webnovel

Tentang Rasa

Ruby POV

"Terima kasih," aku meliriknya sedikit ketika mobilnya berhenti di depan kosanku.

"Sama-sama." Dia menjawabku singkat dan dingin. Bahkan dia menatap lurus ke depan, tanpa meliriku sedikit pun.

Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Aku terlalu lelah untuk membahas banyak hal dengannya. Sebenarnya aku berkali-kali ingin menanyakan kenapa dia bisa ada di sana. tapi, aku tidak siap dengan jawaban yang biasa-biasa saja. Entah mengapa hatiku berharap jawaban luar biasa seperti 'aku memang mengikutimu'. Tap, aku tahu itu tidak mungkin. Maka, aku memilih tidak bertanya.

Aku melepas sabuk pengaman, lalu membuka pintu.

"Aku…" aku ingin berpamitan, tapi tiba-tiba tangannya menahanku keluar dari mobil.

Aku melihatnya, tapi dia masih menatap lurus ke depan, tidak menoleh ke arahku.

"Kenapa?" aku sedikit tergagap. Tangannya menggenggam tanganku kencang sekali, seolah tidak ingin aku pergi, tapi tentu saja itu hanya perasaanku.

"Tidak, tidak apa-apa." Semenit kemudian cengkeramannya mengendur dan melepaskan tanganku. Dia tetap menatap lurus ke depan, lalu membenarkan letak sabuk pengamannya. Siku tangan kanannya bertopang pada panel pintu kemudia sementara jemarinya menopang dagu. Dia terlihat memikirkan sesuatu.

"Ya udah, Thanks anyway…" aku melangkah keluar dari mobil, menutup pintu dengan sangat perlahan, berharap mendengarkan ucapan perpisahan darinya. Tapi tetap saja tidak mendengar apa pun sampai pintu tertutup rapat dan suara mobil nya menghilang dari pandanganku.

Lukas, sejak kapan kamu begitu memengaruhi pikiranku?

***

Kampus

Kelima kawan itu segera mencari tempat duduk paling strategis di kantin. Kebetulan kantin penuh, padahal belum jam istirahat.

Anika memilih duduk di samping Satya saat mereka berhasil mendapat tempat duduk, yang langsung membuat ketiga temannya setengah gila karena senyum-senyum sendiri.

Satya sendiri tak mengacuhkan teman-temannya, tak mau peduli lebih tepatnya, walaupun Lukas berdeham keras tiga kali dari tadi.

"Kau kenapa?" tanya Rangga, juga menahan tawa.

Lukas mengangkat bahu. "Kenapa ya tenggorokanku jadi gatal begini?"

Devan melengos. "Tenggorokanmu yang gatal atau matamu yang gatal?" ujarnya menimpali.

Lukas terbahak. "Dua-duanya," ucapnya spontan.

Rangga yang berada di sebelah Devan ikut tertawa. Anika melirik ke arah Rangga dengan kesal. Kenapa juga Satya tak menanggapi itu semua?

"Iri aja!" ucap Satya sambil menyeruput jus jeruk.

Anika menunduk, ingin menyembunyikan raut wajahnya yang merona, sambil memainkan sepatu. Ia menoleh ke Satya saat merasa tangannya yang tertumpu pada kursi disentuh.

Satya tersenyum lebar pada Anika. "Kamu belum makan dari tadi pagi. Cepetan makan," kata Satya dengan nada lembut, yang membuat Anika melambung.

Anika mengangguk saja. Entah sejak kapan dia mulai menuruti anjuran Satya.

***

Wardana's House

Gwen POV

Aku melakukan kegiatan yang monoton. Aku kuliah sampai pukul tiga sore, lanjut bekerja di toko, sering kali aku terlihat menjaga jarak dengan sekelilingku. Anika dan Ruby menyadari itu, tapi mereka terlihat tidak ingin ikut campur. Juga teman yang lain terlihat tidak ingin ikut campur dan bertanya tentang perubahanku.

Saat aku membuka pintu setelah mandi pada malam hari, ada sebuket Bunga Anemon yang tergeletak di depan pintu. Aku menatap bunga itu sejenak, lalu menggesernya dengan menggunakan kaki, setelah itu aku melangkah menuju dapur untuk makan malam.

Kali ini ada ikan gurame seperti yang aku suka. Aku duduk di kursi ditemi oleh Anika, Bi Yuni dan dua asisten lainnya. Kami makan sambil mengobrol pelan. Aku tidak banyak bicara terutama pada Anika, hanya sesekali menanggapi obrolannya, setelah makan, aku kembali ke kamar.

Aku berhenti untuk menatap bunga Anemon yang masih berada di depan pintu kamar. Sudah hampir dua minggu berlalu, berbagai bunga setiap hari selalu ada di depan pintu kamarku. Aku berjongkok, menatap bunga Anemon itu lebih lama, lallu dengan tangan ragu, aku mengambil dan membawanya ke dalam kamar.

***

Rangga nyaris berteriak senang saat melihat Gwen membawa bunga itu masuk ke dalam kamarnya. Setelah dua minggu lamanya, akhirnya hari ini bunga itu mendapat perhatian dari Gwen.

Rangga dengan cepat berpikir apa yang bisa ia berikan pada Gwen keesokan harinya. Pria itu buru-buru masuk ke dalam perpustakaan keluarganya di lantai tiga yang menyimpan cukup banyak novel klasik kesayangan bundanya. Mendiang bundanya tidak akan marah jika ia memberikan buku-buku pada menantunya.

Rangga menghabiskan waktu nyaris semalaman untuk memilih novel-novel klasik Jane Austen yang sekiranya di sukai Gwen. Ia berhasil mengumpulkan dua puluh novel klasik terbaik koleksi bundanya. Pria itu tersenyum puas, mulai besok bukan hanya bunga yang akan ia taruh di depan pintu kamar Gwen, tapi novel ini juga. Ia berharap Gwen akan menyukainya.

To Be Continued