webnovel

Pingsan

"Apa menurutmu Mr. Rolleen akan memarahi kita?"

Cleo berjalan terburu di sebelah Lucio. Kakinya yang pendek sama sekali tidak bisa mengimbangi langkah cepat Lucio di depan. Sementara itu, mereka baru saja memasuki desa terdekat. Hanya menunggu waktu dan mereka akan mendaki gunung.

Kendati Lucio tidak menoleh, dia tetap menjawab Cleo seadanya tanpa mencoba mengerti bagaimana susah payahnya gadis itu menyamainya. Kini bahkan sudah tertinggal beberapa langkah di belakang. "Aku tidak yakin. Tapi jika menjelaskan apa yang terjadi pada kita sebelumnya, ada kemungkinan Mr. Rolleen tidak akan marah," jawabnya.

Kaki Cleo bergerak lebih cepat. Peluh membasahi keningnya, sedang rambutnya sudah terlihat lengket. Detik berikutnya Cleo semakin mempercepat langkah lalu menghadang Lucio di depan. Pria itu kontan berhenti sembari memasang raut kebingungan. Alisnya terangkat, sementara sepasang netranya menuding Cleo yang berdiri di hadapannya. Lucio mengamati gadis itu intens seolah bertanya; apa yang kamu lakukan, bodoh!?

Meski tidak mengatakan apapun, tetapi tampaknya Lucio cukup mengerti saat mulai menyadari tingkah Cleo. Cleo terlihat nyaris kehabisan napas. Peluh membanjiri wajahnya sementara tudung jubahnya sudah basah dari luar. Sebenarnya seberapa banyak gadis itu berkeringat? pikir Lucio.

Dengan tangan berkacak pinggang sedang napas berhembus tidak beraturan, Cleo berkata dengan susah payah, "Ki ... kita istirahat sebentar," ucapnya tak sanggup. Tangannya lalu bergerak mengusap keringat. Wajahnya benar-benar terlihat tersiksa. "Astaga, mengapa kamu berjalan sangat cepat," keluhnya lagi.

Mendapati hal itu Lucio akhirnya menarik napas. Kedua manik seketika bergerak awas, namun tidak ada siapapun di sekitar mereka. Hanya ada hamparan gandum yang mulai menguning, angin sepoi yang mengundang kantuk, serta beberapa suara hewan kecil yang tampak terusik atas kedatangan mereka.

Sekali lagi Lucio menghela napas lalu memilih pasrah. "Baiklah, kita istirahat sebentar," ucapnya pelan. Di sisi lain Cleo seketika tersenyum sumringah, tetapi senyum itu mendadak menghilang begitu bibir Lucio bergerak dan mengatakan sesuatu yang amat tidak menyenangkan baginya.

"Kita bahkan sering menuruni gunung dan ke pasar. Lalu mengapa sekarang kamu tampak lemah? Aku bahkan ingat bagaimana kamu menghabiskan semua sarapan pagi ini," cibirnya.

Cleo tidak membalas tetapi senyumnya berubah sangat masam.

Adakalanya Cleo berpikir mungkin lebih baik bila Lucio hanya berdiam diri saja. Menutup mulut tanpa harus memberi komentar apapun. Mungkin pula Cleo akan tahan jika melihat pria itu memasang wajah datar setiap saat, alih-alih berpendapat. Nyatanya, Cleo tidak bisa memungkiri jika mulut pedas Lucio lebih mengerikan dari pada pukulan Mr. Rolleen.

Mengingat bagaimana lelahnya tubuhnya, Cleo memilih tidak berdebat dan hanya berkata, "Aku minta maaf kalau begitu. Lagipula, jangan salahkan aku karena berubah lemah. Aku pun tidak mengerti mengapa merasa sangat lelah, padahal sebelumnya aku selalu bisa menahan diri."

Lucio seketika berbalik dan mengamati Cleo. Pria itu cukup terkejut saat mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut gadis itu. Padahal selama ini Cleo sangat anti mengalah. Biasanya Cleo akan mendebatnya hingga merasa menang. Tetapi melihat reaksinya sekarang, tampaknya Cleo benar-benar sangat lelah.

Lucio kembali terdiam. Tahu-tahu lidahnya terasa kelu. Pria itu seakan mendapati kesulitan bahkan hanya untuk mengucap satu kata. Membuang napas dengan raut meringis, Lucio merasa tidak punya pilihan selain memaksakan diri untuk melangkah mendekati Cleo.

"C—"

Tetapi belum juga dia berhasil mengeluarkan satu kata, mendadak tubuh Cleo tersungkur dan berkahir terjatuh di atas jalan setapak. Pipinya menghantam tanah cukup keras hingga Lucio dapat mendengar dentumannya.

Buru-buru Lucio meraih bahu gadis itu lalu menariknya untuk terduduk. Disandarkannya Cleo di bahunya seraya mengguncang pipi gadis itu cukup keras. Ada nada panik yang jelas terdengar ketika Lucio memanggil Cleo.

"Hei, Cleo!"

Tangannya masih berusaha mengguncang tubuh gadis itu. Sialnya, kulitnya justru mendadak memucat. Lucio tidak bisa menahan diri lagi. Dia kemudian bangkit lalu menggendong tubuh Cleo. Tanpa membuang waktu Lucio segera beranjak meninggalkan tempat itu.

Mereka sedang berada di tengah-tengah jalan saat Lucio mengulurkan satu tangannya yang bebas, dan kemudian sesuatu yang tidak diduga tiba-tiba saja terjadi di sana. Mendadak di jalan setapak muncul pusaran angin. Anehnya, angin itu sama sekali tidak mempengaruhi Lucio. Dia bahkan sangat tenang saat melangkah memasuki pusaran angin tersebut sementara Cleo berada dalam gendongannya.

Detik selanjutnya, kedua insan itu telah menghilang tanpa menyisakan apapun.

Sementara di sisi lain, Mr. Rolleen yang sedang berada di gudang penyimpanan obat seketika berbalik saat mendengar sesuatu yang tidak asing. Ya, dia sangat tahu siapa yang baru saja datang ke pondoknya. Begitu berdiri di ambang pintu gudang dan mendapati sosok Lucio berjalan ke arahnya, Mr. Rolleen tidak terkejut sama sekali. Hanya saja fokusnya berpindah begitu cepat kepada Cleo yang berada dalam gendongan Lucio. Kontan raut wajah Mr. Rolleen mengeras melihatnya.

"Mr. Rolleen—"

"Bawa dia ke dalam pondok." Pria tua itu mendorong tubuh Lucio, memintanya untuk berbalik ke arah pondok. Buru-buru Lucio mengikuti arah yang dimaksud. Dia bahkan tidak peduli dengan mimik wajahnya sekarang. Jujur saja, Lucio sedikit panik. Cleo tidak pernah pingsan sebelumnya. "Cepat!" Suara Mr. Rolleen kembali terdengar sementara Lucio meringis. Dalam situasi ini tampaknya suasana hati Mr. Rolleen tidak baik.

Begitu tubuh Cleo dibaringkan di atas ranjang kayu di dalam kamarnya sendiri, Lucio hanya bisa berdiri mengamati. Kedua maniknya sama sekali tidak lepas memandang wajah gadis itu. Pucat, itulah yang Lucio temukan di sana. Sangat tidak biasa.

Di satu sisi, Mr. Rolleen tengah menumbuk obat dengan gerakan cepat yang terkesan terburu. Beberapa dedaunan dan biji-bijian yang tampak asing di mata Lucio, ditumbuk bersamaan hingga halus. Saking cepatnya pria tua itu menumbuk, banyak sisa-sisa obat tercecer di atas lantai kayu pondok.

"Berikan aku air hangat," perintah Mr. Rolleen tanpa mencoba melirik Lucio yang sedang mengamatinya.

Sebaliknya Lucio bergegas menuju dapur lalu mengambil semua kebutuhan Mr. Rolleen.

"Sebenarnya apa yang tejadi padanya?" Lucio meletakkan segelas air hangat di sebelah Mr. Rolleen. Tanpa menjawab pun, Mr. Rolleen telah meraih gelas itu kemudian menuangkan semua obat yang telah dia racik ke dalamnya. Kening Lucio mendadak mengernyit tatkala menyaksikan Cleo langsung terbatuk keras sesaat setelah Mr. Rolleen memasukkan obat  tersebut ke dalam mulutnya. Wajah Lucio mulai panik kembali, pria itu bahkan berteriak tanpa dia sadari, "apa yang kamu lakukan?! Dia bisa saja mati tersedak!" geramnya. Tangannya bahkan sudah mengepal dengan sendirinya.

Namun di luar dugaan, sesaat setelah teriakan Lucio berakhir, nyatanya Mr. Rolleen justru terbahak sangat keras. Pria tua itu seakan tidak peduli bagaimana mimik wajah Lucio sekarang.

Sedangkan Lucio masih berada dalam ilusi ketidakpercayaan, Mr. Rolleen telah bergerak menepuk pundaknya cukup keras dan dia berkata, "Jangan khawatir, gadis itu memang punya penyakit aneh. Saat Cleo kelelahan dia akan pingsang dan tubuhnya mendingin. Tetapi setelah meminum ramuanku dia akan baik-baik saja."

Kendati Mr. Rolleen berkata demikian tetapi tampaknya Lucio masih kurang percaya. Kedua maniknya kini memicing menatap Mr. Rolleen seolah dengan bertingkah demikian dia akan mengetahui sebuah kebenaran terselubung. "Kamu yakin?"

Mr. Rolleen ikut memicingkan mata. "Kamu tidak percaya padaku? Huh! Lihat saja besok dan kamu akan melihat gadis itu berkeliaran seperti tupai liar lagi." Berikutnya, Mr. Rolleen telah beranjak pergi dan menyisakan Lucio bersama Cleo di dalam kamar.

Sembari menghela napas, Lucio menatap Cleo yang sedang terbaring tenang, lalu berkata sinis, "Gadis menyusahkan!"

Dan dia pun ikut meninggalkan kamar.