa yang dia rasakan sudah tak bisa diteruskan. Lagi-lagi pemuda itu membuatnya melambung. Ia berusaha menghindari tatapan Satya, takut tak bisa mengendalikan diri.

Satya menggenggam tangan Anika erat. "Aku sayang kamu. Kamu juga... merasakan hal yang sama, kan?"

Anika terperangkap dalam beningnya mata Satya. Ia kehilangan kemampuan bicara, lidahnya kelu. Dadanya sesak, lupa caranya menghirup oksigen.

To Be Continued